Li Lu merupakan salah satu investor yang menarik untuk dipelajari. Dia adalah sosok yang berangkat dari belajar secara tidak sengaja dari Warren Buffett, hingga akhirnya membangun firma investasi sendiri yaitu Himalaya Capital. Dia juga menjadi salah satu dari sedikit orang yang dipercaya mendiang Charlie Munger untuk mengelola uangnya.
Charlie Munger pun banyak belajar tentang beragam bisnis di China dari Li Lu, salah satunya adalah BYD yang memberikan return hingga lebih dari 35x lipat bagi Berkshire Hathaway.
Saat ini portofolio Himalaya Capital yang dipimpin Li Lu tercatat senilai $2,5 miliar, atau setara kurang lebih Rp 39 triliun. Dalam insight kali ini, saya mencoba pelajari lebih lanjut perjalanan investasi awal Li Lu sebelum menjadi sebesar sekarang.
Tahun 2006, Li Lu menjadi dosen tamu di kelas Value Investing Columbia Business School. Di situ ia menceritakan filosofi investasinya dan proses salah satu success story-nya ketika mengambil peluang di tengah kepanikan krisis finansial Asia tahun 1998.
Memanfaatkan data dan arsip
Pada tahun 90an, tepatnya sejak berkuliah di Columbia Business School, Li Lu rutin membaca majalah atau publikasi, salah satu adalah Value Line. Value Line berisi ringkasan data-data perusahaan yang terdaftar di bursa. Dia bercerita bahwa ia sangat sering membaca Value Line dari halaman depan sampai akhir berkali-kali.
Li Lu menyarankan untuk membiasakan diri membaca dan memperluas ensiklopedia bisnis sebagai investor. Dia melakukan filtering awal dari sisi kuantitatif. Dari majalah Value Line, Li Lu berujar bahwa dia biasa mengawali dengan membaca saham-saham perusahaan yang berada di valuasi relatif rendah.
Filtering awal cukup sederhana yaitu dengan melihat P/E di sekitar 5 dan saat itu sedang diperdagangkan di sekitar P/B 1.
Namun, dia tidak hanya melihat dari rasio saja. Pada bulan Juli atau Agustus 1998, Li Lu tertarik pada satu perusahaan yaitu Timberland. Dia pun lanjut dengan mencoba memahami asset structure dari bisnis yang dia lihat itu.
Dalam data di Value Line, nilai aset Timberland saat itu sebesar kurang lebih $380 juta. Dari nilai itu, kurang lebih $200 juta adalah current asset dengan komposisi cash sekitar $100 juta. Lalu, fixed asset sekitar $100 juta berupa bangunan dan real estate. Komposisi utang juga relatif kecil di sekitar 30% dari ekuitas.
Kemudian di sisi sales, sales Timberland di full year 1997 mencatatkan sales mendekati $800 juta, tumbuh 2x lipat dari $400 juta di 1993. Pada periode yang sama, ROE Timberland bertumbuh dari 17,5% ke 22%. Li Lu mencoba melihat lebih detail operating margin Timberland yang saat itu sekitar 12% atau senilai kurang lebih $100 juta.
Kemudian, Dia menghitung modal atau kapital tanpa uutang yang dijalankan dalam bisnis Timberland. Li Lu mengambil angka di luar cash, yaitu sebesar kurang lebih $280 juta. Dengan profit sebesar $100 juta, berarti return on capital atau ROC-nya mencapai 35%.
Dari data-data awal inilah, Li Lu menilai Timberland layak dianalisis lebih lanjut.
Bisa jadi, ini adalah wonderful business.
Menjadi jurnalis
Setelah screening awal, hal yang paling penting bagi investor adalah rasa penasaran. Curiosity. Li Lu menyebutkan bahwa investor harus menjadi investigative journalist .
"You have to spend time to be a researcher and investigative journalist with an insatiable curiosity. The more you know, and the deeper your knowledge, the better you will be as an investor."
– Li Lu –
Li Lu mencoba mempelajari ke mana saja Timberland melakukan penjualan. Saat itu ternyata penjualan Timberland masih didominasi pasar domestik dengan kontribusi 72%, sedangkan pasar internasional 27%. Spesifik untuk pasar Asia bahkan hanya di 10%. Li Lu berpendapat bahwa penjualan di Asia belum terlalu signifikan sehingga harga yang banyak turun di 1998 merupakan contoh market yang irasional.
Proses investigasi Li Lu tidak berhenti di situ. Li Lu menghabiskan banyak waktu untuk lebih mengenal owner dan memahami ownership structure dari Timberland. Pada saat itu, kepemilikan Timberland didominasi oleh keluarga Swartz yang memiliki 40% ownership.
Keluarga Swartz merupakan imigran dari Eropa Timur sebelum Perang Dunia pertama. Nathan Swartz, sang founder, mengawali bisnis sepatu sudah sejak tahun 1952 dengan membeli 50% kepemilikan Abington Shoe Company. Nathan Swartz pensiun di tahun 1968 dan bisnis terus dilanjutkan oleh anaknya, Sidney Swartz.
Sejak saat itu keluarga Swartz menguasai voting rights sebesar 98% dan kemudian mengubah nama perusahaan dan brand menjadi Timberland mulai tahun 1973.
Kepemilikan keluarga yang dominan memancing Li Lu untuk bertanya:
- Apakah manajemennya jujur?
- Apakah manajemennya mengelola bisnis dengan baik dan membagi keuntungan untuk investor?
Saat itu, Timberland juga banyak dijauhi analis karena mereka banyak menerima tuntutan hukum dari public shareholders. Li Lu mempelajari tuntutan-tuntutan itu dan menyadari bahwa itu hanyalah tuntutan dari investor ritel yang mempermasalahkan earnings Timberland di tahun-tahun sebelumnya yang tidak memenuhi ekspektasi.
Li Lu berpendapat bahwa tuntutan-tuntutan itu bukanlah masalah besar dan ia malah memilih untuk pergi ke Massachusetts di mana keluarga Swartz tinggal. Li Lu tidak langsung mencari keluarga Swartz, tetapi mencoba mencari informasi dari tempat ibadah dan lingkungan tersebut.
Dari beberapa minggu di Massachusetts, Li Lu mendapati bahwa Nathan Swartz adalah seorang lulusan SMA dan saat itu lebih sibuk dengan aktivitas filantropis di tempat ibadah. Cucunya yang ternyata merupakan lulusan business school menjadi COO dari Timberland. Kemudian, Li Lu akhirnya mengenal COO Timberland saat itu yaitu Jeff Swartz dan berhasil menjalin pertemanan.
Dari hubungan itu, Li Lu jadi lebih paham bagaimana keluarga Swartz menjalankan perusahaan dengan integritas yang baik dan berbisnis dengan jujur.
Selain itu, Li Lu juga iseng mampir ke beberapa stores Timberland dan mendapat insight bahwa anak-anak muda mulai menganggap sepatu boots Timberland keren dan berpotensi menjadi tren fashion baru. Beberapa store managers berbagi informasi bahwa mereka sering kehabisan stok barang.
Dalam proses investigatif tersebut, Li Lu tetap mencoba memeriksa kembali numbers dari Timberland dan mengurangi bias. Market cap Timberland belum ke mana-mana karena masih dalam situasi kepanikan financial crash Asia. Timberland masih diperdagangkan dengan P/E sekitar 5-6x, P/B sekitar 1x, dengan margin yang bertumbuh positif.
Dengan market Asia yang berkontribusi baru sekitar 10% sales, Li Lu menghitung kira-kira dari sisi earning hanya akan miss 5% jika market Asia belum pulih.
Swing big
Li Lu kemudian mengambil keputusan bahwa saat itu Timberland salah harga. Jadilah dia mengalokasikan hingga 20% portofolionya di Timberland.
Tidak berapa lama setelah Li Lu membeli saham Timberland, Jeff Swartz diangkat menjadi CEO mendekati akhir 1998 dan membawa nafas baru ke perusahaan. Jeff Swartz lebih komunikatif ke Wall Street dan mampu memimpin pertumbuhan Timberland dengan baik. Namun, di awal-awal Jeff Swartz terbuka ke analyst meeting, hanya Li Lu dan 1 analis lain yang hadir.
Sementara itu, earnings Timberland bertumbuh hingga 30% per tahun di tahun-tahun berikutnya. Harga saham pun mengikuti kenaikan earnings tersebut. Dalam dua tahun, investasi Li Lu bertumbuh multibagger hingga 700%!
Di awal tahun 2000-an, semakin banyak analis yang menghadiri analyst meeting bersama CEO Timberland. Pada saat itulah Li Lu yakin sudah saatnya untuk menjual seluruh sahamnya di Timberland. Walaupun nilai P/E tertinggi Timberland saat dia menjual tidak disebutkan secara spesifik, Li Lu bercerita bahwa saham Timberland tidak pernah melebihi P/E 15. Kenaikan harga sahamnya memang didorong lebih banyak dari earnings growth, bukan hanya P/E multiple expansion.
Dari kisah sukses investasi Li Lu di Timberland, saya menyadari bahwa framework yang diajarkan THINK memang timeless.
Li Lu menghabiskan waktu memakai topi detektif, atau dalam istilah Li Lu: menjadi investigative journalist. Topi detektif itu ia pakai untuk lebih mengenal owner bisnis dan bagaimana proses bisnis bekerja (Purchase, Process, Distribute).
Li Lu juga banyak menekankan bahwa filosofi investasinya yang terutama adalah melihat saham sebagai kepemilikan bisnis. Setelah topi detektif dipakai, Li Lu memakai topi lawyer terutama untuk menilai karakter owner serta karakter bisnis. Ketika memakai topi judge, Li Lu tidak menghabiskan banyak waktu untuk melakukan valuasi dan berusaha untuk tidak bias.
Jika hasil valuasi sudah diyakini murah dengan margin of safety, penting untuk memiliki courage atau keberanian untuk berinvestasi dalam jumlah yang serius.
"Buying cheap is important and when you do, you sit on your ass and don’t do something stupid. A good business will take care of itself and your money will grow with the strength of the company."
– Li Lu –
Namun, jika tesis sudah tepat dan saham sudah diapresiasi pasar jauh di atas harga wajar, tidak ada salahnya untuk keluar dari saham tersebut. Sebagai investor, kita bisa kembali lagi ke arsip atau archive kita dan mencari opportunity lain yang lebih low risk-high return.
Gambar 1: Timberland di Value Line/Sumber: Value Line melalui Snowballinvesting.co.
Kalau Li Lu pakai Value Line, teman-teman member THINK bisa pakai THINK Almanack untuk hunting saham murah di Indonesia :)