Insights & Articles

Bisakah mobil EV mendisrupsi bisnis ASII? - update untuk Astra International

id Investment August 20, 2024
At a Glance

Segmen 4W ASII jika memperhitungkan bisnis pembiayaan, berkontribusi +/- 15% terhadap laba pemegang saham ASII. Masuknya BYD dan Wuling untuk kelas mobil listrik memunculkan kekhawatiran akan turunnya pangsa pasar ASII.

Mobil listrik yang masih menggunakan baterai (BEV) dari brand seperti BYD dan Wuling sebenarnya masih sulit diimplementasi secara massal dengan banyak keterbatasannya.

Hybrid EV dapat menjadi solusi sementara dan ASII melalui brand Toyota telah menguasai sekitar 61% pasar Hybrid EV.

Akhir-akhir ini muncul banyak narasi terkait mobil electric vehicle (EV) akan merebut pangsa pasar mobil bermesin pembakaran internal, seperti bensin dan diesel di Indonesia. Analisis dari JP Morgan bahkan mengatakan masuknya BYD dapat menurunkan pangsa pasar mobil Astra sebanyak 8%.

Sungguh mengerikan bukan?

Pada tulisan ini kami akan membahas pandangan terkait outlook mobil listrik di Indonesia dan bagaimana dampaknya terhadap Astra International.

Sebelum membahas outlook mobil listrik ke depannya, ada baiknya kita membahas terkait Astra International terlebih dahulu. Astra International adalah konglomerasi dengan berbagai lini usaha. Beberapa lini yang cukup besar di antaranya adalah:

1. Bisnis otomotif.

Tahun 2023 lini bisnis ini mencetak laba pemegang saham sebesar Rp9,7 triliun, atau setara dengan 33% laba pemegang saham ASII. Bisnis otomotif terbagi atas beberapa sub segmen, seperti: pabrik motor (+/- 11% laba pemegang saham ASII), pabrik mobil (+/- 4% laba pemegang saham ASII), suku cadang (+/- 7% laba pemegang saham ASII), dan distribusi kendaraan (+/- 11% laba pemegang saham ASII).

Mungkin sebagian pembaca akan terkejut saat menyadari bahwa sebenarnya laba dari segmen otomotif lebih ditopang oleh sepeda motor. 

2. Bisnis keuangan.

Tahun 2023, bisnis ini mencetak laba pemegang saham Rp6 triliun, setara dengan 21% laba pemegang saham ASII. Dari nilai tersebut,+/- 50% berasal dari pembiayaan motor, 25% berasal dari pembiayaan mobil, dan sisanya berasal dari asuransi kendaraan.

3. Bisnis alat berat dan pertambangan yang terintegrasi di bawah United Tractor (59.5% dimiliki ASII). Segmen ini mencetak laba sebesar Rp12,7 triliun, setara dengan 44% laba pemegang saham ASII.

4. Segmen lainnya, seperti bisnis sawit, infrastruktur, dan properti yang hanya menyumbang sekitar 2% laba pemegang saham ASII.

Dari analisis di atas, pembaca dapat menarik kesimpulan bahwa sejatinya bisnis mobil ASII berdampak besar terhadap laba pemegang saham, walau mungkin tidak sebesar yang banyak orang bayangkan. Estimasi kami, kontribusi dari bisnis kendaraan roda 4 mungkin sekitar 15% laba pemegang saham ASII.

Perbedaan mobil ICE dengan EV

Selanjutnya saya akan menjelaskan perbedaan mobil ICE dan mobil EV terlebih dahulu.

Sederhananya mobil dibagi menjadi 2 berdasarkan sumber energi yang digunakan. Mobil Internal Combustion Engine (ICE) yang hanya menggunakan mesin pembakaran internal seperti mesin bensin dan diesel dan ada mobil listrik atau kita kenal dengan nama Electric Vehicle (EV) yang sudah menggunakan baterai sebagai sumber energi utama / pendukung.

Mobil EV sendiri terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

1) Hybrid EV (HEV) merupakan mobil hybrid yang masih menggunakan pembakaran internal dengan baterai yang tidak dapat diisi ulang menggunakan colokan listrik

2) Plug-In Hybrid EV (PHEV) merupakan mobil hybrid yang masih menggunakan pembakaran internal dengan baterai yang dapat diisi ulang menggunakan colokan listrik

3) Battery EV (BEV) adalah mobil listrik yang hanya menggunakan baterai sebagai sumber energi utama.

Mungkin sebagian pembaca mulai bertanya, mengapa mobil listrik akan berdampak buruk bagi Astra? Bukankah Astra adalah produsen mobil Toyota dan Daihatsu yang dapat memanfaatkan tren ini? 

Sebetulnya ASII sudah mulai menjual mobil hybrid seperti Yaris Cross hybrid, Innova hybrid, Corolla hybrid, Camry hybrid, hingga Alphard hybrid. Namun, sayangnya mereka belum memiliki produk BEV untuk pasar massal.

Sementara itu, pesaing baru dengan merek BYD dan Wuling, misalnya, sudah masuk ke pasar Indonesia dan menjual BEV.

Pembaca yang mungkin sudah mengikuti Astra akan merasa kecewa. Pertanyaan mengapa Toyota tidak membuat BEV untuk bersaing dengan BYD dan Wuling mungkin terlintas dipikiran. Jangan-jangan akan menjadi seperti Kodak, produsen kamera film yang akhirnya kalah saing dengan dengan kamera digital Fujifilm karena tidak mau berinovasi.

Tapi kita harus ingat, saat ini BEV di Indonesia baru mencapai 1,7% dari total pasar kendaraan roda empat. Hal ini mengindikasikan BEV di Indonesia belum bisa diadopsi secara massal.

Tantangan BEV di Indonesia

Menurut kami, alasan BEV belum dapat diterima massal karena masih terdapat beberapa kendala. Untuk menyelesaikan kendala tersebut, maka produsen mobil BEV harus melakukan beberapa hal yang di antaranya:

1. meningkatkan kapasitas baterai sekitar 35%
2. menemukan cara untuk charge baterai mobil sampai 80% dalam waktu 5 menit
3. memasang harga mobil BEV harus masuk rentang Rp300-400 juta
4. menggunakan baterai dengan usia pakai sekitar 10 tahun (sebenarnya membutuhkan biaya besar ketika usang).

Pertama, dalam meningkatkan kapasitas baterai, maka harus lebih padat energi agar jarak tempuh dapat bertambah 35% dengan berat baterai yang sama. Mari kita gunakan contoh BYD Atto 3 Advance (harga OTR: Rp465 juta) untuk dibandingkan dengan mobil sekelasnya seperti Honda HRV SE CVT (harga OTR: Rp416 juta), Toyota Yaris Cross HEV (harga OTR: Rp440 juta), dan Hyundai Creta Prime (harga OTR: Rp408 juta).

Umumnya mobil ICE, seperti Honda HRV dan Hyundai Creta memiliki jarak tempuh 500-550 kilometer sekali isi full tank. Mobil Yaris Cross HEV memiliki jarak tempuh lebih fantastis hingga 900 kilometer. Sedangkan BYD Atto 3 dengan model standar baru bisa menempuh jarak 410 kilometer, setara 18-25% di bawah jarak tempuh mobil bensin, dan bahkan terendah di kelas harganya.

Mungkin pembaca akan merasa jarak tempuh yang selisih sedikit tidak menjadi masalah. Memang, untuk penggunaan dalam kota tentu tidak menjadi masalah. Namun begitu, bagaimana bagi orang yang ingin berpergian jauh? Misalnya pulang pergi dari Jakarta ke Bandung dengan total jarak tempuh 300+ kilometer.

Mobil BEV Atto 3 akan hampir kehabisan listrik mengingat kapasitasnya hanya 410 km dibandingkan mobil ICE yang memiliki kapasitas 500-550 kilometer. Ingat 300 kilometer baru jarak perjalanan Jakarta ke Bandung saja, belum termasuk perjalanan di dalam kota Bandung sendiri.

Tentu pembaca dapat berkata kalau baterainya habis tinggal di-charge saja. Di sinilah masuk permasalahan nomor 2, yaitu kecepatan charge baterai mobil listrik yang masih lambat jika dibandingkan dengan isi bensin mobil ICE.

Umumnya dibutuhkan hanya 5 menit untuk mengisi bensin mobil ICE. Sedangkan untuk mengisi baterai BYD Atto 3 dari 30% ke 80% membutuhkan 30 menit, itu pun sudah dengan DC fast charger! (6x lipat lebih lama dibandingkan isi bensin). Belum kalau charge di rumah, bisa makan waktu lebih dari 8 jam.

Artinya lahan yang dibutuhkan untuk pengisian mobil listrik setidaknya 6x lipat lebih besar dibanding SPBU. Ditambah dengan biaya instalasi peralatan yang mahal dan populasi BEV yang masih sedikit, maka investasi di tempat charge mobil belum tentu ekonomis.

Tidak heran jika stasiun pengisian mobil listrik masih sulit ditemukan.

Selanjutnya dari sisi harga mobil. Daya beli masyarakat Indonesia saat ini umumnya mampu membeli mobil di rentang harga Rp300-400 juta. Agar dapat diadopsi secara massal, mobil BEV harus bisa masuk ke rentang harga ini dengan catatan lagi, memiliki kapasitas jarak tempuh sekitar 500-550 kilometer sekali charge.

Satu hal lagi yang perlu diingat; baterai mobil EV umumnya memiliki umur pakai 10 tahun. Bila tidak diganti, maka kapasitas baterai akan berkurang dan nilai jual kendaraan bekas akan turun drastis. Tetapi ketika pengguna mobil BEV ingin mengganti baterai, maka mereka harus mengeluarkan biaya tambahan sekitar 30-40% harga mobil. 

Hal terakhir yang tidak bisa dilupakan adalah sumber energi listrik di Indonesia harus dikonversi dari mayoritas batubara menjadi renewable. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka sejatinya penggunaan mobil listrik hanya menggeser polusi dari pengguna mobil ke pembangkit listrik. Dengan kata lain tidak betul-betul menyelesaikan masalah.

Mobil hybrid jadi solusi

Untuk itu, Toyota menawarkan mobil hybrid yang dapat menjadi solusi untuk masalah polusi karena:

1) mobil HEV lebih efisien dalam mengurangi emisi. Mineral langka seperti lithium, kobalt, grafit, nikel yang dibutuhkan secara agregat untuk membuat 90 mobil HEV setara dengan 1 mobil BEV. Di sisi lain, 90 mobil HEV dapat menurunkan jumlah emisi karbon setara dengan 37 mobil BEV

2) secara biaya, mobil HEV lebih murah dibandingkan mobil BEV yang sekelasnya; bahkan di saat mobil BEV sudah mendapatkan banyak sekali insentif.

Kita ambil perbandingan antara mobil Toyota Yaris Cross HEV dengan BYD Atto 3 sebagai contoh.

Gambar 1: Perbandingan Yarris Cross Hybrid dengan Atto 3 Advance

Dengan penjelasan sebelumnya, tidak heran bila Toyota masih fokus menggarap HEV ketimbang BEV. Saya rasa trend selama beberapa tahun ke depan pun masih tetap HEV-lah yang bisa mendominasi pasar.

Bahkan di 2023 sendiri, Toyota Group menguasai lebih dari 60% pasar HEV di Indonesia (pasar HEV sebesar 5% penjualan mobil di Indonesia).

Gambar 2: Volume penjualan mobil listrik tahun 2023

 

Jadi menurut saya, rasa fear di pasar kalau Astra akan kehilangan pangsa pasar sebetulnya sangat berlebihan.

 

*Tulisan dalam artikel ini disajikan hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan kesimpulan atau rekomendasi saran investasi apa pun*

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read