Tahun 1998 adalah tahun bersejarah bagi Indonesia. Pada tahun tersebut, Indonesia tidak hanya mengalami krisis moneter, tetapi juga krisis politik dan sosial. Untuk pertama kalinya dalam 35 tahun, Indonesia mencatat penurunan PDB, sebuah tanda terjadinya krisis ekonomi.
Pada puncaknya, PDB Indonesia mengalami kontraksi 13,7% pada kuartal ke-3 tahun 1998. Sebagai perbandingan, krisis ekonomi tahun 2020 yang disebabkan pandemi COVID-19 berdampak penurunan “hanya” 5,32% terhadap PDB Indonesia pada puncaknya, yakni kuartal ke-2 tahun 2020.
Inflasi di Indonesia mencapai all-time high pada September 1998 sebesar 82,4%. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok dari 740 pada Juli 1997 ke 274 pada Juli 1998.
Di tengah resesi dan kepanikan di mana-mana, saham PT United Tractors Tbk yang saat itu sedang ditawarkan pada harga Rp250 menjadi peluang emas. Setelah 6 tahun, harga saham UNTR naik menjadi Rp15.000.
Valuasi No-Brainer
Dengan 138 juta saham beredar, harga saham Rp250 berarti market cap UNTR sebesar Rp34,5 miliar. Pada saat itu, UNTR memiliki aset Rp3,8 triliun dan penghasilan bersih Rp3,7 triliun. Di tengah krisis moneter, UNTR memperoleh arus kas dari aktivitas operasi sebesar Rp603 miliar.
Sebelum krisis, UNTR membagikan dividen tunai Rp13,8 miliar. Mr Market yang menawarkan saham UNTR dengan harga Rp34,5 miliar merupakan sebuah no-brainer, bukan?
Ternyata, kinerja pada tahun 1998 tidak seindah itu.
Fixed Exchange Rate
Setelah perang dunia kedua, banyak negara di seluruh dunia menggunakan mata uang fixed exchanged rate. Skema fixed exchange rate sebenarnya sudah diterapkan sejak the gold standard, yang kemudian diganti dengan perjanjian Bretton Woods.
Skema nilai tukar tetap membuat kurs dari suatu mata uang dibuat tetap dan tidak berfluktuasi. Tujuan dari skema ini adalah untuk mencapai stabilitas mata uang dan agar masyarakat berani menyimpan uang dalam mata uang lokal.
Di Asia, banyak negara, termasuk Indonesia dan Thailand, menerapkan sistem ini. Mata uang negara dibuat tetap dengan USD, sehingga nilai tukar dengan USD menjadi stabil.
Pada era 1990an, banyak pengusaha mengambil utang dalam dolar karena suku bunganya yang jauh lebih rendah dibanding utang Rupiah. Bagi mereka, keputusan ini dapat menjadi penghematan beban keuangan. Pengusaha juga memiliki keyakinan terhadap stabilitas kurs karena mata uang Rupiah yang saat itu menerapkan fixed exchange rate.
Pengusaha mendapat akses terhadap pinjaman dengan bunga yang jauh lebih rendah dengan risiko fluktuasi kurs yang seakan-akan tidak ada karena fixed exchange rate ini. Di atas kertas, strategi ini masuk akal dan sangat menguntungkan. Pada saat jatuh tempo, pengusaha bisa membeli kembali dolar dengan kurs yang sama dengan waktu meminjam dahulu.
Namun, kenyataannya tidak sesuai ekspektasi. Strategi ini hanya berlaku apabila fixed exchange rate tetap jalan dan tidak dihentikan. Strategi ini juga hanya menguntungkan apabila tidak terjadi devaluasi pada periode meminjam.
Krisis Moneter 1997-1998
Tahun 1997, pemerintah Thailand memutuskan untuk mengambangkan (floating) mata uang Baht akibat dari beban utang luar negeri yang besar. Kebijakan ini membuat nilai tukar Baht tidak lagi tetap terhadap USD, sehingga mampu berfluktuasi. Mata uang yang tiba-tiba mengambang meningkatkan ketidakpercayaan terhadap Baht.
Krisis yang semula dimulai di Thailand berakhir merembet ke negara-negara lain di Asia, termasuk Indonesia. Tidak lama setelah devaluasi Baht, Indonesia mengambangkan mata uang Rupiah, sehingga nilainya tidak lagi tetap terhadap USD.
Kurs Rupiah pun segera anjlok dan melemah berkali-kali lipat hingga mencapai Rp17.000 untuk 1 USD dari Rp2.300 pada Agustus 1997. Indonesia, negara yang kala itu memiliki utang dalam dolar berjumlah besar tentu merasakan dampaknya.
Tahun 1998, utang jangka pendek USD yang dimiliki UNTR berbunga 5,8 - 15%, jauh lebih rendah dari utang jangka pendek IDR yang berbunga 32,5 - 70,5%.
Adanya pencabutan fixed exchange rate dan merosotnya nilai tukar Rupiah akibat krisis moneter 1997-98 memberi kerugian besar-besaran bagi pengusaha yang memiliki utang dalam dolar. Setelah Rupiah terdevaluasi hingga mencapai belasan ribu per dolar, pengusaha harus membayar sejumlah uang yang berkali-kali lipat lebih besar untuk melunasi utang yang dimiliki.
Tahun 1998, UNTR memiliki utang jangka pendek sebesar 72,5 juta USD dan utang jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam setahun, sebesar 305 juta USD. Ditambah dengan utang jangka pendek dalam rupiah, UNTR harus mencari dana sebesar Rp3,2 triliun dalam waktu beberapa bulan saja, demi melunasi utang yang akan segera jatuh tempo.
Sebagai gambaran, per 31 Desember 1997, ekuitas UNTR “hanya” sebesar Rp509 miliar, sedangkan ekuitas UNTR pada 1998 menjadi negatif Rp496 miliar akibat membukukan kerugian kurs.
UNTR menerima pendapatan dalam rupiah dan USD, tetapi juga menanggung harga pokok penjualan (COGS) dalam rupiah, USD, dan JPY. Melemahnya rupiah menyebabkan harga jual unit-unit baru naik, sehingga banyak pelanggan menunda pembelian sampai rupiah kembali menguat.
Meskipun mencatat operating cash flow Rp603 miliar pada 1998, ternyata UNTR rugi bersih Rp299 miliar pada 1997 dan Rp1,1 triliun pada 1998.
Akibat dari kerugian yang dialami dan kewajiban jangka pendek yang sangat material, UNTR harus mencari dana dalam waktu cepat. Sejak bulan Oktober 1998, UNTR melakukan negosiasi dengan para kreditur untuk merestrukturisasi pembayaran kembali pinjaman.
Pada bulan Maret 1999, UNTR menjual kepemilikannya pada dua anak perusahaannya: 26,05% dari seluruh sahamnya di PT Hokuriku United Forging Industry seharga 1,6 juta USD dan 15,00% dari seluruh sahamnya di PT Hanken Indonesia seharga 150 ribu USD.
Gambar 1: Pemaparan Manajemen Tentang Likuiditas/Sumber: Laporan Keuangan UNTR 1998.
Bahkan, UNTR berencana menjual sahamnya di PT Pamapersada Nusantara dan PT Berau Coal. Selain efisiensi yang dilakukan sejak terjadinya krisis, UNTR berhasil merestrukturisasi seluruh utang induk dan anak usaha pada tahun 2000.
Gambar 2: Laporan Direksi/Sumber: Laporan Tahunan UNTR 2000.
Masa kelam yang dilalui UNTR berhasil terlewatkan. Untungnya, UNTR tidak jadi menjual sahamnya di PT Pamapersada Nusantara. Hingga saat ini, UNTR berhasil mempertahankan 100% saham yang dimiliki di PT PAMA.
Kini, PT PAMA adalah kontraktor batu bara terbesar di Indonesia dengan aset hampir Rp100 triliun (58% dari seluruh aset UNTR). Tahun 2023, PT PAMA mencatat overburden removal sebesar 1.158 juta bcm dengan produksi batu bara 128,9 juta ton.
Dari krisis moneter 1997-1998, kita bisa melihat pentingnya melakukan hedging. Perusahaan yang terekspos terhadap risiko eksternal, terutama yang bersifat material, wajib melakukan hedging. Meskipun tidak akan menguntungkan pada kondisi bagus, hedging dapat mengurangi kerugian dalam kondisi buruk.
Dalam sebuah krisis, akan terdapat banyak perusahaan yang mengalami kesulitan dan bangkrut. Namun, wonderful companies dapat melalui masa sulit itu dan bahkan bangkit serta bertumbuh lebih besar.
Di tengah kepanikan besar-besaran, akan ada peluang luar biasa yang tersembunyi. Apabila kita tetap tenang dan rasional, kita bisa menemukan wonderful companies at wonderful prices.
Itulah tugas kita sebagai investor.