Histori krisis di Indonesia
Kita tentu ingat atau setidaknya pernah mendengar tentang krisis moneter tahun 1998. Ketika itu kondisi ekonomi, termasuk pasar saham di Indonesia, hancur parah disebabkan oleh turun drastisnya mata uang Thailand pada Juli 1997.
Itu belum ditambah lagi dengan konflik politik lengsernya ORBA di Indonesia. Utang pemerintah kita menumpuk, begitu pula utang korporasi dalam valuta asing.
Ketika itu pertumbuhan ekonomi minus 13,10%. Inflasi meroket sampai 82,40% dan nilai tukar rupiah anjlok dari Rp2.500 menjadi Rp16.650 per dolar AS. IHSG turun hampir 54% ke 256,83 pada bulan September, dari titik tertingginya di 554,11 pada bulan Februari 1998.
Kebanyakan orang menjadi panik dan kemudian menjual sahamnya karena takut semakin merugi. Meskipun nyatanya, memasuki bulan September 1999, IHSG tercatat sudah recover ke posisi sebelum krisis di 547,93.
Setelah itu, pasar saham naik lagi. Sampai satu dekade kemudian, yaitu di tahun 2008, dunia terimbas efek domino dari krisis Subprime Mortgage di Amerika Serikat. Pasar modal dunia banyak yang kolaps dan mengakibatkan krisis global.
Indonesia terimbas menjelang akhir tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi yang masih di atas 6% pada kuartal 3 2008, melambat menjadi 4,5% di tahun 2009.
Inflasi tercatat rendah di tingkat 2,78% dan nilai tukar rupiah terhadap USD merosot menjadi Rp11.238 per dolar AS pada bulan Desember 2008.
IHSG turun dari 2.830 ke 1.111 pada Oktober 2008, atau bisa dibilang anjlok 60,73% dibandingkan angka tertingginya di awal tahun. Orang-orang lagi-lagi sibuk melepas saham untuk menghindari kerugian lebih jauh.
Meski demikian, imbas krisis global 2008 terhadap negara kita termasuk tidak seburuk yang dialami negara lain. Hanya beberapa sektor yang terdampak signifikan. Kebanyakan sektor riil masih dalam kondisi terkendali.
Pemulihan ekonomi juga terlihat signifikan dalam jangka waktu 6 bulan sampai 1 tahun. IHSG naik 43% ke 2.528 dari titik terendah saat krisis di Oktober 2008. IHSG tahun 2010 juga naik 46% dan rupiah kembali menguat menjadi Rp8.450 per USD pada tahun 2011.
Dari tahun 2011 sampai awal 2020, IHSG naik sekitar 2 kali lipat dari angka 3.217 ke 6.348, meskipun sempat beberapa kali mengalami koreksi. Seperti misalnya di tahun 2013. Terjadi penurunan 26% dari titik tertingginya 5.251 di bulan Mei ke 3.837 di bulan Agustus. Penurunan sebesar 26% juga terjadi di tahun 2015, yakni dari titik tertinggi 5.524 di bulan April ke 4.033 di akhir September.
Tahun 2018, IHSG dominan turun ke zona 5.000an sepanjang bulan Mei hingga November, setelah sebelumnya sempat menyentuh zona 6.000an. Pada akhir tahun 2019 sampai dengan bulan Januari 2020, IHSG konsisten terus di zona 6.000an.
Lalu, tiba-tiba Pandemi COVID-19 terjadi di tahun 2020. Ketika itu, seluruh dunia terdampak dan di Indonesia sendiri, pertumbuhan ekonomi sampai minus 2,1%. Sejak awal tahun 2020, IHSG anjlok sebesar 25% ke angka 4.716. Padahal terakhir kali IHSG berada di zona 4.000 adalah tahun 2016.
Kondisi ini membuat kapitalisasi pasar menguap hampir Rp2 triliun dan sekitar Rp20 triliun dana asing keluar dari bursa. Volume transaksi turun 50% lebih. 24 Maret 2020, IHSG ditutup di tingkat 3.937 atau turun 37,5% sampai titik terendah dari posisi awal tahun.
Menariknya, pandemi COVID-19 ternyata tidak seburuk yang dibayangkan orang-orang saat awal kemunculannya. Ditambah money printing besar-besaran, pemulihan pasar saham terbilang cukup cepat.
Per Desember 2020, IHSG sudah naik 57,8% menjadi di angka 6.000an.
Gambar 1: IHSG di sejumlah krisis di Indonesia/Sumber: Youtube THINK.
Penjelasan di atas menunjukan bagaimana pasar saham secara jangka panjang selalu bergerak ke atas, seiring dengan kondisi ekonomi riil. Meskipun ada krisis, pada akhirnya juga akan recover dan naik lebih banyak lagi.
Berinvestasi di masa krisis
Bila kita mulai investasi pertama pada awal tahun 1998 (dengan IHSG saat itu adalah 410.01) dan terus menahannya selama 25 tahun sampai tahun 2023, CAGR IHSG ternyata mencapai 12.72%, terlepas dari adanya penurunan dari waktu ke waktu.
Gambar 2: Simulasi kalkulasi nilai investasi jika dimulai dari tahun 1997/Sumber: Olahan THINK.
Jika kita rutin top up Rp 200 juta per tahun sampai 2023, dengan modal disetor Rp 5,2 miliar, di tahun 2023 nilai investasinya sudah menjadi Rp 30 miliar.
Kinerja investasi ini dengan catatan kalau kita investasi di semua perusahaan yang ada di IHSG, baik perusahaan bagus maupun buruk, baik perusahaan mahal maupun murah.
Kalau kita mau meluangkan sedikit lebih banyak waktu dan usaha untuk hanya invest di perusahaan yang bagus dan murah saja, tentu kinerjanya akan jauh di atas CAGR IHSG ini.
Checklist sebelum beli saham
Lewat tulisan singkat ini, kami akan coba paparkan 3 checklist agar isi portofolio Anda hanya perusahaan yang bagus dan murah saja.
Ketika kita membeli saham, maka sebenarnya ya kita membeli bisnis, dan kita berpartner dengan pemilik lainnya. Kita pun berpartner dengan pemegang saham pengendali yang menentukan arah perusahaan itu mau ke mana, bagaimana operasionalnya akan dijalankan, termasuk bagaimana kas perusahaan akan digunakan.
Maka dari itu, checklist pertama adalah pastikan bisnis yang kita beli dikelola oleh orang yang jujur, berintegritas, dan tentu juga harus capable.
Buffett menekankan hal yang sama. Kalau pemegang saham pengendali tidak berintegritas dan fair terhadap pemegang saham minoritas, lebih baik lari jauh-jauh dari perusahaan ini. Warren Buffett juga pernah mengajarkan 2 cara untuk kita bisa mengetahui apakah manajemen perusahaan tersebut baik atau tidak.
Pertama adalah dengan melihat how well do they run the business. Bagaimana track record manajemen menjalankan perusahaan, apa yang mereka dan kompetitornya capai, bagaimana perkembangan perusahaannya, serta bagaimana mereka mengalokasikan capital-nya dari waktu ke waktu. Semua ini bisa kita ketahui dengan membaca laporan keuangan perusahaan tersebut dari tahun ke tahun.
Kedua adalah how well do they treat the owners, termasuk pemegang saham minoritas yang pada kebanyakan kasus hanya bisa pasrah mengikuti keputusan yang diambil pemegang saham pengendali (ke depannya kita tulis “owner” agar lebih singkat)
Ingat kata Warren Buffett,
“poor managers usually don’t think that much about their shareholders”.
Kita bisa menilai poin ini dengan melihat apakah banyak kejanggalan pada laporan keuangannya, seberapa banyak transaksi afiliasinya, apakah transaksi afiliasinya fair, bagaimana track record jajaran manajemen dalam menjalankan bisnisnya, dan masih banyak 1001 cara lainnya yang bisa dipelajari di THINK Case.
Bagi Anda yang masih pemula, tips paling mudah untuk memulai adalah dengan melihat bagaimana perusahaan menggunakan cash-nya. Bisnis yang bagus pasti menghasilkan keuntungan dan cash flow.
Pertanyaan selanjutnya, apakah cash hasil dari keuntungan tersebut digunakan dengan bijak? Apakah perusahaan reinvest cash tersebut secara tepat guna? Baik itu untuk ekspansi masa depan maupun untuk melunasi utang. Apabila berlebih serta tidak digunakan, cash akan dibagikan sebagai dividen untuk pemegang saham.
Sedikit catatan, kebanyakan perusahaan-perusahaan publik di Indonesia adalah perusahaan besar yang sudah berdiri puluhan tahun. Biasanya perusahaan seperti itu sudah tidak perlu reinvest 100% labanya untuk ekspansi.
Kalau Anda peka, mestinya Anda sadar bahwa maksud yang kami coba sampaikan adalah: perusahaan-perusahaan tersebut seharusnya rutin membagikan setidaknya sebagian hasil keuntungannya sebagai dividen.
Kalau perusahaannya untung besar dan menghasilkan banyak cash, tetapi tidak pernah bagi dividen, atau lebih parahnya lagi cash-nya malah dikeluarkan dari perusahaan lewat cara-cara yang tidak fair bagi pemegang saham minoritas (misalnya membeli tanah atau private jet untuk kepentingan pribadi owner dengan harga yang sudah di-mark-up, atau menerbitkan obligasi dengan bunga tinggi yang ternyata dibeli oleh owner sendiri).
Sebaiknya kamu lari jauh-jauh dari perusahaan seperti ini. Belajarlah cara menilai poin dari berbagai THINK Case yang sudah ada. Belajarlah untuk menghindari red flag yang paling berbahaya dalam investasi saham.
Sebaliknya, kalau owner rutin membagikan dividen setiap tahun, apalagi dalam jumlah yang cukup besar, maka bisa jadi ini mengindikasikan owner yang baik dan berintegritas.
Sebab mereka tahu bahwa mereka punya uang lebih yang tidak bisa diputar, sehingga lebih tepat guna apabila dibagikan kepada pemegang saham. Meskipun selalu ada eksepsi. Tidak ada rule of thumb-nya.
Kalau owner-nya sudah berintegritas dan capable, checklist selanjutnya adalah menilai apakah bisnisnya memiliki prospek bagus untuk bertumbuh dalam jangka panjang. Pada Letter to Shareholders Berkshire Hathaway tahun 1977, Warren Buffett menyebutkan ada 4 syarat yang dilihatnya saat mengevaluasi bisnis. Pada syarat kedua, Buffett menyebut “company with favourable long-term prospects”.
Dalam hal ini, ada sejumlah perusahaan yang mungkin secara historis terlihat terus merugi atau profit-nya tidak menentu. Namun dalam jangka panjang, ternyata terlihat ada potensi untuk berkembang dengan sangat baik di masa depan. Bisa karena industrinya yang berkembang, atau memang bisnis ini punya strategi menarik untuk jangka panjang dalam menjawab tantangan yang ada.
Di sisi lain, ada perusahaan yang terlihat profit-nya sangat bagus, bahkan cash flow-nya juga lancar. Tetapi, ternyata perusahaan ini adalah perusahaan semusim, yang artinya hanya menjamur karena industrinya sedang hot. Trending sebentar lalu tidak punya kesiapan menghadapi jangka panjang.
Untuk checklist satu ini, bagaimana cara kita bisa mengetahuinya?
Kita perlu memahami business model perusahaan secara mendalam. Pahami benar bagaimana perusahaan tersebut beroperasi dan menghasilkan uangnya, serta apa peranan perusahaan dalam supply chain industrinya.
Dari supply chain tersebut, kita juga bisa tahu lebih dalam bagaimana supply dan demand yang berkaitan erat dengan perusahaan tersebut di masa kini dan masa depan. Ini membuat kita bisa memahami faktor-faktor apa saja yang bisa mendongkrak profit perusahaan, termasuk juga sebaliknya, yang menjadi ancaman bagi perusahaan.
Framework lebih detilnya sudah dijelaskan di masing-masing THINK Case.
Di Indonesia, bisnis yang memiliki favorable long-term prospects ini banyak ditemui pada lini perbankan. Kita bisa melihat contohnya pada BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI.
Laba yang dihasilkan oleh bank tersebut cenderung tumbuh terus dan harga sahamnya pun mengikuti. Bisa sebutkan contoh dari industri yang lain?
Checklist terakhir adalah membeli saham pada saat valuasinya murah. Simpelnya begini, sebagus apapun perusahaan, tidak menjadi good investment kalau belinya kemahalan.
Ambil contoh perusahaan Unilever. Siapa yang tidak kenal bisnis raksasa ini? Perusahaan multinasional untuk fast-moving consumer goods dengan lebih dari 400 merek dagang.
Unilever sudah beroperasi selama hampir 1 abad. Rasanya anak kecil juga tahu Unilever adalah perusahaan yang bagus.
Kami ingat sekitar 10 tahun lalu, semua orang menyarankan untuk beli saham Unilever karena perusahaannya bagus sekali. Gimana tidak bagus, rasanya seharian kita hidup pasti ada saja pakai produk dari Unilever.
Dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita terus mengkonsumsi produk-produk mereka.
Mandi pakai sabun Lifebuoy atau Lux, keramasnya pakai sampo Clear, Sunsilk, atau Dove, sikat gigi pakai Pepsodent atau Close Up. Supaya wangi semprot AXE atau Rexona. Bersih-bersih, pakai Sunlight, Molto, Rinso, Vixal, Wipol, Super Pell. Begitu jajan ketemu lagi sama es krim Wall’s, minumnya teh Sariwangi atau Buavita. Terus aja gak ada habisnya.
Masalahnya, meskipun bisnisnya sangat bagus dan menghasilkan keuntungan yang besar, jika dibandingkan dengan harga sahamnya yang dijual sampai lebih dari 40 kali lipat labanya, return yang diterima investor itu kecil sekali.
Pada akhir tahun 2014, saham Unilever dijual di angka Rp32.300 per lembar saham, sedangkan laba per sahamnya adalah Rp752. Bayarnya 32.300, dapatnya 752 per tahun. Artinya, return yang diterima investor hanya sekitar 2,5% saja.
Memang laba tersebut bisa bertumbuh. Tapi, bisa tumbuh seberapa banyak? Naik 2x lipat saja masih hanya 5% return-nya. Apalagi kalau kita lihat, pangsa pasar produk-produknya sudah sangat besar di Indonesia, ruang pertumbuhan untuk itu sudah tidak banyak.
Sudah jelas ini overvalue. Jika return-nya hanya segitu, mendingan deposito saja yang lebih aman dan pasti. Di masa itu saja, kami merasa harga saham Unilever sudah terlalu tinggi. Jadi, jelas kami tidak membeli sahamnya, meskipun semua orang menyarankan.
Pertengahan triwulan III tahun 2021, saham Unilever akhirnya anjlok dari level tertinggi Rp8.000 per lembar sampai ketika tulisan ini dibuat menjadi Rp2.350 per lembar. Bahkan di harga hari ini pun kami belum tertarik untuk membelinya.
Ini terjadi karena market share Unilever tergerus oleh kompetitor kuat yang mulai bermunculan. Seperti Es Krim AICE yang mengambil pangsa pasar Wall’s, dan masih banyak yang lainnya.
Laba Unilever tentu saja terdampak. Ketika labanya turun, ekspektasi irasional para spekulan di pasar saham tidak tercapai dan saham Unilever dijual besar-besaran.
Ini menunjukkan betapa pentingnya investor untuk tetap rasional, meskipun posisi yang harus diambil adalah contrarian terhadap kebanyakan orang.
Kalau Anda padukan ketiga checklist ini: (1) membeli bisnis yang dikelola oleh orang handal dan jujur, (2) prospeknya juga bagus, dan (3) belinya ketika harganya murah, maka investasi saham akan menjadi low risk - high return.
Lalu, selanjutnya apa? Lagi-lagi mengutip famous quote dari Warren Buffet,
“The stock market is a device for transferring money from the impatient to the patient."
Selanjutnya adalah PATIENCE. Tinggal sabar saja menunggu harga saham yang dibeli naik. Kalau dalam proses menunggu itu ternyata harga sahamnya turun dulu pun tetap bisa tenang, karena sudah menganalisa dan sudah paham apa yang dibeli. Justru malah bisa membeli lebih banyak lagi karena harganya semakin murah.
Jangan terbalik ya! Belum menerapkan 3 checklist ini, tetapi malah sudah keduluan beli saham dan langsung bersabar menunggu. Itu namanya pasrah, bukan patience.
Dari cerita soal krisis ekonomi yang dijelaskan di awal tulisan, memang betul secara keseluruhan IHSG ujung-ujungnya akan tetap naik meskipun ada krisis dan ada penurunan harga saham dari waktu ke waktu.
Tetapi jika dilihat satu per satu, yang turun paling banyak ketika krisis adalah perusahaan yang buruk dan mahal. Perusahaan yang bagus dan murah, biasanya tidak turun terlalu banyak. Justru perusahaan begitu malah recover duluan. Kuncinya adalah lakukan 3 checklist agar investasi saham menjadi low risk - high return.
Selamat mempraktekkan 3 checklist ini. Kami tunggu cerita sukses investasi Anda.