Insights & Articles

Melihat Saham sebagai Obligasi Super

id Wisdom December 13, 2024
At a Glance

Seorang investor saham dapat memilih saham dengan meminjam kacamata investor obligasi.

Saham yang mampu secara konsisten memberi dividend yield lebih tinggi dari kupon obligasi dapat menjadi pilihan investasi yang lebih menarik dibandingkan obligasi.

Hindari terlalu fokus menebak-nebak capital gain; kita lebih baik fokus pada kualitas bisnis dan kemampuannya menghasilkan dividen di masa depan.

Menurut definisinya, obligasi adalah surat utang yang dapat diperjualbelikan. Penerbit obligasi berjanji membayar bunga (atau disebut kupon) kepada pemegang obligasi setiap periode tertentu. Berdasarkan penerbit, obligasi dapat dibedakan menjadi dua, yakni Pemerintah dan Korporasi.

Obligasi Pemerintah, seperti ORI, sering disebut sebagai investasi yang hampir bebas risiko karena diatur sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 dan hanya akan menjadi risiko besar jika negara Indonesia bangkrut. Kenyataannya, sepanjang sejarah, Pemerintah Indonesia tidak pernah gagal bayar dalam membayar utang sampai bangkrut. Karena sifatnya yang rendah risiko, obligasi pemerintah memiliki kupon yang relatif rendah.

Obligasi Korporasi dapat diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan, biasanya untuk mendanai operasional, akuisisi, dan modal usaha. Karena kewajiban obligasi ini dijamin oleh perusahaan tersebut, risiko obligasi korporasi lebih tinggi dibandingkan obligasi negara, sehingga memberikan kupon yang relatif lebih tinggi.

Karena dinilai rendah risiko serta mampu memberi return yang pasti dan stabil, obligasi menjadi instrumen investasi yang cukup populer bagi investor pasar modal. Meski harga obligasi bisa naik dan turun, banyak investor obligasi tetap tenang karena nilai obligasinya akan kembali ke nilai par pada saat jatuh tempo. Bagi kebanyakan orang, ketenangan semacam ini tidak bisa mereka rasakan apabila berinvestasi saham.

Sebenarnya, kacamata seorang investor obligasi yang “lebih konservatif” juga bisa dipakai dalam menganalisis saham pilihan. Pada saat ini, terdapat beberapa saham yang memiliki karakteristik yang menyerupai obligasi. 

Pertanyaannya kemudian: Apa saja sih karakteristik yang dimaksud? Bagaimana kita bisa menggunakan kacamata ini dalam menganalisis saham? Mari kita bahas!

Kupon Obligasi vs. Dividen Saham

Seorang investor membeli sebuah obligasi dengan harapan menerima kupon rutin di kemudian hari. Kupon yang diterima pemegang obligasi bagaikan dividen yang diterima pemegang saham.

Saat ini, sebagian besar obligasi negara ditawarkan dengan kupon 6 - 7% per tahun. Namun, perlu diingat, kupon obligasi masih perlu dikenakan PPh sebesar 10%. Artinya, obligasi dengan kupon 6,5% secara efektif sebenarnya hanya memberi kupon 5,85%.

Di saat yang sama, terdapat banyak saham yang mampu memberikan dividend yield yang setara atau bahkan lebih besar dari angka tersebut. Berbeda dengan zaman dahulu, kini saham-saham dengan dividend yield jumbo sedang bertebaran di mana-mana.

Mencari dividend yield 7 - 12% sudah bukan lagi hal yang asing didengar. Meskipun perusahaan bisa membagikan dividend yield besar, banyak dari mereka masih mampu mempertahankan sebagian laba, memperbesar retained earnings dan ekuitas, serta melakukan ekspansi kedepannya.

Dalam jangka panjang, dividen yang kita terima pun bisa terus naik seiring dengan pertumbuhan kinerja perusahaan. Hal ini berbeda dengan kupon obligasi yang tetap dan tidak mungkin naik di kemudian hari.

Instead of buying bonds with a 5 - 6% return after tax, why not buy stocks that can consistently yield 7 - 12% just from their dividends?

 

Konsistensi dalam berinvestasi saham

Ingat, kata kuncinya konsisten. Dalam pembahasan ini, konteksnya adalah saham-saham yang secara konsisten menghasilkan dividen yang tinggi. Sebagai investor, kita harus bisa membedakan dividen jangka panjang dengan dividen yang hanya bersifat one-off.

Harga saham memang bisa naik dan turun, namun perlu diingat bahwa harga obligasi juga fluktuatif. Perbedaan di sini adalah saat memegang obligasi, meski harganya fluktuatif, kita tahu bahwa ketika maturity, uang yang kembali sesuai dengan nilai par obligasi tersebut.

Di sisi yang lain, apabila kita membeli saham undervalued, harga sahamnya bukan lagi ke nilai par, tapi bisa dijual jauh di atas nilai par. In simple terms, investor yang membeli saham undervalued dengan dividen tinggi tidak hanya mendapat keuntungan dari dividen, tetapi juga dari capital gain.

Saat perusahaan terus bertumbuh dan ekspansi, value sahamnya pun juga bertumbuh, sehingga semakin menguntungkan pemegang saham. Hal ini berbeda dengan obligasi yang secara real purchasing power: semakin lama, semakin mengecil, akibat dari adanya inflasi.

Kacamata yang digunakan oleh investor obligasi dapat kita pinjam saat memilih saham. Apabila kita ingin membeli saham dengan “ketenangan” yang dirasakan pemegang obligasi, hindari untuk terlalu fokus pada menebak-nebak capital gain dalam jangka pendek; melainkan anggap capital gain sebagai bonus saja karena capital gain pada dasarnya merupakan hal yang tidak bisa dikontrol.

Dengan begini, membeli saham bisa kita katakan sebagai membeli “obligasi super” yang mampu memberi “kupon” yang lebih tinggi dari obligasi negara. Sudah begitu, “kupon” yang kita terima bisa terus naik dalam jangka panjang dan kita pun masih memiliki margin of safety yang besar.

Melalui fokus pada kualitas bisnis dan kemampuannya menghasilkan dividen, kita bisa menjadi lebih tenang dan tidak perlu lagi pusing menebak hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Kita tidak perlu terlalu cemas di saat saham kita belum diapresiasi pasar karena kita masih mendapat uang tunggu.

Dividend Trap

Di pasar modal, banyak orang yang menggunakan istilah “dividend trap”. Kami merasa bahwa istilah ini hanya digunakan sebagai justifikasi spekulator yang membeli saham pada cum date dan kecewa karena harga sahamnya turun pada ex date.

Misalkan ada sebuah saham dengan value 2.000. Apabila saat ini saham tersebut ditawarkan dengan harga 1.000 serta mampu secara konsisten memberi laba 200 dan dividen 100 setiap tahun, kita tidak perlu menjadi jenius untuk tahu bahwa saham tersebut sedang murah.

Apabila kita memegang saham tersebut selama 4 tahun, kita mendapat total dividen sebesar 400. Masa iya setelah 4 tahun harga sahamnya turun dari 1.000 menjadi 600? Jika harga sahamnya hanya 600, saham tersebut ditawarkan dengan PE 3, padahal value perusahaannya sudah lebih besar dari 2.000, mengingat adanya laba ditahan yang memperbesar ekuitas atau net worth perusahaan.

Investor yang berpengalaman dan benar-benar memahami saham yang dibeli tidak akan menggunakan istilah “dividend trap”, karena justru mereka akan menikmati “dividend trap” ini.

Kesimpulan

Harga saham bukanlah hal yang bisa ditebak. Mr. Market sering kali menjadi terlalu pesimis atau terlalu optimis pada saham. Meskipun kita sudah membeli saham undervalued, Mr. Market belum tentu langsung mengapresiasi saham yang kita miliki.

“Markets can remain irrational longer than you can remain solvent.” – John Maynard Keynes

Oleh karena itu, dividen menjadi sangat penting. Meskipun saham kita belum diapresiasi pasar, paling tidak kita mendapat “uang tunggu” yang lebih besar dari kupon obligasi. Namun, pandangan ini tidak bisa ditelan serta merta. Bukan berarti kita langsung membuka stock screener dan membeli saham dengan dividend yield paling besar. Sebelum Anda melakukan hal tersebut, pastikan framework Anda sudah tepat dengan belajar di Free Onboarding Program THINK.

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read