*artikel ini dibuat pada tanggal 10 April ketika Trump mengumumkan untuk menunda pengenaan tarif ke berbagai negara selama 90 hari, namun tidak untuk China. Perkembangan di hari setelahnya terlihat sangat cepat berubah sehingga ini menjadi validasi keyakinan kami bahwa sebagai investor, jika mengikuti perkembangan makro yang serba cepat hanya akan membuat kita menjadi seperti Mr. Market yang panik dan moodnya naik-turun.
Berita di media akhir-akhir ini tampak mengkhawatirkan. Isu perang tarif yang berujung resesi menjadi topik utama. Nama Indonesia pun ikut terbawa-bawa dan banyak pihak cemas negara kita akan terkena dampak buruknya.
Hal demikian membuat kita khawatir, cemas, bahkan pasti tidak sedikit juga yang panik. Padahal berita bombastis yang kita konsumsi itu tidak semuanya benar dan jika kita mau memakai kacamata investor fundamental dengan basis jangka panjang, fenomena ketegangan politik dan ekonomi akhir-akhir ini sebenarnya adalah peluang.
Mengapa begitu?
Sebelum langsung melompat ke kesimpulan, kami akan ringkaskan terlebih dulu apa saja yang perlu Anda ketahui tentang perang tarif dan isu resesi Amerika Serikat.
Perang Tarif Amerika, Trump Unjuk Kuasa

Gambar 1: Trump mengumumkan “reciprocal tariffs”/Sumber: Kompas.id
Amerika memberlakukan kenaikan tarif impor secara bertahap sejak tanggal 2 April 2025. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan, yaitu:
1. Trump ingin “membalas” negara yang menjadi rekan dagang Amerika yang melakukan ekspor ke Amerika, namun memberikan tarif atau bea masuk untuk ekspor Amerika ke negara tersebut serta menyebabkan trade deficit (defisit perdagangan karena Amerika impor lebih banyak daripada ekspor ke negara terkait). Tarif 10 persen dikenakan ke seluruh mitra dagang Amerika per tanggal 2 April.
Tanggal 9 April, Trump kembali mengumumkan kenaikan tarif untuk 86 negara. 57 negara di antaranya terkena tarif lebih tinggi karena Amerika menganggap negara-negara tersebut menjadi penyebab utama trade deficit di Amerika. Indonesia termasuk salah salah satu negara yang terkena tarif 32%.
2. Trump sedang mengumpulkan revenue untuk menutupi kesulitan utang obligasi negara yang akan segera jatuh tempo senilai hampir 3 triliun USD, dengan China sebagai pembeli obligasi terbanyak. Dalam hal ini, apabila Amerika gagal membayar obligasi tersebut, maka akan menjadi indikasi bahwa Amerika “kalah” dari China. (Berita terbaru tanggal 10 April 2025 bahkan menyebutkan bahwa China tengah menjual obligasi Amerika sebagai aksi balasan lanjutan).
Perang tarif resiprokal ini terjadi paling alot antara Amerika dan China. Tak lama setelah Amerika mengumumkan tarif resiprokal pada hari yang disebutnya sebagai “Hari Kebebasan”, China langsung memberikan tarif balasan senilai 34%, yang kemudian dibalas Trump dengan kenaikan tarif ke 104% dan sekarang bahkan menjadi 125%. China kemudian lanjut memberikan "serangan balasan" dengan menaikkan tarif Amerika menjadi 84% berlaku sejak Kamis, 10 April 2025.
Perang tarif begitu alot antara Amerika dan China karena kedua negara ini adalah penggerak dan penguasa ekonomi terbesar dunia. Amerika memegang 25 - 30% PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dunia sejak dulu. Mulai tahun 2020 sampai sekarang, China semakin menyusul dengan besaran 15 - 16% PDB dunia.
Melihat hal ini, Trump merasa Amerika telah dirugikan dengan perdagangan di mana China yang selama ini telah banyak dibantu oleh Amerika, kini seperti “menggigit balik” untuk menyaingi Amerika menjadi negara adikuasa.
Isu Resesi Amerika
JP Morgan memprediksi US akan mengalami resesi hingga 40%. Akhir-akhir ini, kebijakan Presiden Donald Trump seakan-akan menjadi pemantik semakin besarnya potensi terjadi resesi. Apalagi perang tarif dan perang dagang secara global juga tampak mulai terjadi.
Resesi menggambarkan keadaan suatu negara dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dalam posisi negatif atau minus selama dua kuartal berturut-turut (6 bulan). Salah satu indikator yang menentukan besaran PDB adalah tingkat konsumsi rumah tangga. Artinya, bila daya beli masyarakat turun, maka PDB juga akan menurun.
Pada dasarnya, kenaikan tarif yang diberlakukan Trump ke mitra dagang Amerika malah memengaruhi konsumsi masyarakatnya. Dengan naiknya tarif, maka barang yang masuk ke negara Amerika cenderung menjadi lebih sedikit karena terhalang tarif yang mahal. Dengan terjadinya hal itu, maka konsumsi masyarakat di Amerika melemah.
Apalagi Amerika adalah salah satu negara perdagangan terbesar. Banyak negara yang melakukan ekspor ke negara tersebut, misalnya saja China, Meksiko, Vietnam, bahkan termasuk Indonesia.
Dampak perang tarif ke Indonesia
Adanya fenomena tarif naik dan demand melemah yang berlanjut pada isu resesi, tentunya akan berpengaruh ke negara kita secara tidak langsung. Sebab, Indonesia memiliki porsi ekspor ke China sebanyak 25%, sementara China juga melakukan transaksi ekspor sebesar 15% ke Amerika. Apabila tarif naik, maka perdagangan China ke Amerika akan melambat dan mengakibatkan perdagangan Indonesia ke China ikut melambat.
China sendiri sudah melakukan stimulus untuk perbaikan negaranya. Stimulus pertama di bidang properti untuk menghadapi fenomena China Slowdown beberapa waktu lalu. Saat ini, stimulus berfokus pada ekonomi dengan menurunkan kurs hingga belasan persen agar tetap memiliki kekuatan bersaing dan tidak ditinggal pelanggan yang impor dari negaranya. China juga banyak “menitipkan” perusahaannya di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dilema di berbagai negara
Berbicara soal kenaikan tarif, ada juga persoalan suku bunga. Amerika mengalami dilema karena tidak bisa menurunkan suku bunga yang besarannya 4%. Penyebabnya adalah karena inflation rate mereka masih tinggi, yaitu 3%.
Dalam sektor oil and gas, kadar SPR (Special Petroleum Reserve) di Amerika sudah semakin rendah. US tengah berupaya me-refill dan meningkatkan produksinya. Sebab, apabila SPR ini turun, tentu negara yang bergantung pada oil and gas seperti Jerman, akan kesulitan dan semakin mendorong inflasi.
Amerika me-refill atau menaikkan SPR dan memaksa produksi dengan tujuan menjaga harga tetap stabil. Hal ini penting dilakukan ketika inflasi tinggi, harga tidak bisa turun dan suku bunga pun tidak bisa turun.
Di sisi Indonesia, negara kita juga tidak bisa begitu saja menurunkan suku bunga demi menarik investor asing yang mulai keluar dari market. Jika Indonesia memutuskan untuk menurunkan suku bunga, maka kursnya bisa menjadi Rp16.500 per USD. Ini menjadi kondisi yang serba salah.
Lalu mengapa Indonesia tidak meniru China dengan menurunkan kurs dan menaikkan suku bunga? Sebab, jika hal ini dilakukan, maka yang terjadi adalah rakyat yang memiliki kredit akan semakin tercekik, sementara daya beli juga masih lemah dan kreditur saja sekarang masih banyak yang gagal bayar.
Jadi, posisi mata uang kita sendiri masih belum kuat. Adapun cara pemerintah memperkuat rupiah adalah dengan inisiasi penggunaan HBA untuk harga batu bara ekspor. Pemerintah juga banyak melakukan transaksi di sektor rill yang lebih ditujukan untuk menggerakkan ekonomi dan memperkuatnya dari dalam.
Beberapa contohnya adalah makan siang gratis, program 3 juta rumah, dan pembangunan infrastruktur (dalam hal ini rupiah diputarkan di ranah vital internal atau di lini bawah untuk membiasakan tidak lagi memakai USD).
Bagaimana respons investor?

Sebagai investor, kita harus melihat kondisi ini dengan kacamata oportunis. Ketika semua berita mengabarkan kepanikan, kita harus tenang dan malah membaca peluang. Cari tahu bisnis mana yang diuntungkan dan mana yang dirugikan. Contohnya saat COVID-19 lalu. Ketika banyak bisnis anjlok, bisnis rumah sakit dan layanan kesehatan lain malah melesat naik. Dari sini, investor harus jeli mencari opportunity.
Mungkin muncul pertanyaan, “apakah lebih baik berinvestasi di luar negeri di saat seperti ini?”. Jawabannya adalah justru kita harus optimis mencari peluang di dalam negeri. Investasi ke luar negeri juga pada dasarnya sama dengan mendoakan mata uang kita terus melemah.
Memang, jika kita melihat secara sekilas, peluang investasi di luar negeri terasa menarik. Namun perlu Anda ingat bahwa investasi di luar negeri itu akan terkena pajak besar –sekitar 30-35% tergantung tier PPh 21– ketika Anda akan menarik dananya masuk ke Indonesia. Itu pun belum termasuk capital gain tax.
Sementara itu, investasi di dalam negeri sendiri hanya terkena pajak 0,1% untuk transaksi saham. Capital gain dan dividennya sudah bebas pajak apabila dialihkan ke bank.
Memegang cash juga pilihan yang kurang bijaksana karena saat ini di pasar saham sedang banyak market leader yang memberikan peluang menarik, dijual di harga diskon. Lebih baik Anda membeli saham dibandingkan memegang cash yang akan terus tergerus inflasi.
Trik sederhananya adalah Anda bisa menaruh cash di bonds terlebih dahulu sambil menunggu kesempatan emas. Ketika sudah menemukan good company yang dijual dengan diskon besar, jangan ragu untuk membelinya.
Contohnya saja ERAA (Erajaya) yang kini ROEnya sudah 12% dengan PB 0,6%^ berpotensi memberikan return hampir 20%. Ada juga BMRI atau Bank Mandiri misalnya, yang mencatatkan ROE 20% dan PB 1,5% sehingga berpotensi memberikan yield return 12%++.
Kita juga punya pilihan untuk membeli saham perusahaan yang mengekspor menggunakan USD dan transaction cost-nya Rupiah. Biasanya ini ditemukan pada perusahaan komoditas yang jumlahnya besar di Indonesia.
Kuncinya adalah sabar dan jangan khawatir
Pada dasarnya pemerintah Indonesia bukan tidak tahu jika rupiah melemah hingga 16,5%. Buktinya pemerintah melakukan siasat dengan mendorong perputaran aset ke sektor riil dan memberlakukan transaksi HBA (menggunakan rupiah), misalnya saja untuk komoditas batu bara, nikel, sawit, dan kertas.
Pemerintah juga memberlakukan DHE (Devisa Hasil Ekspor) ditahan selama 1 tahun. Apabila ada SDA yang ingin dipakai, harus dikonversi dulu ke rupiah.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut apabila dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh, justru akan bagus dalam jangka panjang. Uang hasil dividen BUMN dialokasikan ke sektor riil lalu diinvestasikan untuk membangun manufaktur demi menghasilkan devisa atau diinvestasikan ke perusahaan yang bagus.
Belum lagi dalam 1 - 2 tahun ke depan, Indonesia berpeluang mengambil pasar internasional lebih besar apabila bisa mengambil pasar Amerika dengan menggalakkan pembangunan pabrik negara asing di Indonesia untuk memperkuat ekonomi, meningkatkan produksi dan penyerapan tenaga kerja.
Dalam situasi yang tampak mengkhawatirkan ini, saham bagus di Indonesia justru sedang banyak yang murah namun masih membagikan dividen yield menarik. Kita menyebutnya “the Fallen Giants".
Sebagai investor kita harus bisa melihat opportunity dengan benar. Tetap lakukan kalkulasi dan analisis dengan mendalam untuk mendapatkan perusahaan bagus dengan margin of safety yang tebal.

Ini sudah waktunya bagi investor untuk cicil membeli saham dan terus memantau kinerja bisnis yang dimiliki dan diincar. Jangan ikut-ikutan pergerakan asing –jika asing beli kita ikut beli– karena itu sama saja menjerumuskan kita ke situasi kalah harga.
Semua ini adalah bukti bahwa kondisi makro adalah kondisi yang uncontrollable. Investor harus fokus pada hal yang controlable dan tidak menuruti Mr. Market yang hanya akan membuat kita tidak tenang karena harus memantau kondisi setiap waktu dan mengikuti perubahan yang begitu cepat.
Untuk mendapatkan pemahaman mendalam cara menganalisis bisnis, mengasah kepekaan melihat opportunity bagus di masa krisis, dan memiliki fondasi investasi yang kuat serta menguntungkan, Anda bisa bergabung dalam exclusive investment club kami dengan join Free Trial atau langsung daftar Full Program Membership THINK.
Let’s THINK to Earn!
*This presentation contains a “forward-looking approach” which involves estimates, assumptions, risks, and uncertainties. The opinions expressed in these materials are those of THINK, and nothing contained in them constitutes an offer to buy or sell securities and investment advice. THINK’s products provide a comprehensive analysis of the financial
position and prospects of companies and/or entities; however, nothing should be taken as a comment regarding the value of the securities of any entity. Actual outcomes or results may differ from anticipated results, sometimes materially. If, notwithstanding the foregoing, you or any other person relies upon these materials in any way, THINK cannot be held accountable for any losses and hereby disclaims, to the extent permitted by law, all liability for any loss and damage suffered arising in connection with such reliance.