Insights & Articles

Paham Rasio Belum Tentu Paham Bisnis

id Accounting September 12, 2024
At a Glance

Seringkali, perjalanan investasi saham berawal dari mengenal rasio-rasio. Investor pun jadi banyak yang menjadikan rasio sebagai patokan dalam membeli saham.

Padahal, membeli saham hanya melihat rasio seumpama membeli sepatu tanpa mencobanya terlebih dulu.

Investor memerlukan framework analisis yang tepat agar bisa memahami bisnis dan yakin akan valuasinya.

Saya mengenal dunia saham sejak tahun 2018. Dari situ sampai saat ini, masih banyak pihak di luar sana yang mengajarkan analisa saham dengan hanya melihat rasio-rasio. 

Katanya, kalau PBV sudah di bawah 1 dan P/E di bawah 5, itu sudah tergolong murah. Dalam perjalanan awal berinvestasi, saya pun terjebak dalam pemahaman itu. 

Setelah melewati cukup banyak kesalahan, saya semakin sadar bahwa seorang investor tidak bisa hanya bergantung pada rasio dalam berinvestasi.

Analogi beli sepatu di toko online

Menurut saya, hal ini bisa dianalogikan dengan membeli sepatu di online shop tanpa mencoba terlebih dahulu. Anda bisa yakin untuk tetap memesan sesuai ukuran yang biasa Anda pakai. Kita misalkan seperti saya, ukuran sepatu biasanya 42. 

Meski sudah begitu, pada saat sepatu itu datang, bisa Anda baru sadar kalau ukurannya tidak pas di kaki Anda. Entah terlalu longgar atau malah kesempitan. 

Sebab, walaupun diberi label ukuran 42 (sesuai dengan ukuran yang biasa Anda pakai), detail panjang dan lebarnya tetap belum tentu sesuai dengan kaki Anda. 

Semuanya tergantung brand, bahan sepatu, dan tipe sepatunya. 

Bagi Anda yang kurang relate, perlu diketahui bahwa ukuran 42 di sepatu lari bisa berbeda dengan ukuran 42 di sepatu formal. Jika membeli hanya berdasarkan ukuran yang tertera saja dan tidak mendetail, Anda tentu malah jadi tidak nyaman saat memakainya.

Korelasinya dengan saham?

Dalam saham, misalnya Anda hanya melihat sebuah saham ABCD dengan P/E 3. Dari situ, Anda langsung merasa saham itu murah dan kemudian memutuskan membeli tanpa analisis komprehensif. 

Tanpa analisa yang tepat, kemungkinan Anda belum mengenal dengan baik bagaimana bisnis perusahaan ABCD itu bekerja. Dari mana sumber earning-nya? Apakah earning-nya sedang bagus murni karena operasional atau ekspansi, atau hanya karena pendapatan tambahan yang bersifat one-off

Bisa jadi, saham ABCD tersebut dihargai P/E 3, tapi tidak otomatis menjadi bisnis yang wonderful. Mungkin, nilai intrinsiknya tidak jauh dari P/E 3 sehingga Anda tidak memiliki margin of safety yang cukup aman saat membeli saham itu. 

Padahal, bisa saja ada saham lain, misalnya EFGH yang P/E-nya 6. Tapi, karena terjebak dalam miskonsepsi "P/E harus di bawah 5", Anda jadi ragu-ragu untuk membelinya. 

Apabila Anda bisa menganalisis lebih dalam, bukan tidak mungkin saham yang P/E-nya 6 itu salah harga karena semestinya layak dihargai di P/E 12. 

Mungkin juga, Anda malah makin bingung kalau saham ABCD dan EFGH sama-sama berada di P/E 3. Dua saham di P/E yang sama, bisa saja nilai intrinsiknya berbeda. 

Kembali lagi seperti contoh dua sepatu yang ukurannya sama, tapi detail ukurannya bisa berbeda tadi. Oleh karena itu, Anda harus "mengenal" masing-masing sepatu tersebut untuk mengetahui mana yang cocok untuk Anda.

Rasio lainnya

Analogi sepatu ini mengingatkan saya untuk memahami detail di balik angka dan rasio-rasio. Contoh tadi pun hanya dari satu rasio, yaitu P/E. 

Masih ada banyak lagi rasio yang biasanya disajikan di media yang membahas saham. Ada ROE, NPM, DER, ROIC, dan lainnya. 

Seringkali diberitakan bahwa saham dengan DER (Debt to Equity Ratio) rendah itu bagus karena dianggap memiliki utang yang kecil. Padahal, pada saham bank yang terjadi justru sebaliknya. 

Dalam bahasa accounting bisnis perbankan, dana nasabah dibukukan sebagai utang. Jadi, sebenarnya wajar DER bank lebih besar dari 1 karena dana nasabah itu harus disalurkan sebagai kredit yang kemudian menjadi sumber profit bank. 

Contoh lainnya adalah Net Profit Margin atau NPM. Market cukup sering bereaksi pada NPM saham-saham yang tiba-tiba bertumbuh atau berkurang double digit. Orang-orang bisa langsung FOMO untuk beli atau panik untuk jual. 

Padahal, seorang investor perlu memahami kenapa NPM tersebut tiba-tiba berubah signifikan. Bisa saja ada pendapatan atau kerugian yang bersifat sementara dan non-material.

Daftar rasio itu pun bisa terus kita tambahkan karena rasio pada dasarnya hanyalah perbandingan aritmatik berdasarkan angka-angka yang ada. 

Rasio-rasio itu merupakan given information

Framework yang tepat?

Mengambil kesimpulan analisis hanya dari rasio malah menjauhkan saya dari framework investasi yang tepat. Karena, semestinya saya harus mencari tahu relevansi rasio-rasio itu terhadap business model dari perusahaan yang terkait.  

Bersama THINK, kita bisa belajar bahwa kita perlu menjalani proses menjadi detective agar bisa memahami suatu bisnis dengan baik. Lewat proses menjadi detektif itulah kita bisa menentukan sendiri key variables apa saja yang krusial dalam suatu bisnis. 

Contohnya, key variables bisnis retail consumer goods dan bisnis retail gadgets bisa saja sangat berbeda. 

Setelah kita mendapatkan data-data dan pemahaman yang tepat, kita bisa lanjut memakai topi lawyer atau pengacara untuk menimbang karakteristik bisnis. 

Sebagai investor yang bijak, aktivitas dengan topi detektif dan lawyer bisa menghabiskan 99% waktu investor. 

Pada akhirnya, topi judge atau hakim yang dipakai untuk proses valuasi bisnis tersebut malah memakan waktu yang paling singkat. Proses valuasi yang benar seharusnya natural, tidak bergantung pada formula-formula yang kerap kali diajarkan di luaran sana.

Jika analisis sudah dijalani dengan framework yang tepat, tentu pemahaman dan valuasi akan lebih akurat. Sehingga, investor bisa terhindar dari rasa ragu-ragu dan khawatir yang berlebihan. 

 

Coba bandingkan dengan keputusan yang diambil hanya dengan kacamata rasio saja, apakah Anda bisa yakin? Atau malah jadi sering gelisah dan sibuk memantau harga saham yang Anda pilih?

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read