Insights & Articles

Harga Besi Baja Turun, Siapa yang Untung?

id Investment September 20, 2024
At a Glance

Perekonomian di Cina belum menunjukkan pemulihan yang signifikan. Konsumsi komoditas besi baja domestik yang menurun mengakibatkan posisi supply lebih banyak daripada demand.

Harga indeks HRC menurun lebih dari 30% di tahun 2024. Sementara harga HRC Futures FOB Cina turun hampir 20% di tahun yang sama.

Bagaimana kondisi demand di Indonesia? Apakah bisa diuntungkan dengan menurunnya harga besi ini? Atau malah meningkatkan risiko dumping dari Cina?

Baru-baru ini cukup banyak pemberitaan seputar pertumbuhan ekonomi di Cina yang melambat. Pertumbuhan GDP di Q2 2024 sebesar 4,7% adalah yang terendah sejak tahun 2023. Kondisi tersebut juga di bawah forecast yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 5%. 

Salah satu industri yang juga mengalami slow down adalah industri besi. Utilisasi kapasitas produksi blast furnace steel mill di Cina yang tahun lalu di sekitar 90%, semakin menurun ke 82% di akhir Agustus 2024 ini.  

Cina masih menjadi produsen dan konsumen material metal dunia. Namun, konsumsi di Cina malah menunjukkan decline.  

Konsumsi domestik bulan Juli di Cina sebesar 73 juta metrik ton, menurun 11% dari bulan Juni (MoM) dan 12% year on year (YoY). Secara umum, produksi di Cina selalu surplus karena mereka juga menjadi eksportir terbesar.

Di saat yang bersamaan, Cina terus meningkatkan kapasitas produksi besi baja dari tahun ke tahun terutama tahun 2021 hingga 2023. Namun, utilisasi keseluruhan malah menurun dari 90% di tahun 2021, kemudian 88% di 2022, lalu menjadi 87% di 2023. 

Berdasarkan data yang dihimpun dari WorldSteel dan Eurostat. Konsumsi domestik yang mencapai 993 juta ton di 2021 menurun ke 935 juta ton di 2023. Konsumsi domestik yang terus menurun ini mengakibatkan posisi oversupply semakin tinggi.

Tujuan ekspor besi baja dari Cina

Menurunnya demand domestik mendorong meningkatnya ekspor dari Cina.  Lalu, ke mana saja besi dan baja dari Cina diekspor?

Berdasarkan data Observatory of Economic Complexity (OEC), Indonesia termasuk lima besar tujuan ekspor besi baja dari Cina. Bulan Juli 2024, komposisi ekspor tersebut sebagai berikut: Vietnam ($388 juta), South Korea ($378 juta), Thailand ($327 juta), Indonesia ($311 juta), dan Brazil ($232 juta). 

Bagi Indonesia sendiri, impor dari Cina memang selalu menjadi yang terbesar sejak tahun 2017 (menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)). Bahkan, impor di tahun 2023 sebesar 3,7 juta ton sudah melebihi besaran impor di tahun 2017 yang sebanyak 3,6 ton. 

Secara keseluruhan, Kementerian Perdagangan masih memperkirakan konsumsi baja nasional bertumbuh 5,2% di tahun 2024 ini. Pertumbuhan itu juga akan ditopang 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang baru dicanangkan pemerintah tahun ini. 

Hot rolled coil, concern baru

Salah satu produk besi baja yang layak diperhatikan adalah HRC atau Hot Rolled Coil. HRC merupakan material lembaran baja yang akan lanjut dibentuk untuk berbagai kebutuhan industri, seperti konstruksi, pemipaan, dan juga otomotif. 

Harga indeks HRC Steel sudah menurun sekitar 36% di tahun 2024 ini. Sementara itu, harga FOB HRC di Cina juga turun hampir 20% jika dibandingkan dengan awal tahun 2024. 

Menurunnya harga HRC impor ini juga divalidasi melalui public expose salah satu perusahaan fabrikasi di Indonesia yaitu ISSP (SPINDO). Dalam public expose pertengahan 2024, mereka menyampaikan bahwa volume impor bahan baku di 1H2024 meningkat menjadi 70%, dibandingkan dengan 1H2023 yang hanya sebesar 45%. 

Pembelian SPINDO

Gambar 1: Impor SPINDO/Sumber: SPINDO Company Presentation H1 2024.


Namun, yang perlu menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah penurunan harga HRC impor ini bisa memberi dampak positif? Apakah perusahaan yang bergerak di bidang fabrikasi bisa meningkatkan
margin-nya? 

Melanjutkan contoh SPINDO, sejauh ini Net Profit Margin (NPM) mereka di sekitar 7%, masih dalam kisaran rata-rata setahun ke belakang. Belum terlihat apakah penambahan bahan baku yang lebih murah bisa meningkatkan profit margin. Kemungkinan, Spindo tetap harus mematok harga yang kompetitif agar bisa terus memimpin market share.

SPINDO Steel Pipe vs HRC

Gambar 2: SPINDO Steel Pipe vs HRC.
Sumber: SPINDO Company Presentation H1 2024.


Kondisi industri lain

Bagaimana dengan industri lainnya yang erat dengan besi baja sebagai bahan bakunya? (misalnya bidang konstruksi yang berkontribusi pada konsumsi baja nasional hingga 75%, disusul bidang otomotif di kisaran 12%). Pada sektor konstruksi, harga rebar yang menjadi komponen struktural juga mengalami penurunan. 

Harga per awal September di 2024 sekitar 3.000 Yuan/ton. Harga tersebut bahkan lebih rendah dari rata-rata harga saat Covid di 2020 yang berada di kisaran 3.500 Yuan/ton dan harga rata-rata tahun 2023 di sekitar 3.600 Yuan/ton. 

Pergerakan harga Steel Rebar

Gambar 3: Pergerakan harga Steel Rebar/Sumber: Trading Economics Sep. 2024.

Jika perusahaan konstruksi yang memenangkan kontrak di 2023 menggunakan harga acuan yang lebih tinggi di RAB (Rencana Anggaran Biaya), apakah mereka bisa memanfaatkan momen penurunan harga ini untuk mendapatkan margin yang lebih baik?

Pertanyaan itu menjadi menarik untuk dipelajari lebih lanjut karena jika hal tersebut terjadi, bisa saja di masa depan keadaan berbalik (misalnya perusahaan tersebut memenangkan kontrak baru di sisa tahun 2024 ini dengan asumsi harga bahan baku yang menurun).

Namun, dengan fluktuasi harga besi baja, mungkin saja di tahun depan harga acuan kembali naik ketika perusahaan membutuhkan material tersebut. Lalu, bagaimana sebaiknya pemilik perusahaan mengelola fluktuasi harga bahan baku?

Jadi, sebagai investor, tetap perlu melihat dari berbagai aspek. Sebaiknya jangan mengambil keputusan hanya dari satu faktor saja. Seperti dalam framework THINK, Anda perlu menjadi detektif yang teliti sebelum memakai topi lawyer yang menentukan karakter bisnis. 

Bagaimana menurut Anda, kira-kira sektor apa lagi yang bisa diuntungkan dengan menurunnya harga besi baja?

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read