Dividen adalah konsep yang selalu terikat dengan saham. Secara umum, orang memahami bahwa berinvestasi saham ya keuntungannya berupa pembagian dividen yang ditentukan nilainya dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Mungkin banyak dari Anda yang juga berpikir demikian: “berinvestasi saham sama artinya mencari untung dengan mengumpulkan dividen dari laba perusahaan yang menerbitkan saham tersebut.”
Pandangan itu tidak sepenuhnya salah, namun dividen bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi landasan Anda dalam mengambil keputusan berinvestasi saham atau memilih suatu emiten. Malahan, Anda jangan sampai menjadikan dividen sebagai alasan utama membeli saham suatu bisnis.
Sayangnya, cukup banyak investor yang terjebak menjadikan dividen sebagai indikator utama berburu saham. Dua kecenderungan yang sering terlihat adalah berburu dividen cepat dan berburu dividen besar.
Pemburu dividen cepat
Ketika sebuah perusahaan mengumumkan cum date (tanggal pencatatan investor mana saja yang berhak menerima dividen), demand saham biasanya akan naik karena banyak orang membeli saham untuk memastikan namanya tercatat saat cum date. Ketika demand meningkat, harga saham perusahaan cenderung ikut naik (hal ini biasanya terjadi sebelum cum date).
Setelah cum date berlalu, harga saham umumnya akan kembali turun selama beberapa periode. Turunnya harga saham ini sering terjadi karena pembeli saham jangka pendek lebih memilih untuk menarik modalnya atau menjual kembali sahamnya. Sebab, mereka merasa sudah cukup puas dengan kepastian dividen yang akan diterima.
Kecenderungan satu ini, hanya cocok bagi pemain saham yang mengincar keuntungan instan. Sayangnya, dengan terburu-buru membeli saham mendekati cum date karena mengincar dividen, Anda sebenarnya sedang melepas kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam jangka panjang.
Jika saja Anda membeli saham dengan lebih dulu melakukan analisis bisnis yang baik dan benar, Anda akan bisa mengukur potensi yield beberapa tahun ke depan. Tak hanya itu, Anda juga akan bisa menjaga keuntungan dari pintu lain, contohnya dari capital gain dan compounding growth dari bisnis tersebut ke depannya.
Value investor biasanya berpegang pada value perusahaan sehingga keuntungan yang didapatkan dilihat dari kacamata jangka panjang, bukan yang instan. Dividen juga dipandang sebagai sebuah residu yang lebih pada “good to have” bukan “must have”.
Pernyataan tersebut dimaksudkan bahwa poin terpentingnya adalah bagaimana kapital perusahaan tersebut dipergunakan secara total. Semuanya yang utama adalah tepat guna untuk mengembangkan perusahaan ke arah lebih baik.
Ketika setelah alokasi untuk pengembangan bisnis; ternyata kemudian dirasa mencukupi dan masih ada nilai yang “lebih dan tidak terpakai”, maka nilai itu menjadi dividen yang memang adalah hak yang tentu “menyenangkan” untuk kita terima sebagai investor.
Pemburu dividen besar
Sebelum Anda mulai protes (karena jelas sekali tidak mungkin ada orang yang menolak dapat dividen besar), poin dalam subjudul ini lebih merujuk pada mereka yang mencari saham perusahaan yang membagi dividen besar hanya sekali waktu, dan itu tanpa mempelajari bisnisnya dengan baik.
Dalam jumlah yang juga tak kalah banyak, investor kerap sengaja memilih emiten yang diketahui membagikan dividen besar. Menurut perspektif investor tipe ini, dividen besar mengartikan perusahaan meraup laba besar sehingga membagikannya juga secara besar-besaran kepada penanam modal. Sayangnya, di sini investor tidak sadar bahwa perusahaan mungkin sebenarnya hanya membagi dividen besar sekali saja (disebabkan kurang benar-benar belajar itu tadi).
Padahal, perusahaan membagi dividen besar bisa karena banyak alasan. Salah satu yang kerap terjadi selain karena memang perusahaan mencetak laba besar adalah: karena perusahaan tidak mengalokasikan laba dan capex-nya dengan bijaksana.
Tidak sedikit perusahaan yang tidak memikirkan proyeksi ke depan (misalnya apakah akan berekspansi, melakukan inovasi dan lainnya) sehingga ketika laba diperoleh, ya langsung dibagikan saja kepada para investornya.
Dalam kondisi seperti ini, kembali lagi seorang investor yang bijaksana perlu melihat bisnis perusahaan dan memahaminya secara baik dengan melakukan analisis. Analisis ini perlu untuk memastikan apakah benar perusahaan membagikan dividen besar karena performa bisnisnya baik dan manajemen melakukan alokasi dengan bijak?
Apakah perusahaan ini juga membagikan dividen besar secara konsisten atau hanya karena kondisi tertentu sekali waktu, misalnya sebagai hasil dari menjual anak perusahaannya? Apakah perusahaan akan tetap membagikan dividen sebesar itu dalam 5 tahun mendatang dan seterusnya?
Jangan-jangan Anda dapat dividen besar hanya di tahun ini saja. Lalu, di tahun-tahun berikutnya nihil dan yang ada malah boncos karena harga saham juga ikut turun (akibat bisnis ternyata berjalan tidak sebaik yang dilihat sekilas)?
Di sisi lain, perusahaan yang membagikan dividen kecil juga tidak pasti artinya buruk. Apabila memang alokasi dividen sudah berdasarkan keputusan yang bijaksana serta bisa konsisten karena memang bisnis berjalan baik, tentu ini menjadi sebuah greenflag, bukan?
Kunci terpentingnya (lagi-lagi) adalah membiasakan untuk mendalami kondisi bisnis agar tahu dividen dalam jangka panjangnya, bukan sekadar berburu one-off dividen.
Memutuskan investasi saham berdasarkan nilai bisnisnya
Ketika Anda menyebut diri seorang value investor, maka dividen bukanlah alasan utama dalam memilih sebuah emiten atau perusahaan. Dalam berinvestasi, kita harus terus memahami bahwa pada dasarnya kita membeli porsi kepemilikan bisnis.
*bagaimana pun, investor pasti suka dividen. Siapa sih yang tidak suka dapat untung? Perusahaan yang hari ini membagi dividen kecil atau bahkan tidak sama sekali (karena lebih memilih memakainya untuk ekspansi atau kemajuan bisnis), ke depannya nanti juga idealnya akan membagikan dividen.
Menggunakan kacamata bisnis, tentunya kita akan menilai saham dengan lebih menyeluruh. Tak hanya sekadar berapa besar keuntungan yang dibagikan dalam bentuk dividen dan berapa persen yield-nya. Kita akan melihatnya dari sisi kinerja perusahaan tersebut.
Dengan melihat sisi kinerja, itu artinya sama dengan menganalisis secara mendalam performa bisnis yang bisa dilihat dari laporan keuangan (yang tidak hanya satu tahun tetapi bisa sampai 8 atau 10 tahun historis) untuk memahami kecenderungan dalam bisnis. Apakah ada yang tidak beres, ataukah berjalan konsisten dan malah semakin baik setiap tahunnya?
Dari situ kemudian kita perlu sadari bahwa yang terpenting sebenarnya adalah masa depan perusahaan. Ini bisa diumpamakan seperti menyetir. Melihat ke belakang sama dengan menggunakan kaca spion, yaitu untuk kewaspadaaan. Namun, bagaimanapun juga, jauh lebih aman jika kita menyetir dengan lebih banyak melihat ke depan bukan?
Bermodal laporan tahunan dan presentasi perusahaan, value investor juga dapat melihat karakter manajemennya. Apakah kinerjanya mencapai target dan sesuai dengan tujuan yang dicanangkan di tahun-tahun sebelumnya? Apakah perusahaan mencetak laba? Apakah capex-nya dialokasikan dengan bijaksana dan bermanfaat untuk kemajuan bisnis? Apakah labanya direinvestasikan agar compounding dan semakin memajukan bisnis?
Kembali lagi, pembagian dividen memang menjadi salah satu indikator yang menandakan bahwa manajemen dan pemegang saham mayoritas peduli pada investor minoritasnya. Meski demikian, hal itu harus dilihat secara keseluruhan untuk memastikan (lagi-lagi) bahwa keputusan tersebut memang bijaksana dan menguntungkan perusahaan maupun investornya, untuk jangka panjang.
Untuk memastikan investasi saham bisa menghasilkan keuntungan yang maksimal, pertimbangan membeli harus selalu didasari analisis bisnisnya. Tujuannya agar Anda memahami berapa instrinsic value bisnis tersebut sehingga Anda pun bisa menentukan seberapa tebal margin of safety-nya saat Anda beli di harga diskon.
Value investor pada dasarnya berinvestasi dengan cara membeli aset di harga murah. Yield yang besar tentu bisa kita terima jika sedari awal sudah beli murah bukan? Jika mindset dan framework value investor ini sudah benar dari awal, ujung-ujungnya juga nanti pasti akan memperoleh dividen besar.
Dari sini saja sudah terbaca, jika kita beli saham perusahaan bagus di harga murah; perusahaan itu alokasi kapitalnya bagus, manajemennya adil, maka dividennya otomatis akan menjadi besar, entah dalam waktu dekat maupun di kemudian hari.
Semua framework ini bisa Anda pelajari dalam THINK Learning Program yang kini hadir lebih runtut, detail, dan mudah dipahami sehingga investor pemula maupun yang sudah kaliber bisa mengikutinya dengan menyenangkan.
Jadi, sudah mulai sadar ya bahwa sebenarnya dividen besar adalah “efek samping” yang muncul dari pemilihan bisnis yang bagus, bukan malah menjadi satu-satunya indikator atau tujuan dalam memilih saham?