Gambar 1: Grafik nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika beberapa tahun terakhir.
Pasca pandemi COVID-19, kondisi nilai tukar Indonesia terus melemah, bahkan USD/IDR sempat melebihi Rp16.000 pada bulan April - Juli 2024. Namun kondisi ini terjadi bukan karena Indonesia yang melemah, melainkan ada hal yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah, yakni kebijakan US yang terus meningkatkan FED Rate hingga ke level 5,5%.
Gambar 2: Suku bunga Bank Sentral Amerika.
Kebijakan ini dilakukan demi menurunkan inflasi yang disebabkan naiknya harga minyak dunia sejak perang dan OPEC+ melakukan cut production.
Kondisi makro merupakan hal yang tidak bisa dikontrol. Lalu, bagaimana investor bisa menghadapi kondisi seperti ini?
Satu-satunya cara adalah mencari aset yang minim terdampak oleh inflasi.
Saya jelaskan pemikiran terkait inflasi. Inflasi bukanlah sesuatu yang menimpa perusahaan. Beberapa perusahaan mungkin menaikkan harga lebih awal atau lebih banyak daripada yang lain.
Tetapi, rata-rata perusahaan tidak hanya terlindung dari inflasi, justru mereka yang menciptakannya. Ini menjadikan kondisi ketika harga barang dan jasa naik, pendapatan perusahaan juga ikut meningkat.
Untuk mencari aset yang minim terdampak oleh inflasi, kita harus tahu dulu bahwa aset itu ada beberapa jenis. Di sini, saya membagi aset menjadi 4 jenis, yaitu:
1. Monetary Asset
Aset yang digunakan sebagai alat tukar.
2. Unproductive Asset
Aset yang tidak menghasilkan produktivitas. Contohnya seperti emas, perhiasan, dll.
3. Productive Asset
Aset yang menghasilkan produktivitas, namun belum memiliki pricing power, sehingga return masih tergerus oleh inflasi. Contohnya seperti obligasi dan bisnis mediocre.
4. Wonderful Asset
Aset yang menghasilkan produktivitas dengan pricing power, sehingga hasilnya bisa melebihi, atau setidaknya setara dengan inflasi. Contohnya seperti bisnis consumer goods yang memiliki brand.
Gambar 3: Tingkat dampal inflasi terhadap berbagai jenis aset.
Mengacu pada piramida di atas, investor harus fokus mengalokasikan investasinya ke productive asset. Asalkan ada spread 2% antara inflasi dan bunga kupon, sudah cukup untuk melindungi nilai aset.
Bila memiliki kemampuan lebih, carilah wonderful asset. Carilah perusahaan yang tetap bisa menjaga net profit margin-nya dan volume tetapnya terus bertumbuh, serta produknya ada dalam mind share pelanggannya. Pricing power ini terefleksi pada Return on Equity > Inflasi/Bonds.
Konklusinya, kondisi makro tidak bisa dikontrol, jadi fokuslah pada hal yang bisa dikontrol, yakni memilih investasi yang bisa memberikan return lebih besar dibandingkan tingkat inflasi maupun bunga. Dengan demikian, investor dapat melindungi dan terus menumbuhkan nilai hartanya.