“All intelligent investing is value investing”
- Charlie Munger -
Bisa dikatakan bahwa investasi nilai (value investing) adalah sebuah kata yang memiliki makna tersendiri di dalam kehidupan saya. Frase yang mengatakan bahwa investasi itu artinya membeli suatu kelas aset dengan harga di bawah harga wajar, dengan harapan akan diapresiasi di masa depan adalah sebuah penjelasan yang mungkin terdengar sederhana, akan tetapi kita perlu menyadari bahwa sederhana tidak berarti mudah.
Penerapan prinsip investasi yang benar membutuhkan cara pandang yang benar, filosofi yang benar, wisdom, kerja keras, dan yang paling penting adalah kesabaran. Terkadang tidak hanya sekedar menuntut kita untuk menjadi investor yang lebih baik, tetapi juga menuntut kita untuk jadi orang yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.
Perjalanan investasi saya dimulai pada tahun 2020. Saat itu terjadi pandemi COVID-19 yang membuat semua harga saham terjun bebas hingga IHSG menyentuh titik 3.900.
Hampir semua kegiatan operasional pekerjaan tidak bisa dilakukan pada saat itu karena adanya pembatasan akibat lockdown pandemi. Banyaknya berita yang mengatakan bahwa bursa saham sedang mengalami kehancuran, memicu ketertarikan saya untuk mendalami investasi saham.
Beruntung bahwa saya memiliki pengalaman berbisnis suku cadang kendaraan komersial yang sudah saya geluti sejak remaja. Hal ini membuat saya langsung tertarik dengan value investing yang pada dasarnya memiliki pondasi prinsip yang sama dengan berbisnis.
Sejak saat itu saya melahap semua buku, artikel, video dan semua sumber bacaan mengenai value investing. Pada saat yang sama, saya langsung memutuskan untuk membeli saham. Akan tetapi, saya masih merujuk pada pilihan khusus saham perusahaan-perusahaan besar yang saya rasa tidak mungkin akan bangkrut karena pandemi.
First big investment: MPMX
Perubahan cara berinvestasi saya terjadi pada akhir tahun 2020 ketika saya sudah lebih mendalami arti dan prinsip value investing. Sadar bahwa investasi di banyak perusahaan yang saya lakukan tersebut kurang tepat, saya memutuskan untuk menjual semua saham yang saya miliki pada saat itu.
Suatu ketika saya menemukan suatu perusahaan dengan ticker MPMX yang adalah distributor sepeda motor Honda di Jawa Timur dan NTT. Pada saat itu, MPMX diperdagangkan hanya di PBV 0.3x dengan kondisi kas yang sangat melimpah hasil dari penjualan anak usaha beberapa tahun sebelumnya.
Kondisi perusahaan sedang merugi akibat pandemi, akan tetapi sepeda motor Honda merupakan market leader di segmen kendaraan roda dua sehingga saya punya keyakinan bahwa perusahaan akan segera turnaround ketika kondisi sudah lebih baik.
Ada satu dealer sepeda motor Honda yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan kantor saya. Sebelum membeli saham MPMX, saya memutuskan untuk coba visit ke dealer tersebut untuk mencari informasi mengenai kondisi penjualan sepeda motor saat itu. Ternyata, penjualan sudah mulai bergulir kembali.
Pada saat itu lah akhirnya saya memutuskan melakukan investasi di MPMX untuk hampir semua portofolio saya. Setelah 3-4 bulan berselang, keluar laporan keuangan FY2020 dan bisa dilihat bahwa kinerja perusahaan di Q4-2020 menunjukkan hasil yang cukup bagus. Seiring dengan membaiknya kinerja, harga saham MPMX juga ikut naik. Ditambah lagi Saratoga sebagai pemegang saham mayoritas menambah kepemilikannya saat itu.
Tidak lama setelah itu, manajemen mengumumkan bahwa perusahaan akan membagikan dividen yg cukup besar, dengan dividend yield saat itu setara ±25% dari harga beli saya dan saya mulai berpikir untuk mulai menjual karena ada kesempatan yang lebih menarik di sektor lain.
Second big investment: PTBA
Pada tahun 2021, hampir semua media memberikan informasi yang kurang baik mengenai kondisi dan masa depan komoditas. Penyebab utamanya adalah penerapan ESG dengan komoditas seperti batu bara dianggap tidak memenuhi standar tersebut sebagai sumber energi.
Jelas sekali kondisi di lapangan saat itu berbanding terbalik dengan apa yang diberitakan media karena dunia masih jelas membutuhkan batu bara. Harga batu bara sudah melambung cukup tinggi dan kondisi ini berlanjut hingga tahun 2022 yang diperparah oleh adanya perang Russia dengan Ukraina.
Saya mulai melirik perusahaan-perusahaan batu bara di Indonesia dan akhirnya pilihan jatuh ke PTBA. Alasan utama adalah karena cadangan batu bara yang dimiliki PTBA sebanyak 3 miliar ton, perusahaan yang saat itu merupakan low cost producer dan manajemen memiliki rencana untuk meningkatkan produksi tahunan secara serius dengan membangun infrastruktur untuk mendukung rencana tersebut.
Saya berkesimpulan PTBA memiliki potensi pertumbuhan yang baik sebagai perusahaan batu bara dengan produksi terbesar ke-5 di Indonesia. Saya melakukan pembelian di harga sekitar Rp2.000/saham.
Pada tahun 2022, pemegang saham mayoritas PTBA yaitu Inalum, memutuskan untuk membagikan dividen sebesar 100% dari laba dengan dividen yield saat itu adalah 30% dari harga beli saya. Tentunya kondisi tersebut memberikan keuntungan yang baik bagi saya, ditambah dengan kenaikan harga sahamnya.
Third big investment: MEDC
Selepas dari pembagian dividen PTBA, saya melihat juga banyak yang membahas isu tentang krisis minyak mentah saat itu. Saya melihat perusahaan oil and gas yang listing di BEI tidak begitu banyak, dan akhirnya menuntun saya ke saham MEDC.
Saat itu laporan keuangan Q1-2022 sudah keluar dan MEDC diperdagangkan di P/E 3x. Hal itu membuat saya tertarik untuk melanjutkan analisis lebih dalam. Bisa dikatakan bahwa bagi saya, MEDC ini merupakan salah satu kesempatan arbitrage.
Pada saat itu, MEDC melakukan akuisisi pengeboran minyak milik Conoco Philips dan kinerja dari hasil akuisisi tersebut baru terkonsolidasi di bulan Maret 2022. Dengan demikian kinerja perusahaan akan mengalami peningkatan cukup tinggi di Q2-2022 karena akuisisi tersebut sudah terkonsolidasi penuh.
Akhirnya saya memutuskan untuk berinvestasi di MEDC dengan tesis yang bisa dibilang cukup sederhana tersebut. Benar saja ketika laporan keuangan Q2-2022 keluar, kinerja MEDC sangat baik dan hal tersebut diikuti oleh kenaikan harga saham MEDC yang cukup signifikan. Akhirnya saya memutuskan untuk menjual MEDC karena ada saham lain yang memiliki peluang lebih menarik.
Tentu masih ada kisah keberhasilan lain yang mungkin bisa saya ceritakan di kesempatan berikutnya. Akan tetapi, perjalanan tersebut tidak terlepas juga dari kesalahan-kesalahan yang membuat saya banyak sekali belajar.
Kesalahan adalah bagian dari perjalanan investasi dan saya pasti masih akan membuat kesalahan di kemudian hari. Perjalanan saya tersebut tidak terlepas dari pertemuan saya dengan komunitas THINK. Komunitas yang solid, benar-benar mendukung dan tidak segan memberi tahu atau memberikan koreksi ketika kita melakukan kesalahan. Interaksi yang ada di dalam juga tidak hanya satu arah saja, tetapi benar-benar saling mengasah satu sama lain.
Kesalahan terbesar investor biasanya disebabkan oleh bias psikologis. Oleh sebab itu butuh cara pandang atau wisdom yang benar terhadap segala keputusan yang kita ambil. Kita bisa belajar dari berbagai macam pengalaman yang pernah kita jalani, berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, pengalaman bisnis orang lain, cara pandang manusia atas kehidupan dan lain sebagainya sehingga dapat mengambil keputusan yang semakin hari semakin tepat dan tajam.
Jika mengutip kata-kata dari Li Lu bahwa apapun keputusan investasi yang kita ambil, nantinya pasti akan diuji. Dengan cara pandang yang salah, mungkin kita masih bisa memperoleh keuntungan untuk beberapa waktu dan ini akan menimbulkan bias yang semakin dalam.
Namun begitu, maybe we still can survive in the short run if we are lucky. However, it would be very difficult to survive in the long run.
“Rule number one: never lose money. Rule number two: never forget rule number one”
- Warren Buffett -