Insights & Articles

Wake Up Call untuk Budak Korporat

id Wisdom August 20, 2024
At a Glance

Sebelum gold standard dihentikan tahun 1971, masyarakat kelas sosial atas, menengah, dan bawah semuanya bergerak maju secara bersamaan. Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang AS - Vietnam menjadi cikal bakal kesenjangan kelas terjadi.

Semua uang baru yang dicetak tanpa perlu terikat emas, mendorong naik harga aset seperti real estate dan saham. Orang kaya yang sudah memiliki aset ini, menikmati kenaikan harga asetnya, sedangkan orang miskin tidak.

Masyarakat kelas sosial menengah dan ke bawah yang hanya bekerja menukarkan waktu dengan uang 1 banding 1, terjebak lingkaran setan dan semakin sulit untuk menjadi kaya.

99% orang tidak paham apa itu uang. Seumur hidup mereka hanya mengumpulkan representative money yang nilainya bahkan terus menurun.

Meski demikian, jika nilai uang turun terus, mengapa bisa ada orang kaya di dunia? Apa yang mereka lakukan sehingga menjadi berbeda dibandingkan 99% orang pada umumnya?

Jika Anda lihat 10 orang terkaya (versi Forbes) di dunia saat ini: Elon Musk, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, Bernard Arnault, Larry Ellison, Warren Buffett, Larry Page, Bill Gates, Sergey Brin, dan Steve Ballmer. Mereka semua adalah pemilik bisnis.

Warren Buffett juga termasuk di dalamnnya, meskipun dia tidak membangun bisnisnya sendiri, melainkan langsung membeli bisnis yang sudah berjalan. Begitu juga dengan Steve Ballmer, yang memulai karirnya dari menjadi seorang karyawan.

Jika digabungkan, kekayaan 10 orang terkaya di atas bertotal $1,64 triliun, atau setara sekitar Rp25.760 triliun! Sementara itu 99% orang di dunia yang sudah bekerja setiap hari dari pagi sampai malam, bahkan menukarkan waktu untuk uang, ternyata semua hanya numpang lewat saja di rekening.

Uang itu habis untuk bayar cicilan rumah, mobil, dan kebutuhan hidup yang semakin lama memang pasti semakin mahal. Menjadi kaya pun seolah-olah hanya mimpi yang dirasa tidak akan terjadi bagi 99% orang ini.

Apa yang menyebabkan kesenjangan ini?

Kondisi ini tentu menimbulkan kebingungan. Apakah kesenjangan ini memang adalah permainan yang sudah curang dari awalnya?

Untuk memahaminya, semua harus ditarik jauh ke dekade 1960-an. Ketika itu, Amerika Serikat mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat besar. Para pekerja pun mengalami peningkatan pendapatan signifikan.

Pendapatan mereka bertambah dari $675 per tahun (atau bila di-adjust dengan inflasi dalam mata uang saat ini menjadi sekitar $19.000) atau setara Rp300 juta, menjadi lebih dari $56.000 atau Rp900 juta hanya dalam 10 tahun.

Orang-orang itu mulai membeli rumah dan mobil, serta menikmati kehidupan finansial yang stabil. Gaji pekerja terhitung meningkat setidaknya 32% pada tahun ini. Serat optik, LED, satelit cuaca, alat pacu jantung, internet, chip komputer DRAM, dan laser semuanya ditemukan di satu dekade tersebut. Kelas atas, menengah, dan bawah semuanya jadi bergerak maju secara bersamaan.

Sampai pada tahun 1971, hal ini harus berakhir. Ekonomi terus tumbuh, tetapi tidak lagi semua orang menjadi lebih kaya bersama-sama. Sekarang, hanya orang yang mengerti apa itu uang yang bisa menjadi lebih kaya. Sementara yang tidak mengerti, tetap miskin sampai hari ini.

Tingkat inflasi melonjak dari sekitar 4% pada awal 1971, menjadi lebih dari dua kali lipat di angka 8,8% pada tahun 1973. Hingga pada akhir dekade 1970-an, inflasi malah mencapai 12%.

Utang rumah tangga meningkat sangat drastis. Biaya hidup meningkat dan biaya pendidikan meningkat, itu menyebabkan banyak dari masyarakat terlilit utang.

 

Gambar 1: Peningkatan income di awal setelah dekade perang.

Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini?

Sekarang saya tarik mundur lebih jauh sampai ke era sebelum Perang Dunia I. Saat itu perdagangan di seluruh dunia dilakukan dengan standar emas yang sangat sederhana. Artinya apa pun barang yang diinginkan dari negara lain, dibeli melalui pertukaran dengan berat emas tertentu.

Ini berarti negara-negara yang memiliki banyak barang untuk diekspor akan punya lebih banyak emas dibandingkan negara-negara yang tidak.

Sebelum Perang Dunia I, sistem ini bekerja dengan baik. Pemerintah di seluruh dunia cukup akur, sehingga membuat perdagangan dengan emas menjadi sederhana dan mudah.

Tetapi kemudian, Perang Dunia I datang dan mengacaukan seluruh sistem. Perang membawa banyak konflik dan menimbulkan ketidaksepakatan antarnegara-negara yang dulu bekerja sama.

Negara-negara yang kuat harus berutang banyak demi membeli senjata dan peralatan untuk bertarung satu sama lain. Cadangan emas pun jadi semakin tipis di seluruh dunia. Jadilah pada akhir Perang Dunia I, Amerika Serikat mengalami kekurangan emas yang serius.

Saat "The Great Depression" terjadi, situasi ini semakin memburuk. Pada tahun 1930, pemerintah memaksa masyarakat Amerika untuk menukar semua emas yang mereka miliki dengan dolar. Pemerintah menaikkan harga emas dari $20 per ons menjadi $35, berharap ini akan mengurangi minat orang Amerika untuk membeli emas di masa depan.

Hal ini juga berarti bahwa banyak negara asing tiba-tiba tertarik untuk menukar emas mereka dengan dolar karena mereka akan mendapatkan lebih banyak uang sebagai gantinya. Hampir setiap negara yang memiliki sumber emas, menukarnya dengan dolar Amerika Serikat.

Kemudian Perang Dunia ke-2 terjadi. Amerika Serikat harus menggunakan kembali cadangan emasnya. Ternyata situasi ini pun lebih buruk dibandingkan sebelumnya. Di sinilah sistem Bretton Woods kemudian diciptakan.

Di Bretton Woods–New Hampshire, delegasi dari 44 negara sekutu dan asosiasi berkumpul mengadakan konferensi moneter dan keuangan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka diundang oleh Presiden Roosevelt ke pertemuan keuangan dunia besar pertama sejak konferensi London tahun 1933. Di sana, mereka mencoba menemukan standar keuangan baru yang mungkin tidak menyebabkan kebangkrutan global.

Gold standard?

Amerika Serikat sudah memiliki lebih dari 75% emas dunia. Dolar saat itu menjadi salah satu dari sedikit mata uang yang masih terhubung dengan standar emas. Kondisi tersebut membuat negara-negara setuju untuk menilai mata uang nasional mereka terhadap nilai dolar dalam emas. Ini adalah versi tidak langsung dari standar emas yang menempatkan nilai dolar pada $35 per ons emas.

Semua negara lain di dunia akan menyesuaikan nilai mata uang mereka sesuai dengan itu. Untuk sementara waktu, sistem ini berhasil. Amerika Serikat mengumpulkan emas baru dari negara-negara yang ingin menukar emas dengan dolar, dan sistem Bretton Woods menjadi cara baru untuk memiliki mata uang yang stabil setelah perang yang kacau.

Akhirnya pada tahun 1955, Amerika Serikat berperang dengan Vietnam dan tiba-tiba membutuhkan lebih banyak uang. Perang Vietnam berlangsung selama 20 tahun dan memakan biaya $168 miliar (atau bila di-adjust dengan inflasi dalam mata uang saat ini, sekitar $1 triliun), setara dengan Rp15.700 triliun.

Untuk mendanai perang ini, pemerintah harus mencetak uang besar-besaran dan menaikkan harga emas menjadi $45 per ons. Ini menyebabkan banyak negara sadar bahwa Amerika Serikat mencetak uang melebihi emas yang ada di belakangnya. Akhirnya, beberapa negara besar seperti Inggris dan Perancis ingin mendapatkan emasnya kembali.

Tahun 1971 saat masa pemerintahan Presiden Nixon, Beliau tidak ingin hal itu terjadi terus-menerus. Nixon pun akhirnya mengumumkan bahwa untuk sementara waktu, tidak ada dolar yang bisa ditukarkan dengan emas demi kebaikan Amerika Serikat.

Pernyataan ini menjadi momen paling bersejarah di perekonomian dunia. Gold standard dihapuskan dan untuk pertama kalinya uang tidak terikat lagi pada apa pun. Secara langsung nilai dolar turun setidaknya 50 persen akibat penghapusan itu.

Semua uang baru yang dicetak tanpa terikat apa pun itu, mendorong naiknya harga aset seperti real estate dan saham. Semua yang hanya bisa dimiliki orang kaya, tetapi tidak orang miskin.

Kesenjangan pun semakin terjadi. Daya beli turun sangat signifikan. Jika Anda bisa membeli rumah dengan tiga tahun gaji pada tahun 1950, maka mulai tahun 1971 sampai sekarang, hal itu sangat sulit terjadi.

Pada masa itu, Amerika Serikat juga membuat Mortgage Loan (Kredit Kepemilikan Rumah) yang jangka waktunya 30 tahun. Kebijakan ini dibuat agar masyarakat umum tetap bisa membeli rumah, meskipun harus dicicil 30 tahun.

Tetapi, semakin lama cicilannya, justru semakin banyak pula bunga pinjaman yang harus dibayar. Kondisi ini hanya membuat bank semakin kaya. Bagai menjadi sebuah lingkaran setan, orang kelas menengah dan ke bawah yang hanya bekerja menukarkan waktu dengan uang satu banding satu, semakin sulit untuk menjadi kaya.

Setelah mengetahui ini semua, apa yang akan Anda lakukan?

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read