Insights & Articles

Keputusan Terbaik Samuel di Saham Sejak Tahun 2018

id Wisdom August 27, 2024
At a Glance

Bagaimana menjadi anak tunggal memotivasi saya untuk mulai mencari uang sejak SD. Saya berjualan kartu mainan di mall dan di sekolah agar tidak perlu meminta uang jajan lagi.

Tahun 2020 bertemu dengan THINK. Saya bisa yakin bergabung di komunitas THINK karena mereka mengajarkan cara yang terbukti berhasil.

Bergabung di THINK ternyata menjadi keputusan terbaik karena mempercepat proses belajar minimal 10x lipat. Saya bahkan bisa memahami betul cara analisis bisnis yang tepat sampai membawa saya menjadi Head of Analyst di THINK.

Dilahirkan sebagai seorang anak tunggal merupakan hal yang sangat menakutkan. Takut kalau suatu hari saya yang harus menjadi tulang punggung di saat kedua orang tua pensiun. Takut bila dikemudian hari saya harus menanggung orang tua yang sakit. Takut jika suatu hari kedua orang tua saya meninggal, saya harus bisa berdiri dengan kedua kaki saya sendiri.

Rasa ketakutan itulah yang sudah menghantui saya sejak di bangku SD. Mungkin karena dari muda sudah sering diberikan atau mungkin "ditakut-takuti" oleh seminar motivasi.

 

Maka dari itu, satu-satunya pilihan yang tersedia adalah harus tangguh dan menjadikan ketakutan tersebut sebagai sumber motivasi.

Berjualan kartu mainan saat SD

Gebrakan pertama dimulai saat kelas 6 SD, saya mulai berjualan kartu permainan Vanguard. Masa itu memang card game asal Jepang sedang naik daun karena produsen kartu juga rutin menayangkan versi kartunnya di TV untuk meningkatkan pamor. 

Meskipun terkadang lelah, tetapi perasaan bisa menghasilkan uang sendiri tanpa meminta uang jajan sangat luar biasa. Setiap weekend, saya mengeluarkan Rp2.000 untuk naik angkot ke mall dan nongkrong sepanjang hari di toko kartu untuk bermain sembari berjualan.

Sedangkan setiap weekdays, saya akan berjualan kartu di sekolah sembari menagih utang ke teman-teman yang sudah membeli, tetapi belum bayar karena menunggu uang jajannya cair. Uang yang saya hasilkan tidak dipakai, melainkan mayoritas ditabung. 

Sayangnya saat jaman SMP, card game mulai turun pamor karena munculnya mobile game di handphone. Saya pun mengurungkan niat berjualan dan mulai fokus belajar. Memang bisa dikatakan saya cukup mengorbankan nilai sekolah saat SD.

Mungkin saat SMP saya baru berpikir, kalau nilai pelajaran yang bagus akan membantu saya di kemudian hari untuk bisa menghasilkan uang dan menjadi independen.

Berkenalan dengan saham di SMA

Barulah di bangku SMA saya terekspos dengan saham. Saya ikut berbagai kursus saham karena saat itu saya mulai sadar investasi saham bisa menghasilkan. Apalagi ditambah menonton dokumentasi kehidupan Warren Buffett, salah satu orang terkaya di dunia yang sukses dari saham.

Ini membuat saya semakin terpacu

Pemikiran tersebut tidak salah. Saham pertama yang saya beli setelah ikut kursus saham adalah PT Indorama Synthetics Tbk (INDR). Analisanya pun masih salah-salah, hanya menggunakan rasio-rasio shortcut seperti PER, ROE, PBV.

Ajaibnya dalam waktu sekitar 1 bulan, harga saham INDR naik dari Rp2.000 hingga Rp10.000 per lembar. Hal tersebut jelas membuat saya semakin giat berkutik di dunia saham.

Hanya saja pola pikir dan framework analisa saham saya ketika itu masih salah total. Saat itu hanya saham INDR yang mencetak untung sangat signifikan. Saham yang lain hanya mencetak untung-untung tipis, beberapa bahkan mencetak kerugian.

Saat itulah saya menyadari bahwa keuntungan yang saya dapatkan dari saham INDR hasil hoki saja. Apabila framework investasi saham saya tidak diperbaiki, maka karir saya menjadi investor saham tidak akan panjang.

Di sinilah saya mendapat pelajaran bahwa kalau ingin maju, kita harus berani mengakui kesalahan dan belajar agar menjadi lebih baik.

Sayangnya di masa itu saya belum berhasil menemukan sumber yang bisa mengajarkan framework investasi saham secara tepat dan sangat terstruktur seperti di THINK. Terpaksa saya belajar sambil trial-error, membuat kesalahan-kesalahan bodoh sepanjang berinvestasi saham.

Apabila saya sudah menemukan THINK dari 2018, mungkin perjalanan investasi saya bisa 10x lebih cepat. 

Maju ke tahun 2020, era ketika saya pertama kali mendengar yang namanya THINK. Meskipun saat itu belum launching, tetapi para founders sempat rutin memberikan sharing gratis di Instagram.

Materi gratis itulah yang saya pakai untuk mulai melengkapi framework investasi saham saya yang masih bolong. Luar biasanya, setelah ilmu THINK dipraktikkan, proses berpikir, analisis, hingga kinerja portofolio saya mengalami perbaikan.

Ketika THINK buka membership pertengahan tahun 2021, saya langsung daftar tanpa berpikir panjang. Pemikiran sederhana saya saat itu, kalau sharing gratis saja sudah bisa membuat portofolio saya tambah baik, apalagi kalau saya bergabung ke komunitasnya dan belajar dari investor yang lebih senior. 

Mungkin ada yang mengatakan bahwa harga berlangganan THINK mahal. Saya setuju kalau secara nominal, Rp15 juta saat itu merupakan komitmen finansial yang besar, apalagi dibandingkan portofolio saya. Tetapi bagi saya, ada yang lebih mahal dari biaya membership THINK, yaitu waktu.

Kalau saya harus trial-error, mungkin dalam 10 tahun pun saya tidak bisa mencapai level senior-senior di THINK. Kalau saya belajar satu tahun dengan cara yang benar dan portofolio saya naik 20% sampai 30% saja, itu sudah akan lebih dari cukup untuk menutupi biaya membership THINK sampai beberapa tahun ke depan.

Feeling saya benar, di tahun pertama menjadi member, saya langsung menyadari THINK itu berbeda dari komunitas saham lainnya. Materi THINK paling mirip dengan yang diajarkan Warren Buffett, investor saham tersukses di dunia.

Materinya juga diajarkan oleh investor yang betul-betul walk the talk. Mereka betul-betul sukses karena hasil investasi saham, bukan jualan kelas saham. Tidak heran kalau materi THINK disusun sangat terstruktur, sampai orang yang pemahamannya masih nol pun bisa menjadi investor (termasuk saya).

Memang ikut belajar di THINK tidak berarti kita langsung menjadi pintar. Saya sendiri di tahun-tahun awal sering bingung. Mungkin karena materi THINK sebegitu dalam, ditambah otak saya yang rada lemot. Bahkan kalau ditanya ke semua member THINK, rasanya hampir 90% setuju kalau waktu pertama gabung di THINK, pasti banyak kebingungan.

Makanya di komunitas selalu banyak pertanyaan. Untungnya tim THINK sangat mengayomi semua pertanyaan baik di grup Telegram ataupun di acara diskusi bulanan mereka.

Keputusan terbaik

Kalau pembaca tanya, apa keputusan terbaik saya di saham sejak 2018?

Jawabannya bukan saham yang pernah memberi saya keuntungan signifikan seperti INDR, ADHI, UNTR, BSSR, atau WIIM. Tetapi bergabung di komunitas THINK yang telah mengajari saya cara menjadi investor saham dari nol, dan telah menjadi bagian dari perjalanan saya sebagai investor saham selama tiga tahun terakhir.

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih untuk THINK karena sudah mendampingi hampir setengah perjalanan investasi saya, dan membuat saya semakin pintar. Harapan saya untuk THINK, ke depannya bisa menjadi manfaat bagi lebih banyak orang.

Harapan saya untuk teman-teman sesama member THINK juga bisa semakin maju dalam investasi saham.

Untuk perjalanan saya dari awalnya seorang member sampai hari menjadi Head of Analyst THINK akan saya tulis di lain waktu.

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read