Dengan dimulainya layanan bisnis-ke-konsumen (Business to Consumer/B2C) secara resmi di Indonesia, Starlink (divisi Perusahaan AS SpaceX) kini dapat menawarkan produknya kepada pelanggan ritel. Ini menimbulkan kepanikan pasar saham yang sangat masif terhadap perusahaan di sektor telekomunikasi, terutama PT. Telkom Indonesia (TLKM) yang sempat menyentuh titik terendahnya di kisaran Rp2.700 per lembar.
Lantas, apakah keberadaan Starlink di masa mendatang akan menyebabkan gangguan di sektor telekomunikasi?
Mari kita bahas.
Gambar 1: Orbit satelit bumi.
Starlink menggunakan satelit LEO (Low Earth Orbit) yang beroperasi lebih dekat ke Bumi (sekitar 200-2.000 km di atas permukaan). Dengan posisi ini, Starlink dapat menyediakan koneksi internet dengan kecepatan 20-250 Mbps, lebih tinggi dibandingkan internet satelit tradisional.
Satelit LEO memiliki latensi yang lebih rendah karena jaraknya yang dekat dengan bumi. Meski begitu, dibutuhkan banyak satelit untuk menyediakan cakupan yang stabil.
Pengguna Starlink memerlukan terminal khusus yang berkomunikasi dengan satelit melalui antena canggih yang bisa melacak satelit meskipun bergerak cepat. Terminal ini dilengkapi dengan router Wi-Fi yang bisa digunakan untuk beberapa perangkat, baik di dalam rumah maupun di luar ruangan.
Gambar 2: Tarif internet Starlink.
Gambar 3: Tarif internet XL (EXCL) & Indihome (TLKM).
Perbandingan Starlink dengan fixed broadband
Meskipun menawarkan kecepatan internet yang lebih tinggi, Starlink masih memiliki keterbatasan dibandingkan dengan fixed broadband yang menggunakan fibre optic. Biaya langganan Starlink jauh lebih mahal, dengan harga sekitar Rp750 ribu per bulan, sedangkan layanan fixed broadband di Indonesia umumnya hanya sekitar Rp200-250 ribu. Selain itu, peralatan Starlink yang berharga Rp7,8 juta tidak dapat dijual kembali jika layanan dihentikan.
Dari segi teknologi, fixed broadband yang menggunakan fibre optic tetap unggul dalam hal latensi, keandalan, dan biaya. Karena data pada fixed broadband bergerak melalui serat optik dengan kecepatan cahaya, latensinya lebih rendah dibandingkan sinyal satelit. Sementara itu, satelit LEO membutuhkan pandangan yang jelas ke langit, yang menyebabkan potensi gangguan jika digunakan di area perkotaan yang padat.
Gambar 4: Daerah yang sudah terjangkau BTS TLKM.
Walaupun Starlink kurang ideal untuk daerah perkotaan, teknologi ini sangat bermanfaat di wilayah terpencil yang sering disebut 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Sebab, kondisi pemasangan serat optik tentu lebih tidak efisien secara biaya di daerah tersebut.
Starlink dapat menjadi solusi untuk menghubungkan daerah yang sulit dijangkau oleh internet tradisional. Teknologinya sekaligus membantu perusahaan telekomunikasi mengoptimalkan pengeluaran dengan menghindari investasi besar di wilayah dengan target pasar yang lebih kecil.
Saat ini, Starlink belum menyediakan layanan langsung ke ponsel. Namun rencananya akan hadir pada semester kedua tahun 2024. Meski demikian, mengingat keterbatasan teknologi saat ini, apakah benar Starlink akan mendisrupsi sektor telekomunikasi Indonesia dan merugikan para pemain seperti TLKM?
Jangan-jangan malah dapat menjadi alternatif untuk membantu menghubungkan lebih banyak orang di seluruh dunia, terutama di daerah 3T yang sulit untuk dijangkau dengan fixed broadband?
Mari kita bahas di part 2 ?
*Tulisan dalam artikel ini disajikan hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan kesimpulan atau rekomendasi saran investasi apa pun*
Muhamad Yusup
industri kapal sekarang sudah pada pindah satelite provider dari AT&T, telsat dll ke starlink emg niche market mereka incer