Insights & Articles

When You Hear EBITDA, It May Contain Full of Bullsh*t

id Accounting September 26, 2024
At a Glance

The Cable Cowboy and awal dari lahirnya EBITDA.

In the absence of profit, especially for money-losing companies, EBITDA often serves as the alternative measure of profitability. However, EBITDA does not equal profit.

EBITDA can be indeed a useful metric, although very rarely, for certain parties and companies. However, it will become the most dangerous when it is used as a single basis to judge performance and compensation plans. The stupidity and risk rise when you apply it as a valuation tool.

Where it was used to: John Malone, akuisisi masif dan lahirnya EBITDA

Dalam bukunya The Outsider CEOs, William Thorndike menceritakan salah satu CEO legendaris yang pada masanya mampu memberikan keuntungan per tahun lebih tinggi dibandingkan dengan Warren Buffett. Dia adalah John Malone dan para investor menjulukinya sebagai The Cable Cowboy.

John Malone adalah CEO Tele-Communication (TCI), salah satu perusahaan media dan cable TV pada masanya (tahun 1973-1990). Pada periode kepemimpinannya, John Malone berhasil memberikan return kepada para pemegang sahamnya dengan CAGR sebesar 30,3% selama 26 tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan S&P 500 dan para kompetitornya.

Ada baiknya apabila kita mengetahui terlebih dahulu model bisnis dari cable company. Secara sederhana, bisnis media kabel layaknya sebuah jalan tol yang menghubungkan antara penonton dengan channel televisi milik para perusahaan media. 

Pada saat itu, cable television menjadi alternatif baru dalam menonton televisi apabila dibandingkan dengan sistem broadcast melalui sinyal radio. Selain karakter sinyal broadcast yang tidak stabil dan tidak mampu menjangkau seluruh masyarakat Amerika Serikat (disebabkan lanskap geografi dan keekonomisan), alasan lain cable menjadi primadona baru adalah hadirnya beberapa channel televisi seperti HBO yang tidak menghadirkan iklan sama sekali. Hal itu membuat pengalaman menonton televisi semakin menyenangkan sehingga pengguna cable TV ini pun jadi semakin meningkat.


Return TCI
Gambar 1: Grafik
return TCI dibandingkan dengan peers & S&P500/Sumber: Buku ‘The Outsider’s CEO’.

TCI sebagai perusahaan cable mendapatkan revenue terutama dari fee para produsen konten karena telah menggunakan jasa cable TCI. Selain itu pendapatan TCI juga berasal dari penyewaan set top box (STB), bundle paket program channel, dan tentunya iklan pop-up pada program-program basic.

Anda mungkin bisa menyamakan TCI layaknya Indovision, First Media, dan Indihome sebagai perusahaan cable TV yang terkenal pada masanya.

Kembali kepada cerita TCI, John Malone menyadari bahwa kekuatan dalam industri cable TV adalah economies of scale. Semakin besar kemampuannya mengontrol jaringan “jalan tol”, baik secara regional maupun nasional, maka TCI memiliki keleluasaan lebih luas dalam menentukan harga. 

Hal ini dapat terjadi karena kompetitor yang ingin masuk ke suatu wilayah yang sudah ada pemain utama (sebagai penguasa jaringan kabel) akan mengalami kesulitan dalam menjual produknya tanpa harus “meminta izin” kepada pemain utama tersebut. 

Bayangkan mayoritas masyarakat di suatu kota yang sudah memasang STB milik IndiHome, tentunya akan sulit bagi Indovision maupun First Media untuk meyakinkan konsumen berpindah ke produk mereka.

John Malone
Gambar 2: John Malone/Sumber: Mark Peterson dari Forbes.

Dengan recurring FCF yang predictable dan ditambah dengan pricing power yang dimiliki TCI, John Malone berencana menggunakan cash flow tersebut untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan cable yang kecil - namun telah “menguasai” wilayah tertentu secara agresif. 

John Malone menggunakan utang yang sangat masif untuk membiayai rangkaian akuisisi itu. Seberapa agresif akuisisi yang dilakukannya? Dikatakan bahwa setidaknya satu akuisisi per dua minggu, hingga menghasilkan total 482 perusahaan selama 16 tahun dirinya menjabat sebagai CEO TCI.

Tentunya konsekuensi dari strategi tersebut adalah meningkatnya biaya bunga TCI yang mengakibatkan penurunan owner’s earnings. Terlebih lagi, mengingat seberapa cepat TCI mengakuisisi banyak perusahaan, tentu membuat tingkat kenaikan depreciation & amortization (D&A) expense lebih tinggi dibandingkan dengan operating profit. Hal itu bahkan mengurangi laba perusahaan lebih jauh.

Analis Wall Street pada saat itu sangatlah berfokus pada EPS sehingga tidak dapat memahami strategi John Malone. Hal ini membuat rating TCI negatif karena earnings quality yang buruk. Pada titik inilah istilah EBITDA mulai hadir.

Mengutip dari buku The Outsider CEOs:

“In lieu of EPS, Malone emphasized cash flow to lenders and investors, and in the process invented a new vocabulary, one that today’s managers and investors take for granted. Terms and concepts such as EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) were first introduced into the business lexicon by Malone.

EBITDA in particular was a radically new concept, going further up the income statement than anyone had gone before to arrive at a pure definition of the cash-generating ability of a business before interest payments, taxes, and depreciation or amortization charges.”


Dalam argumennya, untuk menentukan
proxy laba perusahaan pada kondisi normal (steady-state) tanpa ada pengaruh akuisisi, caranya adalah dengan memasukkan kembali interest & tax pada net profit sehingga menghasilkan Earnings Before Interest & Tax (EBIT). 

Selain itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya; tingkat kenaikan D&A akan lebih tinggi dibandingkan dengan laba operasinya. Itulah mengapa D&A ditambahkan sehingga menghasilkan Earnings Before Interest, Tax, Depreciation & Amortization (EBITDA) sebagai metrik yang lebih baik dalam mengukur profitabilitas perusahaan.

Ketika periode akuisisi agresif sudah selesai, tentunya peningkatan operating profit akan menyusul beban depresiasi dan amortisasi. Hal tersebut membuat laba meningkat sehingga dapat digunakan untuk membayar utang dan bunga masif TCI.

How it is now: Overuse & Distracting

Sejak diperkenalkan oleh John Malone, banyak perusahaan mengadopsi metrik tersebut. Namun berbeda dengan John Malone, perusahaan-perusahaan ini menganggap bahwa depresiasi, amortisasi, interest dan tax sama sekali tidak relevan dalam menilai profitabilitas perusahaan. 

Bila kita mengingat lagi, alasan John Malone menggunakan EBITDA adalah karena beliau menganggap laba bersih pada laporan keuangan tidak mencerminkan kinerja perusahaan seutuhnya. Hal itu disebabkan oleh gencarnya akuisisi perusahaan-perusahaan undervalue di industri cable yang mengakibatkan true earning quality perusahaan yang recurring tertutupi oleh tingginya biaya depresiasi dan bunga. 

Ketika John Malone sudah tidak melihat lagi potensi akuisisi yang menguntungkan, tentunya laba sesungguhnya TCI mulai terlihat.

Pertanyaannya adalah, apakah perusahaan lain memiliki karakteristik dan true earning yang sama dengan TCI?

Warren Buffett dalam suratnya menyatakan bahwa hanya sedikit sekali perusahaan yang memang bisa menggunakan EBITDA sebagai metrik profitabilitas. Buffett merasa bahwa selama hidupnya menganalisis ribuan perusahaan, beliau hanya menemukan segelintir bisnis yang perlu mengeluarkan belanja modal (capital expenditures) di bawah nilai depresiasinya.

Pada masa ini, banyak perusahaan terutama startup yang justru menambah kata “adjusted” dalam EBITDA-nya. Makna dari adjusted EBITDA sangat bervariasi - sesuai dengan kemauan manajemen, sehingga mengakibatkan investor tidak dapat membandingkannya dengan perusahaan lain karena tidak apple-to-apple.

EBITDA BUKA

Gambar 3: EBITDA yang disesuaikan/Sumber: Public Expose 2024 BUKA.



EBITDA GOTO yang disesuaikan

Gambar 4: EBITDA yang disesuaikan/Sumber: Public Expose FY2023 GOTO.

Apabila melihat dari bagaimana kedua startup di atas menghitung EBITDA, Anda akan menyadari bahwa banyak sekali akun yang tidak dapat ditelusuri asalnya. Misalnya pada laba atau rugi investasi, kedua perusahaan di atas tidak merinci lebih lanjut tentang dari mana asal keuntungan maupun kerugian investasi tersebut.

EBITDA telah berubah dari yang sebelumnya hanyalah adjustment untuk model bisnis unik seperti TCI, menjadi sebuah metrik overused dan tidak berdasar. Sebuah distraksi juga bagi investor dalam menentukan nilai intrinsik perusahaan.

EBITDA is EBITDA. It is not FCF, nor earnings

“I think that every time you see the word EBITDA, you should substitute the words bullsh*t earnings.”

Charlie Munger –

 

“This is nonsense. It couldn’t be worse. But a whole generation of investors have been taught this. It’s not a non-cash expense — it’s a cash expense but you spend it first. It’s a delayed recording of a cash expense.”

– Warren Buffett –

 

“Those who used EBITDA as a cash-flow proxy, for example. Either ignored capital expenditures or assumed that businesses would not make any, perhaps believing that plant and equipment do not wear out.”

– Seth Klarman

Quote ketiga investor legenda di atas tentunya cukup menggambarkan betapa useless penggunaan EBITDA. EBITDA sebenarnya menafikan hal-hal krusial mengenai performa keuangan perusahaan. 

Depresiasi dan amortisasi menjadi salah satu isu utama. Pendukung EBITDA berpendapat bahwa D&A adalah biaya yang terdapat pada laporan keuangan, namun perusahaan sebenarnya sama sekali tidak mengeluarkan cash sepeser pun. 

Ketika perusahaan mendepresiasi mesin miliknya, sebenarnya itu cash outflow dari perusahaan. Cash tersebut telah dikeluarkan pada awal periode ketika perusahaan membeli mesin. Depresiasi pada dasarnya adalah sebuah alokasi atas aset-aset tetap perusahaan dan disebar ke beberapa tahun ke depan.

Meskipun terlihat intuitif, namun EBITDA melupakan hal krusial mengenai belanja modal (capital expenditure). Ketika harus melakukan replacement untuk mesin karena usang atau untuk keperluan upgrade, perusahaan harus mengeluarkan cash yang cukup besar. Jenis capital expenditure ini dapat diklasifikasikan sebagai maintenance capex, sesuai dengan tujuannya untuk maintaining earning power perusahaan. 

Bayangkan perusahaan restoran dengan kursi, meja ataupun layout restoran yang kurang menarik. Untuk menggaet konsumen tentunya owner restoran harus mengganti perabotan restoran agar terlihat lebih bagus. Capex ini dikategorikan sebagai maintenance capex karena digunakan demi menjaga keinginan pelanggan untuk datang ke restoran tersebut. Thus maintaining restaurant’s earning power.

Menurut kami, EBITDA should still be considered EBITDA. It should not be considered either cash flow or earnings

Untuk menilai owner’s earnings perusahaan, investor perlu mengetahui keseluruhan karakteristik perusahaan untuk memberikan estimasi reasonable laba perusahaan. 

Menurut Buffett, nilai intrinsik suatu saham adalah potensi cash flow yang akan didapatkan oleh investor selama menjadi pemilik perusahaan tersebut. 

Sehingga one million dollar question-nya adalah "Apakah EBITDA sama dengan cash flow?"

Lalu apa bedanya dengan true earnings?

Comments (1)
View All
September 30, 2024
MADE

EBITDA dalam keputusan pemberian kredit bank belum tergantikan (walau misleading)..untungnya masih ada collateral dan covenant yang melindungi :)

Reply

Recommended

Read