Bisa dikatakan bahwa rumah merupakan salah satu kelas aset yang penting di dalam kehidupan manusia. Dari zaman dulu sampai sekarang, rumah selalu menjadi salah satu kebutuhan primer manusia untuk digunakan sebagai tempat tinggal.
Oleh karena itu, rumah atau tanah menjadi aset yang dikejar untuk dimiliki oleh masyarakat. Orang bekerja keras agar bisa memperoleh tempat untuk berteduh. Ada juga beberapa orang di berbagai kesempatan, yang memiliki kemampuan untuk mempunyai lebih dari 1 rumah, sehingga orang tersebut bisa menggunakannya untuk disewakan kepada orang lain sebagai tempat tinggal ataupun membuka usaha yang dapat menjadikannya aset-aset produktif.
Peningkatan kebutuhan untuk memiliki aset rumah sebagai tempat tinggal tentu terus terjadi, ditambah lagi adanya pertumbuhan jumlah penduduk yang pasti akan berbanding lurus dengan kebutuhan tempat tinggal.
Hal ini yang sebenarnya menyebabkan orang terus mencari lahan baru untuk dapat digunakan sebagai tempat tinggal. Ketika semakin banyak orang mencari lahan baru, otomatis lahan yang dibutuhkan untuk bisa dikembangkan menjadi rumah tempat tinggal juga semakin tinggi.
Kenapa harga rumah bisa naik
Konsep sederhana naik dan turunnya harga dari suatu aset itu pasti dipengaruhi oleh supply and demand, begitu juga dengan rumah. Ketika kebutuhan lahan untuk rumah terus meningkat dan di saat yang sama supply dari kebutuhan tersebut tidak memadai, maka harga dari rumah yang sudah ada pasti akan meningkat.
Harga rumah di daerah perkotaan juga memiliki kecenderungan untuk naik lebih cepat dibandingkan dengan di desa atau kota kecil karena adanya urbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota maupun masuknya imigran dari luar negeri yang membuat demand rumah di perkotaan lebih tinggi.
Tentu banyak sekali faktor yang mempengaruhi perbedaan harga dari masing-masing rumah. Sebut saja lokasi rumah, kondisi lingkungan, area luas lahan, prospek rencana pembangunan sekitar area rumah, kemudahan akses lokasi, status sosial dan lain sebagainya.
Akan tetapi secara keseluruhan harga rumah akan meningkat ketika kebutuhan semakin banyak, disertai dengan terlambatnya supply untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Di sisi lain, pada suatu titik harga rumah juga bisa mengalami stagnasi atau penurunan ketika kondisi supply lebih tinggi dibandingkan dengan demand itu sendiri.
Permasalahan mengenai kepemilikan rumah yang sering terjadi
Ada pula faktor lain yang akan mempengaruhi pergerakan harga rumah, yaitu daya beli masyarakat. Ketika daya beli masyarakat melemah, hal tersebut jelas akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk membeli rumah meskipun sebenarnya kebutuhan tersebut tetap ada.
Dalam hal ini, ada dua poin yang sering menjadi miskonsepsi:
1. Harga rumah yang overprice
Kenaikan harga rumah dari beberapa dekade yang lalu sering dijadikan acuan untuk memprediksi kenaikan untuk beberapa tahun ke depan. Hal tersebut membuat orang berlomba membeli rumah dengan harapan harga rumah yang dibeli akan terus naik.
Akan tetapi, di masa sekarang banyak sekali rumah baru yang dijual dengan harga yang sudah overprice jika dilihat dari spesifikasinya itu sendiri. Banyak juga developer properti baru yang bermunculan dan berlomba untuk mengembangkan area perumahan.
Harga dari rumah-rumah tersebut bisa dijual dengan harga premium karena adanya cerita, seperti: area perumahan tersebut akan dikembangkan sedemikian rupa, akan ada pelebaran jalan, jalan tol baru, stasiun MRT, prospek menjanjikan di masa depan dan lain sebagainya. Ditambah lagi, banyak juga orang yang memaksa beli rumah karena faktor gengsi.
Akan tetapi jika cerita-cerita tersebut hanya digunakan untuk menjual rumah dengan harga tinggi, mungkin saja peningkatan harga rumah di kemudian hari tidak signifikan karena semua ekspektasi yang diharapkan belum tentu terjadi atau pada kenyataannya pengembangannya sangat lama sekali.
Perlu disadari juga bahwa pada dasarnya ketika membeli suatu kelas aset dengan harga yang bisa dibilang “overprice”, maka kita dihadapkan dengan adanya risiko penurunan harga terutama ketika semua asumsi yang digunakan untuk menjustifikasi harga mahal tersebut ternyata tidak terjadi.
2. Memaksakan diri untuk membeli rumah meskipun terkadang tidak sesuai dengan kemampuan
Banyak yang mengatakan bahwa terkadang ketika bicara soal membeli rumah, kita harus berani untuk lebih sedikit nekat, karena ketika KPR sudah disetujui dan cicilan mulai berjalan, maka kita (mau tidak mau) akan berusaha keras untuk memenuhi kewajiban kita tersebut.
Mungkin banyak yang pada akhirnya berhasil untuk melunasi KPR tersebut. Akan tetapi kita juga harus bertanya berapa banyak orang yang akhirnya tidak mampu untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Kesalahan dari mayoritas orang ketika memutuskan untuk sewa rumah dulu dan baru membeli rumah di kemudian hari ketika sudah mampu tetapi akhirnya rumah tersebut tidak pernah terbeli adalah karena penghasilan yang seharusnya ditabung ataupun diinvestasikan tersebut malah bocor akibat gaya hidup yang berlebihan.
Inilah salah satu masalah utama yang membuat orang susah untuk membeli rumah di kemudian hari, belum ditambah lagi dengan adanya inflasi dari harga rumah.
Memanfaatkan modal dengan seproduktif mungkin
Ketika kita sudah memiliki kemampuan yang berlebih, tentu membeli rumah yang akan digunakan untuk tempat tinggal tidak menjadi masalah karena memang hal tersebut sudah menjadi kebutuhan primer bagi manusia. Kita juga berhak untuk membeli rumah di mana pun kita mau dengan mempertimbangkan lokasi, luas rumah, dan lingkungan yang terbaik untuk kita.
Akan tetapi, jika merasa bahwa modal dan penghasilan yang kita miliki belum terlalu berlebih dan bisa digunakan untuk sesuatu yang jauh lebih produktif, bisa jadi sewa rumah adalah pilihan yang tepat. Dengan catatan, bahwa modal dan penghasilan yang kita miliki harus benar-benar dimanfaatkan sebaik mungkin.
Jika ada aset properti yang sudah dibeli dan tidak dipakai untuk tempat tinggal, ada baiknya jika paling tidak, properti tersebut dimanfaatkan untuk sesuatu yang produktif seperti membuka usaha atau disewakan. Dengan demikian modal yang dipakai untuk membeli rumah tersebut tidak menjadi modal “nyangkut” karena membeli aset pasif.
Ketika mempertimbangkan hal ini, kita juga bisa mengukur dari harga sewa dibandingkan dengan harga rumah yang disewakan tersebut. Kondisi ketika artikel ini ditulis, banyak sekali rumah yang disewakan hanya dengan yield sekitar 2% - 4% per tahun dari harga rumah jika kita membelinya. Tentu kita juga harus memperhitungkan adanya inflasi dari harga sewa tersebut akan meningkat berapa banyak untuk beberapa tahun ke depan.
Jika kita memiliki kemampuan dalam memanfaatkan modal yang kita miliki untuk sesuatu yang jauh lebih produktif, jelas sekali akan lebih baik apabila kita sewa rumah terlebih dahulu dan menggunakan modal tersebut untuk membangun usaha atau berinvestasi pada aset yang lebih produktif.
Perhatikan contoh dua skenario perhitungan sederhana untuk perbandingan:
Skenario 1:
Asumsi kita akan membeli rumah dengan harga Rp2 miliar, kita menggunakan skema KPR dengan tempo 15 tahun dan bunga fix 8% per tahun. Adapun DP yang dikeluarkan sebesar 20% yaitu Rp400.000.000.
Ketika masuk ke perhitungan KPR, maka cicilan per bulannya adalah Rp15.290.000. Jika ditotal secara keseluruhan, maka uang yang kita bayarkan untuk membeli rumah tersebut selama 15 tahun adalah kurang lebih Rp3.100.000.000. Ini bahkan belum memperhitungkan floating rate-nya!
Skenario 2:
Dengan menggunakan contoh rumah yang sama di skenario 1, katakanlah kita putuskan untuk sewa selama 15 tahun ke depan dengan asumsi harga sewa adalah 3% dari harga rumah yaitu Rp60.000.000 per tahun dan akan ada kenaikan sewa sebesar 5% per tahun.
*kita kondisikan bahwa kita punya penghasilan per bulan sama dengan cicilan jika menggunakan KPR yaitu Rp15.000.000 per bulan dan ada kenaikan gaji 5% per tahun.
Dengan demikian, kita memiliki uang lebih setelah penghasilan dipotong untuk bayar sewa. Apabila pada awal periode kita memiliki uang Rp400.000.000 dan uang lebih setiap bulan tersebut diinvestasikan ke instrumen investasi yang memberikan imbal hasil 15% per tahun. Maka setelah 15 tahun, total uang yang kita miliki akan berkembang menjadi kurang lebih Rp10,5 miliar.
Dari 2 skenario tersebut kita bisa membuat perbandingan sederhana antara membeli rumah dengan KPR atau memilih untuk sewa rumah terlebih dahulu dengan perhitungan-perhitungan yang ada.
Tentu kita juga harus memperhitungkan inflasi dari harga rumah itu sendiri. Akan tetapi, kenaikan harga rumah sangat sulit untuk kita prediksi. Akan ada periode tertentu ketika menjual rumah adalah sesuatu yang sulit jika kita menjual dengan harga yang menurut kita adalah harga pasaran dari rumah tersebut pada saat itu.
Kondisi tersebut akan muncul saat terjadinya perlambatan pada industri properti maupun kondisi ekonomi secara keseluruhan. Dengan demikian asumsi harga pasaran rumah yang kita tetapkan, terkadang belum tentu valid.
Salah satu cara untuk menguji hal tersebut adalah dengan benar-benar mencoba menjual rumah tersebut. Bisa jadi ketika ingin menjual rumah, kita harus menurunkan harga jual secara signifikan dari harga pasar agar rumah bisa terjual.
Kesimpulan
Memilih untuk membeli ataupun sewa rumah adalah sesuatu yang harus dipikirkan secara bijaksana. Kita harus benar-benar memperhitungkan dua pilihan tersebut dan disesuaikan dengan kemampuan yang kita miliki.
Jika memang kita sudah memiliki kemampuan lebih dan sudah memutuskan untuk settle di suatu lokasi, tentu keputusan untuk membeli rumah tidak menjadi masalah.
Akan tetapi, jika dirasa kita masih memiliki banyak pertimbangan, sewa rumah bisa menjadi pilihan dan kita bisa memanfaatkan modal yang kita miliki untuk diinvestasikan ke sesuatu yang jauh lebih produktif terlebih dahulu.