Seberapa pentingkah menentukan laba?
Salah satu tujuan utama, bila bukan satu-satunya, dari sebuah bisnis didirikan adalah untuk menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. Bagi para pemilik bisnis tentunya keuntungan tersebut dapat menjadi cashflow yang secara periodik diterima oleh pemilik atau dapat direinvestasikan kembali ke bisnis untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar di masa depan.
Sama halnya dengan pemilik bisnis, investor juga mendapatkan keuntungan perusahaan melalui pembagian dividen maupun capital gain yang diperoleh dari laba perusahaan yang bertumbuh sebagai hasil reinvestasi laba.
Laba adalah bentuk reward yang diterima oleh pemberi modal karena telah bersedia untuk merisikokan modalnya. Oleh karena itu, dalam menentukan potensi return dan harga yang harus dibayar untuk menghasilkan return tersebut (valuasi), investor harus terlebih dahulu mendefinisikan dan menentukan nilai keuntungan yang akan diterimanya pada suatu investasi.
Akuntansi telah membantu investor untuk mengukur seberapa banyak penghasilan perusahaan setelah dikurangi berbagai biaya, baik biaya operasional (pembelian, produksi dan penjualan) maupun biaya non-operasional (biaya bunga, biaya kurs).
Seperti yang telah dibahas pada artikel How Business Talks Through Accounting, akuntansi layaknya sebuah kamus yang berusaha menerjemahkan seluruh aspek bisnis menjadi format yang dapat dimengerti dan dianalisis oleh para stakeholder, termasuk investor.
Disebabkan value proposition yang akuntansi sajikan, investor pun dengan gamblang menggunakan angka laba bersih (atau Earning per Share untuk menghitung P/E) pada laporan keuangan sebagai bentuk laba yang diterima oleh investor dari perusahaan pada periode tertentu. Meskipun terlihat intuitif, namun penggunaan laba bersih akuntansi di laporan keuangan tidak selalu mencerminkan keuntungan sebenarnya yang dimiliki – atau setidaknya dapat diklaim – oleh investor.
Penggunaan laba akuntansi semata, terlebih tanpa analisis komprehensif bisnis terlebih dahulu, dapat menjadi kesalahan fatal yang menyebabkan kerugian material bagi investor.
Lebih lanjut, laba sebenarnya dari sebuah bisnis adalah arus kas yang dapat diterima oleh investor setelah dikurangi dengan segala pengeluaran yang dibutuhkan perusahaan untuk menjaga earning power-nya dari dinamika ekonomi dan industri maupun dari persaingan bisnis.
Kami tidak mengatakan bahwa laporan keuangan maupun akuntansi tidak relevan dalam proses analisis bisnis, namun kami percaya bahwa investor membutuhkan analisis lebih lanjut untuk menginterpretasi angka-angka pada laporan keuangan sesuai dengan point of view sebagai pemilik bisnis.
Akuntansi memanglah menjadi kamus bisnis, namun selalu terdapat interpretasi lebih lanjut yang dibutuhkan untuk mengetahui makna dari sebuah bahasa.
Bagaimana akuntansi mendistorsi makna dari laba
Mungkin ketika Anda pertama kali mendalami ilmu akuntansi, baik untuk kebutuhan profesi maupun secara umum untuk menganalisis kinerja keuangan perusahaan, hal pertama yang kemungkinan besar terbesit ke dalam pikiran Anda adalah betapa banyaknya prosedur pengakuan dan pengukuran yang perlu dilakukan.
Misalnya dalam melakukan pengakuan beban/biaya, akuntansi secara umum mengklasifikasikan biaya dari pembelian aset tetap sebagai biaya depresiasi/penyusutan yang tidak secara penuh dibebankan pada periode tersebut. Beban depresiasi tersebut melainkan akan dialokasikan secara proposional (“disebar”) pada tahun-tahun mendatang sesuai dengan estimasi masa manfaat aset tesebut.
Saking begitu “berbedanya” bagaimana akuntansi bekerja, bahkan perlu dibuat jurusannya sendiri.
Jokes aside, meskipun tujuan akuntansi adalah untuk membantu investor dalam melihat performa keuangan perusahaan dan mendasarinya untuk keputusan bisnis; seperti membeli atau menjual saham, sistem akuntansi yang terlalu rigid justru menghasilkan hasil yang berbeda dari kondisi asli perusahaan.
Terlebih lagi pada laba, tahukah Anda bahwa definisi dari laba bersih menurut akuntansi adalah nilai residu (sisa) dari pendapatan dikurangi dengan segala biaya (Kieso et al. 2020)? Meskipun terdengar masuk akal, namun definisi ini membuat laba bersih sebagai plug-in variable yang dipengaruhi oleh pendapatan dan biaya, yang tentunya memiliki prosedur pengakuannya tersendiri.
Pada pendapatan, dua hal yang sering menjadi distorsi bagi keuntungan riil perusahaan adalah piutang dan pengakuan pendapatan itu sendiri. Perusahaan bisa saja mencatat penjualan/pendapatan, namun tidak ada cash yang diterima sama sekali. Tanpa adanya manajemen piutang yang baik dapat menyebabkan perusahaan tidak mampu membiayai kegiatan operasionalnya. Boro-boro memberikan keuntungan bagi investor.
Selain itu, hal ini dapat menjadi red flag bagi beberapa industri yang sebenarnya sangat janggal apabila memiliki piutang yang terlalu besar. Misalnya pada bisnis restoran, ketika piutang memiliki komposisi yang sangat besar pada neraca, jelas menimbulkan pertanyaan sinis mengenai model bisnisnya.
Kemudian pada aspek pengakuan pendapatan, akuntansi mewajibkan perusahaan untuk melakukan analisis yang sering dikenal sebagai 5-Step Process. Salah satu key take away-nya adalah pendapatan baru dapat diakui ketika kewajiban (obligation) perusahaan dalam memenuhi dan mentransfer produknya kepada pelanggan telah terpenuhi, bukan ketika perusahaan menerima cash.
Gambar 1: 5-step process untuk pengakuan pendapatan/Sumber: Conga.com
Salah satu implikasi utamanya adalah pada pengakuan pendapatan di industri konstruksi yang memiliki dua metode; yaitu metode persentase penyelesaian dan kontrak selesai. Kedua metode ini memiliki prosedur pengakuan yang berbeda untuk setiap periodenya. Bahkan, di kedua metode tersebut tetap tidak ada cash yang diterima perusahaan.
Gambar 2: Metode pengakuan pendapatan untuk kontrak jangka panjang.
Sumber: Marian Cooper via Slideshare.
Pada aspek biaya, terdapat lebih banyak pengakuan akuntansi yang cukup mendistorsi akun-akun biaya dan juga pada akhirnya laba bersih dari keadaan sesungguhnya. Terdapat biaya yang sifatnya cash sudah keluar duluan di muka (seperti depresiasi dan amortisasi) ataupun bersifat one-time seperti kerugian dari penjualan anak usaha. Semua hal ini sebenarnya tidak akan memengaruhi true earnings investor dalam jangka panjang.
Investor pada akhirnya diwajibkan melakukan homework-nya untuk menganalisis perusahaan secara mendalam; bukan hanya dengan menilai produk, competitive advantage atau karakteristik industrinya, melainkan juga menyesuaikan nilai keuntungan sebenarnya dari suatu perusahaan yang dimiliki oleh investor sebagai pemilik perusahaan.
How, then, to determine real owner earnings?
How Buffett defines earnings
Melihat disparitas antara laba scara akuntansi dengan yang sebenarnya dihasilkan oleh sebuah bisnis, Warren Buffett memaparkan gagasan mengenai true earnings dalam Annual Berkshire Shareholder Letter tahun 1986:
“If we think through these questions, we can gain some insights about what may be called “owner earnings.” These represent (a) reported earnings plus (b) depreciation, depletion, amortization, and certain other non-cash charges; such as Company N’s items (1) and (4) less (c) the average annual amount of capitalized expenditures for plant and equipment, etc. that the business requires to fully maintain its long-term competitive position and its unit volume. (If the business requires additional working capital to maintain its competitive position and unit volume, the increment also should be included in (c). However, businesses following the LIFO inventory method usually do not require additional working capital if unit volume does not change).”
– Warren Buffett –
Buffett menjelaskan bahwa pada dasarnya investor perlu memasukkan kembali segala pengeluaran non-cash, seperti depresiasi dan amortisasi, dengan menambahkannya pada laba bersih. Namun tidak seperti EBITDA, Buffett akan menguranginya dengan maintenance capex, yaitu belanja modal (capital expenditure) yang dibutuhkan untuk menjaga earning power perusahaan.
Earning power adalah karakteristik dan kemampuan yang suatu bisnis butuhkan untuk menghasilkan laba. Bayangkan apabila Anda memiliki sebuah bisnis restoran, tentunya dibutuhkan peralatan memasak, kursi dan meja untuk pelanggan atau AC agar memastikan pelanggan nyaman di restoran Anda.
Apabila AC rusak akibat sudah usang, pelanggan bisa enggan untuk mendatangi restoran. Jika Anda tidak melakukan replacement atau perbaikan pada AC tersebut, tentunya hal ini akan menurunkan laba restoran, sekaligus menurunkan earning power perusahaan.
Pendekatan Buffett tentunya sangatlah masuk akal, sebab perhitungan owner earnings lebih menggambarkan kas yang benar-benar dapat diatribusikan kepada investor. Selain itu, owner earnings mewajibkan investor untuk take a deep-dive mengenai seluruh aspek perusahaan yang dianalisis, sebab diperlukan pemahaman komprehensif untuk menentukan seberapa besar maintenance capex yang diperlukan perusahaan dalam jangka panjang.
Meskipun terkesan formulaic, tetapi secara filosofisnya Buffett menegaskan bahwa investor perlu memahami owner earnings sebagai suatu konsep esensial dalam menentukan laba sesungguhnya dari suatu bisnis. Pada annual letter yang sama, Buffett menjelaskan mengenai konsep owner earnings:
“Our owner-earnings equation does not yield the deceptively precise figures provided by GAAP, since (c) must be a guess—and one sometimes very difficult to make. Despite this problem, we consider the owner earnings figure, not the GAAP figure, to be the relevant item for valuation purposes—both for investors in buying stocks and for managers in buying entire businesses. We agree with Keynes’s observation: “I would rather be vaguely right than precisely wrong.”
– Warren Buffett –
Pesan utama Buffett adalah untuk melarang investor menggunakan laba bersih pada laporan keuangan secara gamblang sebagai real earnings tanpa adanya adjustment melalui proses analisis perusahaan. Valuasi menekankan bahwa value dari perusahaan adalah semua cash flow yang dapat dimiliki setelah dikurangi semua biaya, termasuk replacement capex, selama periode investor memilikinya.
Sankey Diagram, simple yet effective analysis to see business ‘blood flow’
Dalam dunia bisnis, pemahaman tentang alokasi modal menjadi krusial untuk menilai efisiensi suatu perusahaan. Salah satu cara yang efektif untuk memvisualisasikan aspek ini adalah dengan menggunakan Sankey Diagram, sebuah alat bantu visualisasi yang mampu menunjukkan sumber dan tujuan dari sumber daya perusahaan.
Sankey Diagram adalah diagram aliran yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana kuantitas bergerak melalui suatu sistem. Ketebalan setiap aliran dalam diagram ini mencerminkan jumlah kuantitas yang berpindah.
Dicetuskan oleh Matthew Sankey, Sankey diagram pada awalnya digunakan untuk menganalisis seberapa besar energi yang terbuang dari suatu mesin. Dalam konteks bisnis, diagram ini dapat merepresentasikan capital allocation, cost structure dan aliran resources perusahaan dari satu komponen ke komponen lain, sehingga memudahkan identifikasi karakteristik penting dalam penggunaan modal.
Gambar 3: Contoh Sankey Diagram/Sumber: Wikipedia.
Gambar 4. Contoh Sankey Diagram cashflow ELSA 2013-2023.
Sumber: Laporan Keuangan yang diolah oleh Meiky Gani
(untuk analisis lebih mendalam dapat menonton THINK Case ELSA).
Sankey diagram memudahkan investor dalam melihat aliran uang yang terjadi pada perusahaan dalam periode lebih dari setahun, (umumnya selama 5-10 tahun) untuk menilai bagaimana karakteristik ‘bloodflow’ perusahaan yang tentunya tidak bisa hanya berdasarkan kinerja satu periode saja.