Insights & Articles

Membandingkan Rivalitas Manchester dari Kacamata Bisnis – MU vs City (Part 1)

id Accounting September 12, 2024
At a Glance

Apakah benar, semakin banyak uang bisa menjamin makin sukses di bisnis sepak bola? Apakah uang yang banyak menentukan performa klub juga?

Bisnis sepak bola memerlukan modal yang besar, tapi tidak mudah menghasilkan profit.

Bulan Agustus, biasanya menjadi bulan yang seru bagi para fans bola. Apalagi Premier League yang merupakan kasta kompetisi tertinggi di Inggris dan bisa dibilang “paling populer sedunia”. 

Masa transfer pemain

Bulan Agustus merupakan masa transfer (transfer window) pemain untuk klub-klub di Eropa. Banyak fans menantikan klub kesayangan mereka mengumumkan pembelian pemain baru untuk memperkuat klub.

Menyambut musim baru, Manchester United (MU) tampak lebih agresif dengan membeli dua wonderkid, yaitu Leny Yoro dan Joshua Zirkzee di awal transfer window

Lalu, baru-baru ini disusul dengan Matthijs de Ligt, Mazraoui, dan Manuel Ugarte. Sampai dengan pertengahan Agustus 2024, MU sudah belanja pemain lebih dari 160 juta Euro.

Sementara itu, rival sekotanya, Manchester City (City), baru membeli pemain muda asal Brazil, Savinho, seharga 25 juta Euro. City malah kembali menerima Ilkay Gundogan dengan status free transfer.

Padahal, City mengantongi prize money sekitar 190 juta euro dari hasil menjuarai Premier League 2023/2024. Sedangkan MU yang finish di peringkat 8 hanya mendapat kurang lebih 46 juta euro, ditambah hasil menjuarai FA Cup (Piala Liga) sebesar 2.3 juta euro.

Dilihat dari angka saja, pembelian transfer pemain MU jelas sudah melebihi prize money hasil musim lalu.

Pertanyaannya, apakah pengeluaran MU bisa memberikan prestasi yang sepadan? MU sudah mengeluarkan hingga 690 juta Euro untuk belanja pemain sejak tahun 2021. 

Prestasi Manchester merah dan biru

Di atas lapangan, bisa dilihat Premier League (PL) masih dikuasai Manchester City yang sudah menjadi juara 4 tahun berturut-turut. 

City juga akhirnya menjuarai Champions League, kompetisi antar-klub paling bergengsi di Eropa. Dengan kemenangan itu, Pep Guardiola yang menjadi manajer tim utama City sejak 2016, mencetak sejarah treble winner pertama untuk City dengan menjuarai Premier League, FA Cup, dan Champions League.

Sedangkan catatan prestasi terbaik Manchester United dalam 5 tahun ke belakang adalah peringkat 2 Premier League di 2021 dan Carabao Cup 2023. 

MU juga akhirnya kembali meraih FA cup di musim kemarin setelah puasa gelar sekitar 7 tahun.

Dari penjelasan tadi, terlihat prestasi Manchester City jauh mengungguli Manchester United. Banyak fans bola jadi bertanya-tanya, apa Manchester City itu terus juara karena memang jago atau karena uangnya banyak?

Manchester City yang menjadi bagian dari City Football Group milik Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan dari Abu Dhabi, sudah mendapat suntikan dana lebih dari dua setengah miliar Euro sejak diakuisisi tahun 2008. Nilai itu setara dengan lebih dari Rp42 triliun.

Sementara itu, manajemen Manchester United mengalami perubahan besar setelah akuisisi kontroversial dari keluarga Glazer di tahun 2005 lalu.

Sebelum membahas lebih lanjut, saya coba pelajari secara garis besar bagaimana bisnis klub sepak bola dijalankan.

Sepak bola adalah bisnis entertainment

Sebelum berkembang menjadi bisnis besar di masa sekarang, bisnis klub sepak bola mayoritas mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket, kemudian sponsor dan merchandise.

Jika berfokus di Inggris saja, sepak bola sebenarnya sudah menjadi favorit media dari awal tahun 90an. Sepak bola biasanya mempunyai segmen khusus dan mendapat banyak porsi pemberitaan di koran-koran di Inggris. 

Berawal dari popularitas tersebut, salah satu stasiun TV Inggris yaitu Sky Sports memutuskan untuk menyiarkan Premier League lewat saluran satelit. Sebuah keputusan yang tepat saat itu karena membantu Sky Sports turnaround bisnisnya menjadi profitable, setelah bertahun-tahun sebelumnya merugi. 

Berdasarkan sejarah tersebut dan bisnis yang berjalan hingga saat ini, saya menilai intrinsic product dari bisnis klub sepak bola adalah entertainment atau sisi hiburannya. 

Produk utama dari bisnis klub sepak bola adalah hiburan untuk banyak orang.

Adapun bisnis sepak bola dijalankan dengan membangun aset (stadion, akademi, pemain, pelatih, serta aset pendukung lainnya), lalu proses operasionalnya berjalan dengan mempersiapkan tim. 

Semakin baik performa tim, maka akan semakin mudah bagi klub untuk mendapatkan pendapatan dari pertandingan-pertandingan yang mereka jalankan, perjanjian-perjanjian dengan sponsor, maupun dari hak siar dan penjualan tiket.

Jadi, secara umum klub bola menghasilkan pendapatan operasional dari 3 segmen, yaitu:

      - matchday atau penjualan tiket stadion
      - broadcasting atau hak siar, dengan sub-segmen kompetisi domestik
        dan kompetisi benua seperti Champions League
      - commercial, dengan sub-segmen sponsorship dan merchandising.

Kontribusi antar-segmen bisa jadi berbeda-beda di setiap klub.

Saya mencoba melihat dari klub kecil dahulu, yaitu salah satu klub yang berhasil bertahan di Premier League seperti Nottingham Forest. Tahun 2022, mereka masih di divisi 2, yaitu divisi Championship. Pada saat itu, mereka menghasilkan pendapatan sekitar 33,5 juta Euro dengan segmentasi:

      1. 9,5 juta Euro dari matchday (28%). 
      2. 14 juta Euro dari broadcasting (42%)
      3. 10 juta Euro dari commercial (30%).

Tahun 2023, operating revenue mereka naik 5 kali lipat menjadi 178 juta Euro karena bermain di Premier League. Nilai yang setara dengan Rp3,1 triliun, dengan komposisi sebagai berikut:

      - 12,5 juta Euro dari matchday (8%)
      - 144 juta Euro dari broadcasting atau naik 10 kali lipat (80%)
      - 21,5 juta Euro dari commercial atau naik 2 kali lipat (12%).

Tentu tidak heran, mengapa begitu banyak klub bersaing untuk terus bertahan dan menjuarai Premier League. Sebab, perbedaan pendapatan langsung signifikan hanya dari broadcasting saja.

Perbandingan MU dan City dalam angka

Kembali ke perbandingan operating revenue antara MU dan City di akhir musim 2023. Data yang dipakai adalah data akhir musim 2023, karena laporan final akhir musim 2024 belum dirilis secara resmi oleh MU dan City. 

Di akhir musim 2023, MU mencatat operating revenue sekitar 740 juta Euro, setara dengan Rp12,9 triliun, dengan segmentasi:

      - matchday 158 juta Euro (21%)
      - broadcasting 243 juta Euro (32%)
      - commercial 339 juta Euro (47%).

Sementara itu, City menghasilkan operating revenue sekitar 825 juta Euro, setara dengan Rp14,3 triliun, dengan segmentasi:

      - matchday 83 juta Euro (10%)
      - broadcasting 348 juta Euro (42%)
      - commercial 395 juta Euro (48%).

Menarik melihat perbandingan dari segmen matchday. Biasanya tim dengan fanbase besar bisa mendapat porsi matchday revenue yang baik karena fans mereka lebih rela mengeluarkan uang untuk menonton langsung di stadion. 

Anda bisa lihat MU mendapat lebih banyak revenue dari pertandingan di stadion dibanding City. Tapi, City unggul 43% di pendapatan broadcasting dibanding MU, terutama karena City menuntaskan Champions League 2022/2023 dengan menjadi juara. 

Di sini, bisa disimpulkan bahwa jika tim memiliki performa bagus di lapangan, pendapatan mereka juga akan meningkat. Bisa dilihat bahwa broadcasting revenue antara tim Premier League dan tim divisi Championship saja sudah jauh berbeda. 

Apalagi, jika sebuah tim bisa berkompetisi di level Eropa. Broadcasting revenue di kompetisi Eropa bisa menjadi kontributor yang signifikan.

Misalnya, di musim 2021/2022, MU mendapatkan broadcasting revenue sebesar 78 juta Euro karena bisa bertahan hingga babak 16 besar Champions League. Pada musim 2022/2023, MU hanya bermain di Europa League karena posisi di Premier League yang merosot. 

Meskipun bisa mencapai quarter final Europa League, pendapatan broadcasting mereka menurun lebih dari 50% ke 33 juta Euro. 

Penghasilan bisnis sepakbola

Gambar 1: Kontribusi revenue antar-segmen bisnis klub sepak bola.
Sumber: Olahan THINK dari Laporan Keuangan Klub.

Non-Operating Revenue dari penjualan pemain

Nah, selain pendapatan operasional tersebut, klub sepak bola juga bisa mendapatkan pendapatan tambahan dari jual-beli pemain.

Di akhir musim 2023, City memperoleh pendapatan tambahan sebesar 140 juta Euro dari penjualan pemain. Sedangkan MU, hanya berhasil mendapatkan sekitar 20 juta Euro. 

Nilai yang diperoleh City cukup besar karena mereka berhasil menjual Gabriel Jesus, Zinchenko, dan beberapa pemain lainnya. Keuntungan besar didapatkan dari penjualan Gabriel Jesus dan Zinchenko ke Arsenal. City berhasil menjual mereka lebih mahal daripada harga belinya sehingga untung setidaknya 55 juta Euro.  

Sementara MU malah banyak melepas pemain bintang dengan status Free Transfer, seperti Paul Pogba dan Jesse Lingard pada musim itu akibat kontrak berakhir tanpa diperpanjang.

Dalam tiga tahun terakhir, City bahkan telah mengumpulkan hingga 170 juta Euro dari penjualan pemain lulusan akademi. Nama tenarnya antara lain Cole Palmer yang dijual ke Chelsea seharga 41 juta Euro di musim lalu (2023/2024).

Sementara MU masih belum berhasil menjual pemain dengan profitable, pada tiga tahun terakhir, mereka pun hanya mendapatkan profit kurang lebih 60 juta Euro. 

Cost structure klub sepak bola

Dari sisi pendapatan, Manchester City jelas tampak dominan. Walaupun demikian, pendapatan Manchester United masih termasuk 5 tertinggi di Eropa. 

Lalu, apakah dari pendapatan yang besar itu, mereka otomatis berhasil mencetak profit?

Sebelum langsung membahas ke angka, saya mencoba memahami pengeluaran-pengeluaran atau cost structure dalam menjalani bisnis klub sepak bola.

Secara garis besar, komponennya adalah: 

      - gaji
      - amortisasi pemain
      - depresiasi aset
      - pengeluaran lain-lain.

Biasanya, cost yang dominan adalah gaji dan amortisasi. Jadi, dua kategori tersebut akan menjadi fokus dalam analisis cost.

Mengapa ada amortisasi di pembukuan klub sepak bola?

Sebab, setiap pembelian pemain, nilai kontraknya diakui dalam intangible assetKemudian, nilai kontrak itu diamortisasi atau dibagi sepanjang durasi kontraknya. Misalnya, MU membeli Sancho senilai 85 juta Euro dengan kontrak 5 tahun. Sederhananya, MU akan mencatat nilai amortisasi Sancho sebesar 85 dibagi 5, yaitu 17 juta Euro per tahun hingga kontrak habis atau Sancho dibeli klub lain. 

Berikut perbandingan antara MU dan City.

Perbandingan Amortisasi MU dan City

Tabel 1: Perbandingan amotisasi antara MU dan City/Sumber: Laporan Keuangan Klub 2022/2023.

Dari sisi pengeluaran gaji pemain, City memang lebih besar dengan biaya mendekati sekitar 490 juta Euro (59% dari revenue). Sementara itu, MU di sekitar 380 juta Euro (51% dari revenue).

Salah satu hal yang mencolok dari City adalah pengeluaran gaji pemain yang terus meningkat. Total gaji pemain sebelum pandemi di kisaran 369 juta Euro, lalu setelah pandemi naik menjadi sekitar 416 juta Euro dan terus meningkat ke 493 juta Euro di akhir musim 2023 kemarin. 

Tapi, City cukup konsisten dengan porsi pengeluaran gaji di sekitar 60% revenue dalam 10 tahun terakhir. Itu berarti, kenaikan biaya gaji pemain diiringi dengan kenaikan revenue.

Di sisi sebaliknya, MU sebenarnya berhasil mengurangi pengeluaran gaji di tahun 2023. Salah satu faktor terbesar adalah kesepakatan pemutusan kontrak dengan Cristiano Ronaldo. 

Sebelumnya, estimasi gaji Ronaldo sekitar 550 ribu Euro atau sekitar Rp10 miliar setiap minggu! 

Akhir musim 2023, porsi pengeluaran gaji MU membaik ke level 51% dari revenue. Setelah di musim sebelumnya membengkak hingga lebih dari 65%.

Beban Gaji MU vs City:

Beban Gaji MU dan City

Tabel 2: Beban Gaji MU vs City/Sumber: Laporan Keuangan Klub 2022/2023.

Lalu, bagaimana dengan amortisasi pemain?

Sejak 2021, MU sudah mengeluarkan biaya hingga 690 juta Euro untuk belanja pemain. Tidak heran, amortisasi pemain tiap tahun pun meningkat. Total biaya amortisasi pemain MU naik 40% dari 142 juta Euro di tahun 2021 ke 200 juta Euro di tahun 2023. 

Sementara itu, City cukup stabil dengan total biaya amortisasi sekitar 170 juta Euro sejak tahun 2021.

Amortisasi MU vs City:

Amortisasi pemain MU dan City

Tabel 3: Perbandingan amortisasi pemain MU vs City/Sumber: Laporan Keuangan Klub 2022/2023.

Amortisasi yang terus meningkat ini menjadi salah satu faktor utama yang menggerus kemampuan MU mencetak profit. 

Di akhir musim 2023, City mendapat profit sekitar 90 juta Euro atau sekitar 10% dari revenue. Angka tersebut juga menjadi rekor bagi sejarah klub. Tahun 2021, profit City hanya 0.4%, kemudian menjadi 6% di 2022. 

Sementara itu MU masih terus mengalami kerugian sejak pandemi. MU menutup musim 2023 dengan kerugian sekitar 32 juta Euro, negatif 4% dari revenue. Walau demikian, hal ini menunjukkan perbaikan dari rugi 134 juta Euro di akhir musim 2022 (negatif 20%).

Net Profit City

Gambar 2: Net Profit City/Sumber: Olahan THINK dari Laporan Keuangan Klub.



Gambar 3. Net Profit MU/Sumber: Olahan THINK dari Laporan Keuangan Klub.

Capital Allocation MU vs City

Sekarang, bagaimana kedua klub itu mengalokasikan modal mereka?

Total aset MU di akhir musim 2023 sebesar 1.5 miliar Euro. Komponen terbesar adalah aset tak berwujud atau intangible asset sebesar sekitar 950 juta Euro. Nilai itu disusul aset properti seperti stadion Old Trafford dan pusat latihan sebesar hampir 300 juta Euro. 

Mengapa aset tak berwujud begitu dominan, bahkan sampai sekitar 60% dari total aset? 

Itu karena pembelian pemain dicatat sebagai intangible asset (aset tidak berwujud) dalam bisnis klub sepak bola. Intangible karena yang dibeli oleh klub adalah pemain serta talentanya, bukan pembelian barang atau bangunan yang biasanya dimasukkan ke kategori aset berwujud (tangible). 

Dengan demikian, nilai kontrak tersebut diamortisasi atau dibagi sepanjang durasi kontrak pemain.

Dalam laporan keuangan Manchester United, disebutkan bahwa pengeluaran besar untuk intangible asset terutama untuk pembelian Antony, Lisandro Martinez, Casemiro, dan Sancho.

Melihat performa musim lalu, cukup disayangkan karena salah satu pembelian mahal; yaitu Sancho yang bernilai lebih dari 80 juta Euro, malah belum memberikan hasil yang memuaskan. Sancho kemudian dipinjamkan kembali ke klub asalnya yaitu Borussia Dortmund.

Sementara itu, City memiliki total aset sekitar 1.75 miliar Euro. Komponen intangible asset juga cukup dominan sekitar 570 juta Euro, lalu aset properti sekitar 460 juta Euro.

Namun, City termasuk klub dengan rekrutmen yang berhasil. Erling Haaland, yang dibeli dari Dortmund seharga 60 juta Euro di tahun 2022 berhasil menjadi top scorer Premier League 2 musim berturut-turut.

Utang finansial

Selanjutnya, sisi yang menarik untuk dilirik tentu adalah soal utang.

Utang finansial City adalah salah satu yang terkecil di Premier League dengan nilai sekitar 74 juta Euro. Tapi, itu dikarenakan mereka banyak dimodali langsung oleh City Football Group.

Sementara itu, MU yang dimiliki oleh keluarga Glazer memiliki utang hingga 700 juta Euro. Utang yang jauh lebih besar itu karena akuisisi yang dilakukan oleh keluarga Glazer tahun 2005. Akuisisi tersebut dianggap kontroversial oleh banyak fans karena didominasi utang sebesar 525 juta poundsterling saat itu atau senilai 1,1 miliar Euro saat ini (Rp19 triliun). 

Akuisisi tersebut menimbulkan banyak perdebatan karena sejak awal berdiri tahun 1931, MU tidak pernah memiliki utang finansial. Saat ini utang finansial MU adalah yang terbesar kedua di Premier League, di belakang Tottenham Hotspur dengan total utang lebih dari 900 juta Euro untuk membiayai stadion baru mereka.

Part 1 sampai di sini dulu ya! Menurut Anda mana owner yang lebih baik? 

 

Di part 2, akan kita pelajari lebih lanjut tentang keluarga Glazer dan pentingnya faktor manajemen dalam sebuah bisnis.

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read