Tahun 2024, IHSG mengalami penurunan 2,65%. Kinerja IHSG pada tahun 2024 ini lebih karena ditopang oleh saham-saham tertentu saja. Apabila di-zoom in lebih dalam, indeks LQ45 mengalami penurunan 14,8%, sebuah penurunan yang jauh lebih besar dari IHSG secara keseluruhan.
Saham-saham besar dari berbagai industri yang berbeda mengalami penurunan harga yang cukup besar. Sebagai investor, penurunan saham-saham besar ini bisa saja menjadi peluang investasi yang menarik.
BBRI (Bank Rakyat Indonesia) dan BMRI (Bank Mandiri) adalah salah dua dari saham-saham besar yang harganya turun cukup banyak tahun 2024 lalu. Sekarang, keduanya sedang ditawarkan dengan P/E sekitar 10 dan PBV sekitar 2. Apa saja yang investor perlu ketahui sebelum membeli saham tersebut? Dengan P/E dan PBV yang mirip-mirip, mana yang lebih menarik?
Artikel ini adalah part 1 dari BBRI vs BMRI. Di artikel selanjutnya, kami akan membahas BMRI.
Tanpa berlama-lama lagi, mari kita bahas BBRI!
BBRI: NPL masih tinggi, LAR sudah turun
Tahun 2024 adalah tahun yang cukup menantang bagi perekonomian, khususnya mereka yang berada di segmen mikro dan menengah. Sebagai bank yang fokus di segmen tersebut, BRI (Bank Rakyat Indonesia) turut merasakan dampaknya.
Selama beberapa periode terakhir, NPL (Non-Performing Loan atau kredit yang sedang bermasalah) segmen mikro mengalami kenaikan. NPL segmen mikro telah mencapai 9,9% pada 9M24, naik dari hanya 4,5% pada 2021.
Grafik di bawah menunjukkan tren NPL BBRI. Di tengah krisis ekonomi akibat COVID-19, NPL BBRI naik dari 8,6% menjadi 10,6%. Sejak saat itu, NPL BBRI relatif turun mencapai 9,3% pada September 2024.

Sekilas, data tersebut seakan menunjukkan bahwa kualitas kredit BBRI hari ini tidak jauh berbeda dengan tahun 2020. Apabila kita pelajari lebih lanjut, ternyata meski NPL BBRI hari ini masih sangat tinggi, kualitas asetnya sebenarnya sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Kok bisa?

Grafik 2: NPL dan LAR BBRI/Sumber: BBRI Q3 2024 Financial Update Presentation.
Tahun 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengizinkan kredit-kredit yang direstrukturisasi untuk dihitung dalam kategori “Lancar”. Akibat dari kebijakan ini, Loan at Risk (LAR) meningkat signifikan dari 9,8% menjadi 28,3%.
Pada industri perbankan, LAR adalah gabungan dari NPL kolektibilitas 2 - 5 dan kredit yang direstrukturisasi. Dalam mengevaluasi kualitas kredit sebuah bank, LAR merupakan data yang sangat penting.
Meski berada dalam kategori lancar, kredit yang direstrukturisasi sebenarnya tidak bisa dikatakan benar-benar lancar karena debitur yang benar-benar lancar tidak akan direstrukturisasi. Oleh karena itu, THINK melihat semua kredit yang direstrukturisasi sebagai kredit yang sedang bermasalah atau NPL.
Adapun pada artikel ini, kami tetap membahas LAR untuk menjelaskan breakdown bagian kredit restrukturisasi serta untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai kualitas kredit BBRI.
Sejak 2020, outstanding kredit yang direstrukturisasi terus berkurang. LAR BBRI pun berhasil membaik dari 28,3% pada 2020 menjadi 11,7% pada September 2024. Data ini merupakan data yang diberikan manajemen. Namun ingat, saat menganalisis perusahaan keuangan, sebaiknya jangan langsung menelan mentah-mentah data yang diberikan karena rawan dipoles.

Credit cost
Bagi investor yang mengikuti BBRI belakangan ini, kata “impairment” sudah tidak lagi asing. Di luar sana, banyak narasi bahwa kredit BBRI bermasalah dan harus mengalami impairment.

Akibat pandemi COVID-19, impairment BBRI meningkat cukup signifikan pada tahun 2020, namun baru memuncak tahun 2021 di Rp35,7 triliun. Bersama dengan bank-bank lain, impairment BBRI bisa turun pada tahun 2022 dan 2023 sehingga menyebabkan laba bersihnya melonjak.
9M 2024, impairment kredit BBRI mencapai Rp30,5 triliun, meningkat 48% YoY dari tahun sebelumnya. Apabila tren kenaikan ini terus berlanjut, impairment BBRI sedang on-track untuk mencapai all-time high, melebihi level pada tahun 2021.

Sekarang, BBRI mencatat CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) sekitar Rp3 - 4 triliun per bulan (sekitar Rp9 - 12 triliun per kuartal). Beban CKPN sebesar ini sekitar 23% dari net revenues bank. Apabila kita tarik panjang, beban CKPN pada level ini cenderung tinggi.

Sebelum tahun 2024, CKPN BBRI belum sebesar sekarang. Dahulu, BBRI mencatatkan CKPN sekitar Rp6 - 8 triliun per kuartal. Hal ini berbeda dengan BMRI yang beban CKPN-nya justru turun.
Meski beban CKPN BBRI naik, mereka memiliki sebuah kelebihan: NIM (Net Interest Margin) yang tinggi. NIM yang tinggi ini dapat mengompensasi kredit yang lebih berisiko dan beban CKPN yang lebih tinggi.
LDR BBRI sudah mencapai 93%
Dalam industri perbankan, Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah sebuah rasio yang membandingkan kredit yang disalurkan dengan Dana Pihak Ketiga (DPK). Melihat LDR membuat kita bisa tahu berapa porsi dari DPK yang disalurkan menjadi kredit.
Idealnya, LDR bank tidak terlalu tinggi karena jika begitu, maka akan membuat bank berisiko mengalami asset-liability mismatch. Perlu kita ingat bahwa DPK merupakan liabilitas jangka pendek yang dapat ditarik oleh deposan sewaktu-waktu.
Namun, kredit merupakan aset yang cenderung jangka panjang sesuai tenor dari portofolio kredit. Dalam kasus ekstrem, bank dengan LDR yang terlalu tinggi menjadi rawan terdampak signifikan ketika terjadi bank run.

Secara umum, LDR BBRI relatif tinggi, mencapai 93%. Di sisi lain, LDR BBCA selalu yang paling rendah. LDR BBCA yang sangat rendah adalah akibat dari penyaluran kredit yang sangat konservatif. Manajemen BBCA akan memprioritaskan kualitas kredit, meski harus mengorbankan LDR.
BBRI dan BMRI memiliki LDR yang sudah tergolong sangat tinggi. Dari semua, bank dengan LDR paling tinggi adalah BBRI yang mencapai 93%. Pada level LDR sekarang, bank akan kesulitan untuk menggenjot kredit tanpa menambah DPK terlebih dahulu.
Oleh karena itu, kinerja dan pertumbuhan kredit BBRI ke depan sangat tergantung dengan kemampuannya menambah DPK.
Dividen BBRI yang unsustainable
Siapa yang tidak suka dividen? Pada Analyst Meeting Q3 2024, manajemen BBRI memaparkan bahwa mereka berencana untuk meningkatkan Dividend Payout Ratio (DPR) BBRI dari 80% menjadi 85% untuk tahun buku 2024.
Apabila BBRI dapat menghasilkan laba Rp60 triliun dan membagikan 85% dari laba menjadi dividen, maka dividen yang dibayar BBRI sebesar Rp51 triliun, sehingga dividend yield BBRI pada harga hari ini mencapai 8,8%. Hanya dari dividen BBRI, Anda akan menghasilkan passive income lebih besar dari deposito atau obligasi.
Dividen 8,8% memang menggiurkan. Namun, payout ratio 85% bukan level yang berkelanjutan, khususnya bagi sebuah bank. Payout ratio sebesar ini membuat bank akan kesulitan bertumbuh dalam jangka panjang.
Tidak semua bank membagikan dividen sebesar itu. Payout ratio BMRI dan BBNI masing-masing sebesar 60% dan 50%. Dengan harga sekarang, BMRI bisa memberi dividend yield 6,5% dan BBNI memberi dividend yield 7,1%.
Meski dividend yield BMRI dan BBNI tidak sebesar BBRI, dividend payout mereka masih ada room for growth, berbeda dengan dividend payout BBRI yang ruang naiknya sudah terbatas.
Kuatnya moat BBRI
Secara natur, menjadi bank yang fokus di segmen korporasi memang lebih enak dibanding segmen mikro. Mulai ticket size jauh lebih besar, hingga risiko gagal bayar yang lebih rendah, segmen korporasi menjadi favorit berbagai bank.
Ada gula, ada semut.
Namun, fokus di segmen korporasi tidak sepenuhnya enak. Sebab secara natur, menyalurkan kredit kepada perusahaan-perusahaan besar lebih mudah dibandingkan kepada UMKM. Bank-bank akan berbondong-bondong untuk menawarkan kredit terhadap perusahaan-perusahaan ini.
Hal yang menjadi masalah, tidak semua perusahaan besar memiliki kualitas yang baik dan mampu melunasi utangnya. Persaingan untuk memberikan pinjaman ke perusahaan-perusahaan berkualitas ini cukup ketat. Sayangnya, dalam hal ini, BMRI dan bank-bank lain tidak punya moat yang besar.
Pinjaman dari BMRI akan sama persis dengan pinjaman dari bank lainnya. Satu-satunya hal yang membedakan adalah bunganya. Korporasi yang berkualitas akan mencari bank mana pun yang mampu memberi pinjaman dengan bunga paling rendah. Hal ini mengakibatkan GIM (Gross Interest Margin) dan NIM yang relatif lebih rendah.
Di sinilah letak perbedaan BBRI dan BMRI. Satu sisi, BMRI harus bersaing dengan bank-bank lain agar mempunyai hubungan yang baik dengan korporasi-korporasi berkualitas. Sisi lainnya, BBRI bisa dibilang memonopoli industri perbankan mikro, khususnya di daerah.
Meski BBRI menawarkan kredit dengan bunga yang tinggi, debitur tidak memiliki pilihan lain. BBRI adalah satu-satunya lembaga keuangan resmi yang tersedia di berbagai daerah. BBRI adalah satu-satunya bank di Indonesia yang berhasil melakukan penetrasi pasar di seluruh wilayah di Indonesia dan memiliki kehadiran yang kuat di sana.
Bank-bank seperti BCA sekali pun tidak berani untuk menyaingi BRI di pasar mikro ini. Oleh karena naturnya yang berisiko tinggi, melakukan kegiatan perbankan untuk industri mikro memerlukan keahlian, jaringan, dan pertimbangan yang tepat. Apabila tidak berhasil, kinerja bank bisa sangat terancam.
Berdasarkan laporan dari SEA e-Conomy pada 2019, dari 181 juta penduduk dewasa Indonesia, sebanyak 92 juta masih unbanked dan belum mengenal industri perbankan. Dari 89 juta sisanya, sebanyak 47 juta jiwa masih underbanked. Di sini, underbanked adalah orang dewasa yang hanya memiliki rekening bank tetapi belum memiliki kredit, investasi, dan asuransi.
Dari 181 juta penduduk dewasa di Indonesia, hanya 42 juta atau sekitar 23% yang sudah fully banked. Dalam hal inklusi keuangan, Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara tetangga, khususnya Singapura, Thailand, dan Malaysia. Bagi industri perbankan di Indonesia, kurangnya inklusi keuangan menjadi PR sekaligus potensi yang besar.

Seiring dengan semakin berkembangnya suatu negara, literasi dan inklusi keuangan akan terus meningkat. Negara maju hampir pasti memiliki literasi dan inklusi keuangan yang lebih baik dari negara berkembang.
Apabila di kemudian hari inklusi keuangan Indonesia meningkat dan masyarakat Indonesia lebih mengenal industri keuangan, kira-kira siapa ya yang akan paling diuntungkan?
*Tulisan dalam artikel ini disajikan hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan kesimpulan atau rekomendasi saran investasi apa pun.
Faber
untuk DPK, saya rasa BRI punya senjata ampuh lewat anak usahanya di pegadaian, karena baru mereka yang dapat izin untuk membuka bullion bank (gold), jika Gold bisa di depositokan di system keuangan, itu akan bisa menarik emas2 diluar sana untuk disimpan dan didepositokan.
salam hangat....