Salah satu aspek yang penting dalam suatu bisnis adalah pricing power. Pricing power merupakan kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga jual produknya. Hal ini sangat penting karena umumnya biaya-biaya dalam suatu bisnis mengalami kenaikan setiap tahun.
Perusahaan yang berhasil meningkatkan harga jual melebihi kenaikan biaya akan bisa menjaga ataupun meningkatkan profit margin yang pada akhirnya berdampak pada laba bersih.
Pada kenyataannya setiap bisnis memiliki pricing power yang berbeda. Tugas seorang investor adalah mengidentifikasi perusahaan yang memiliki pricing power dan yang tidak memiliki pricing power dalam proses analisis mereka.
Dalam tulisan ini, kami menggunakan contoh dari pabrik produsen rokok yang notabene merupakan industri yang sangat besar di Indonesia. Sebagai background di Indonesia, rokok memiliki tingkat konsumsi rata-rata 9 batang rokok setiap harinya dengan total perokok mencapai 70 juta orang.
Dengan jumlah penduduk mencapai 278 juta penduduk di tahun 2023 (ke-4 terbesar di dunia), tidak heran industri rokok Indonesia bisa sangat besar. Tidak heran pula bila penerimaan dari cukai rokok menjadi salah satu kontributor pendapatan negara Indonesia yang terbesar di tahun 2023, dengan nilai Rp210 triliun (setara 9% dari total penerimaan negara).
Dengan ukuran industri yang sangat besar, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah perusahaan produsen rokok memiliki pricing power. Kami mengira ada tiga pertanyaan pembuka yang perlu kita jawab dulu sebelum bisa mendapat kejelasan atas pertanyaan sebelumnya.
Tiga pertanyaan pembukanya, yaitu:
1. apa biaya terbesar dari produsen rokok?
2. bagaimana trend kenaikan biaya tersebut?
3. apakah perusahaan rokok berhasil menaikan harga jual melebihi kenaikan biaya-biaya?
Biaya terbesar produsen rokok
Bila kita lihat data dari Gudang Garam (salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia), biaya terbesar dari produksi rokok adalah pembayaran cukai. Pada tahun 2023, 83% dari biaya produksi rokok Gudang Garam berasal dari pembayaran cukai. Sementara itu, biaya untuk memproduksi rokok memakan hanya 17% dari biaya produksi.
Dari data diatas, dapat disimpulkan biaya produksi rokok mahalnya di cukai, sedangkan bahan baku seperti tembakau, cengkeh, kertas filter, dan bahan baku lainnya malah sangat murah.
Jika kita lihat data dari tahun 2008 - 2019, perusahaan rokok Gudang Garam bisa dikatakan memiliki pricing power yang luar biasa. Biaya produksi rokok pada tahun 2008 - 2019 hanya naik 139% dari Rp383 per batang menjadi Rp915 per batang.
Pada periode yang sama harga rokok naik 150% atau sedikit lebih banyak dibandingkan kenaikan biaya produksi. Hal ini mengakibatkan keuntungan per batang rokok bertambah dari Rp79 per batang menjadi Rp237 per batang.
Marjin kotor perusahaan juga meningkat dari 17% menjadi 21% di periode yang sama. Maka bisa disimpulkan Gudang Garam memiliki pricing power karena berhasil meningkatkan harga jual di atas kenaikan biaya dan meningkatkan keuntungan per batang rokoknya.
Gambar 1: Perbandingan tingkat inflasi dengan kenaikan tarif cukai rata-rata SKM gol. 1 pada era sebelum dan sesudah Pemerintahan Jokowi.
Namun berkaca pada 5 tahun terakhir, biaya utama yaitu cukai mengalami peningkatan 4,6x lipat di atas inflasi dengan rata-rata kenaikan per tahunnya mencapai 15,8%. Kenaikan yang terjadi bertahun-tahun semakin berat untuk diteruskan dan hal ini berdampak pada marjin laba perusahaan rokok yang semakin tertekan.
Di periode yang sama, Gudang Garam tampaknya kehilangan kemampuan pricing power-nya. Terbukti keuntungan per batang rokok Gudang Garam mulai menunjukkan penurunan karena tidak seluruh kenaikan cukai berhasil diteruskan kepada pelanggan.
Gambar 2: Tabel perbandingan biaya produksi, cukai, profit kotor, dan volume penjualan rokok yang dijual Gudang Garam.
Tidak hanya marjin, tetapi kuantitas atau volume rokok yang dijual oleh Gudang Garam juga mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan rokok Gudang Garam menjadi barang yang semakin mahal bagi masyarakat yang relatif terhadap kenaikan daya beli.
Sebagai contoh, seorang dengan UMR Jakarta tahun 2019 dapat membeli 283 bungkus rokok Gudang Garam setiap bulannya. Dengan UMR tahun 2023, perokok tersebut ternyata hanya dapat membeli 225 bungkus rokok.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa rokok merupakan barang yang adiktif sehingga kaum perokok yang tidak mampu membeli rokok Gudang Garam, terpaksa mencari alternatif yang lebih murah yaitu rokok SKM tier 2 dan rokok SKT. Bahkan jika kurang murah, terdapat alternatif yang lebih murah yaitu rokok ilegal.
Tabel 1: Perbandingan harga rokok SKM golongan 1 dan SKM golongan 2/SKT.
Alternatif rokok murah
Untuk memahami apa itu rokok SKM tier 2, rokok SKT, rokok ilegal, dan mengapa rokok tersebut bisa dijual lebih murah dibandingkan rokok Gudang Garam, pembaca harus memahami skema struktur cukai rokok di Indonesia.
Struktur cukai di Indonesia tidak sama rata untuk semua jenis rokok. Sederhananya, rokok yang dibuat oleh mesin atau umumnya disebut Sigaret Kretek Mesin (SKM) – seperti rokok merek Surya yang diproduksi Gudang Garam – memiliki tarif yang lebih mahal dibandingkan rokok yang dibuat oleh tangan atau umumnya disebut Sigaret Kretek Tangan (SKT) – seperti rokok merek Dji Sam Soe yang diproduksi HM Sampoerna.
Di dalam kelas rokok buatan mesin sendiri ada juga subkelas. Pabrik dengan kapasitas produksi yang lebih besar (Golongan 1) harus membayar cukai yang lebih mahal dibandingkan pabrik dengan kapasitas yang lebih kecil (Golongan 2 & 3). Regulasi ini memengaruhi modal perusahaan dalam membuat rokok dan pada akhirnya berdampak pada penentuan harga jual rokok.
Gambar 3: Batasan harga jual eceran dan tarif cukai produk tembakau buatan lokal tahun 2024.
Sebagai gambaran seberapa signifikan selisih harga ini, ambilah contoh seorang perokok yang setiap hari mengonsumsi sebungkus rokok merek Surya. Dia dapat menghemat Rp5 - 10 ribu per hari jika mau "turun kelas" dan membeli rokok tier 2 ataupun rokok buatan tangan.
Uang senilai 10 ribu besarnya setara dengan satu kali makan di warung. Mengetahui perilaku perokok di atas, tidak heran bila pangsa pasar Gudang Garam terus mengalami penurunan.
Tetapi, kondisi industri rokok di Indonesia semakin diperburuk oleh rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah dibandingkan rokok buatan tangan. Istilah rokok ilegal berasal dari produsen rokok yang membuat produk tanpa membayar cukai sama sekali. Mengingat biaya terbesar dalam produksi rokok adalah cukai, maka tidak heran selisih harga jualnya bisa begitu besar.
Menurut estimasi dari HM Sampoerna sendiri, pangsa pasar rokok ilegal telah mencapai 7% atau naik 50% dibandingkan tahun 2020.
Kombinasi dari masyarakat perokok yang "turun kelas" baik ke rokok tier 2, rokok buatan tangan, dan rokok ilegal membuat negara dan produsen rokok kena batunya. Penerimaan negara dari cukai tembakau tahun 2023 turun pertama kali sejak 2014. Sedangkan produsen rokok seperti Gudang Garam mengalami penurunan penjualan dan laba.
Melihat kondisi seperti ini, maka outlook untuk produsen rokok mesin tier 1 seperti Gudang Garam akan sangat bergantung pada keputusan pemerintah terkait kenaikan tarif cukai. Apabila tarif cukai di tahun 2025 tidak naik, maka produsen rokok tier 1 seperti Gudang Garam dapat pulih lebih cepat.
Lain ceritanya apabila tarif cukai kembali naik banyak seperti periode 2019 - 2024. Jika begitu maka kinerja Gudang Garam akan lebih sulit pulih.
Sebagai penutup, saya ingin mengajak para pembaca berpikir.
Katakanlah selisih cukai antara golongan dan metode produksi tetap lebar karena kebijakan pemerintah di tahun mendatang. Apakah produsen rokok SKM tier 2 & 3 akan diuntungkan atau sebaliknya akan dirugikan? Lalu, bagaimana dengan produsen rokok SKT?
*Tulisan dalam artikel ini disajikan hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan kesimpulan atau rekomendasi saran investasi apa pun*