Insights & Articles

Market Crash 2025, Kawan atau Lawan Investor?

id Wisdom January 10, 2025
At a Glance

Market Crash 2025 menjadi kekhawatiran besar banyak orang. Isu resesi, perang dagang, dan ketegangan geopolitik diramalkan akan semakin memburuk.

Investor harus mampu melihat kondisi ini secara komprehensif untuk memastikan investasi sahamnya bisa tetap menunjukkan kinerja baik. CEO THINK membuktikan bahwa seorang investor bisa menjadikan masa krisis sebagai kawan untuk meraup return yang tinggi.

Ada 3 mindset dan kebiasaan yang bisa diterapkan oleh seorang investor untuk menjadi kawan baik apabila kondisi market crash sungguh-sungguh terjadi.

Akhir-akhir ini, membaca berita yang beredar di berbagai media mungkin membuat kepala Anda pusing. Banyak berita menyiarkan isu potensi Market Crash di tahun 2025 ini. Resesi yang diawali dengan depresi besar-besaran mulai semakin terasa akan sungguh-sungguh terjadi. 

Tak hanya itu, Index US meninggi (S&P 500 naik 0.55% dan Nasdaq 1.24%), namun pertumbuhan GDP melambat. Trade war turut diprediksi semakin memanas antara Amerika Serikat dengan China. Ketegangan geopolitik antar-beberapa negara pun terlihat malah semakin menguat. 

Kondisi seperti ini pastinya membuat mayoritas orang khawatir, apakah pasar saham akan anjlok dan investor akan banyak merugi? Menanggapi hal itu, apa yang harus dilakukan investor? 

Apakah kita harus melikuidasi saham dan memperbanyak simpanan cash (seperti Warren Buffett yang menjual hampir setengah kepemilikan Apple dan Bank of America) untuk menunggu market crash pecah dan kemudian masuk mengincar saham-saham menarik? Atau sebaiknya kita mencicil beli saham yang sudah menarik dari sekarang?

Pengalaman nyata berinvestasi saat market crash

Membicarakan market crash sebenarnya bukan hal baru bagi THINK. Kami telah beberapa kali membahas soal fenomena ini, baik di artikel maupun dalam video Youtube.

Dalam artikel berjudul Investment Odyssey yang dituliskan oleh Sumadi Surianto, misalnya. CEO THINK menceritakan pengalaman perdananya berinvestasi. Beliau mulai berinvestasi saham di tahun 2014, sejalan waktunya mengerjakan skripsi. Belum setahun berinvestasi, Sumadi yang sudah bekerja di Astra harus menghadapi krisis China Slowdown di tahun 2015.

Tak hanya satu kali, Sumadi berinvestasi saham dalam kondisi krisis sampai tiga kali. Setelah di tahun 2015, Sumadi menghadapi mini crash tahun 2018 yang diakibatkan oleh trade war US dengan China. 

Dua tahun setelahnya, market crash muncul lagi akibat lockdown sebagai dampak dari pandemi COVID-19. Menurut Sumadi, crash satu ini merupakan krisis terbesar yang pernah Beliau hadapi, bahkan bisa jadi bagi dunia.

Menariknya, Sumadi malah memanen return tinggi dari ASII, UNTR, BBNI, WIIM, INKP, ITMG, dan MEDC dalam kondisi tersebut. Bagaimana bisa terjadi kontradiksi seperti ini? Kondisi krisis, namun investor malah meraup untung banyak.

Berkawan dengan market crash

Ketika market crash terjadi, insting investor cenderung mendeteksinya sebagai sebuah kondisi yang mengkhawatirkan. Orang kemudian bergerak untuk lebih banyak menyimpan dana cash karena merasa kurang yakin pada pasar modal. Muncul fear atau ketakutan bahwa return yang didapatkan akan tidak sesuai harapan, bahkan bisa jadi potensi ruginya lebih tinggi.

Padahal, Anda harus selalu ingat bahwa market crash itu tidak memiliki pola yang pasti. Analisis krisis adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Namun, jika Anda berpegang pada bisnis yang bagus, setelah krisis selesai, tentu pada akhirnya bisnis tersebut dapat membuktikan sendiri kemampuannya recovery

Jadi, memahami bisnis luar dalam menjadi kunci keyakinan atau conviction seorang investor.

Jika demikian, lalu bagaimana investor bisa berkawan dengan kondisi market crash ini?

1. tetap tenang dan berpikir rasional

Photo by Nandhu Kumar.

Ketika kondisi krisis, harga saham cenderung turun. Namun, turun naiknya harga saham tidak selalu sejalan dengan performa bisnis perusahaan terkait. Harga turun tidak berarti kinerja bisnis perusahaan tersebut buruk dan kondisi krisis menelan perusahaan tersebut. Begitu pula sebaliknya pada bisnis yang harga sahamnya naik, bukan artinya kinerjanya sangat bagus dalam menghadapi krisis.

*Anda bisa merujuk pada THINK Dex apabila ingin mendapatkan tambahan ide investasi. THINK Dex menampilkan analisis bisnis singkat atas saham-saham emiten yang sudah terkurasi dan dipandang sedang menarik serta prospektif.

Mini crash sebenarnya sudah mulai terjadi di tahun 2024, dengan IHSG berada pada level di bawah 7.000. Kondisi ini bahkan sudah terlihat dari awal tahun. Namun begitu, apakah kondisi ini akan terus berlangsung sampai tahun depan? Tentu tidak ada yang benar-benar mengetahuinya.

Hal terbaik yang dapat investor lakukan dalam menghadapi kondisi seperti ini adalah dengan tetap tenang memantau market. Fokus pada fundamental bisnisnya, bukan fluktuasi di market

Fokus terhadap bisnis pasti membantu investor mengarahkan perhatian sepenuhnya pada hal yang dapat dikontrol (controllable), seperti portofolio dan analisis bisnis; bukan pada hal yang tidak bisa dikontrol (uncontrollable), seperti naik turunnya harga saham. Ini adalah rasionalisasi dasar yang harus dibiasakan oleh seorang investor bijak.

Lakukanlah analisis bisnis terhadap saham yang menjadi incaran sehingga insting investor menjadi semakin peka dalam mengetahui kapan waktu yang tepat untuk membeli saham.

  1. ketahui dan pahami potensi/peluang di market

Photo by Suzy Hazelwood.


"The time to buy is when there's blood in the streets." - Baron Rothschild

Saat krisis, saham yang harganya anjlok sebenarnya memberikan peluang bagi investor untuk membeli saham dengan harga murah. Namun begitu, investor harus tetap perhatikan fokus pada faktor yang controllable, seperti manajemen portofolio, melakukan analisis bisnis untuk mengetahui valuasi sehingga Anda paham betul bahwa harga murah saham tersebut benar-benar diskon dengan Margin of Safety (MOS) yang tebal.

Setelah itu, beranikanlah untuk membeli saham perusahaan saat Anda sudah memiliki MOS yang tebal. Jangan lupa memastikan cash yang cukup sebagai buffer untuk membeli saham lagi saat market crash berikutnya. 

Jangan menunggu terlalu lama untuk membeli karena terlalu banyak pertimbangan, sebab hal itu membuat Anda sangat mungkin melewatkan waktu yang tepat untuk memasukkan penawaran dan memanfaatkan kesempatan yang bagus.

  1. sabar (patient) menunggu pasar menghargai saham yang Anda beli

Photo by Pixabay.

Setelah memiliki conviction dan memberanikan diri untuk membeli saham bagus saat market crash, ingat pada komitmen untuk tidak mudah terbawa narasi publik sangatlah penting. Jangan ikut-ikutan ketakutan (fear) atau malah aji mumpung (greedy) dengan all in membeli suatu saham tanpa bekal yang cukup. Tame down the emotion is a must!

Crash dan recovery adalah faktor unpredictable dan uncontrollable. Pastikan Anda sebagai investor mampu menjaga portofolio pada good business yang terbukti berkompeten survive dalam kondisi krisis. 

Selama tahu apa yang dibeli, meskipun harga sahamnya belum kunjung naik, Anda harus sabar sampai tiba waktu market menyadari valuasi sesungguhnya atas bisnis tersebut.

Pada akhirnya, cerdas dan bijak atau tidaknya seorang investor dapat dilihat dari segi mental dan kesabarannya. Berani all in berinvestasi bisa dilakukan asal didasari dengan fundamental pemahaman bisnis yang bagus dan menimbang key variables yang tepat.

Kondisi pasar saat ini mungkin terkesan masih tanggung. Namun, bisa dibilang sudah mulai menunjukkan waktu yang baik untuk masuk. Jika memang dapat harga yang benar murah, mengapa tidak mulai mengambil langkah?

Insights-insights yang Anda temukan pada artikel ini telah dijelaskan secara lengkap dan runtut dalam kurikulum yang bisa diakses apabila join dalam Full Program Membership THINK. Pelajaran tentang "Margin of Safety" misalnya, dapat Anda simak melalui THINK Tank berjudul "Timeless Investment Principles". Pemahaman mengenai Patience dan Portfolio Management juga sudah ada materinya sendiri.

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read