Insights & Articles

Indomie vs Mie Gaga

id Investment October 31, 2024
At a Glance

Krisis pasokan beras pada era 1960an adalah awal mula dari perubahan pola makan masyarakat Indonesia menjadi lebih terbuka terhadap gandum.

Salim bergabung dengan Djajadi dalam sebuah joint venture bernama PT Indofood Interna.

Setelah lengsernya Presiden Soeharto, Djajadi menggugat Salim karena “merampas” Indomie secara tidak adil. Namun, gugatannya tidak berhasil.

Siapa sih yang tidak pernah makan Indomie? Pada 2023, masyarakat Indonesia telah mengonsumsi sebanyak 14,54 miliar porsi mi instan. Secara rata-rata, setiap orang mengonsumsi 52 bungkus mi instan setiap tahunnya (setara dengan 1 bungkus setiap minggu).

Pasar mi instan di Indonesia didominasi oleh 2 grup, yakni Grup Indofood dan Grup Wings. Grup Indofood yang memiliki merek Indomie, Supermi, Sarimi, dan Pop Mi, menguasai pangsa pasar lebih dari 70%, sedangkan Mie Sedaap yang dimiliki Grup Wings memegang pangsa pasar sekitar 16%.

Di luar dua grup ini, terdapat sebuah merek kecil dengan pangsa pasar sekitar 2% yang belakangan sempat menjadi sorotan publik karena viralnya sebuah video di media sosial yang seolah membongkar sebuah fakta tersembunyi. Merek ini adalah Mie Gaga yang didirikan oleh Djajadi Djaja.

Membicarakan peta persaingan mi instan di Indonesia sebenarnya merupakan sebuah kisah yang telah dimulai dari era Orde Baru. Bagaimana sih kisah persaingan mi instan di Indonesia?

Awal Mula Mi Instan

*Sebelum memulai, artikel ini membahas perjalanan Liem Sioe Liong, atau yang dikenal sebagai Sudono Salim. Artikel ini banyak mengutip cerita dari buku “Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto” yang ditulis oleh Richard Borsuk dan Nancy Chng. Buku ini menceritakan perjalanan Liem Sioe Liong secara mendalam dan berisi banyak informasi yang tidak ditemukan di sumber lain.

Pada pertengahan 1960an, Indonesia sedang krisis pasokan beras. Supply makanan yang tidak cukup ini mendorong inflasi mencapai 500%. Amerika Serikat, yang saat itu dipimpin Presiden Lyndon Johnson, memberi donasi beras kepada Indonesia. Namun karena Indonesia sangat tergantung dengan beras, Presiden Soeharto menginginkan lebih.

Saat itu, Amerika ingin menawarkan gandum karena negara itu memiliki gandum yang melimpah. Sementara itu, Indonesia membutuhkan beras sebanyak-banyaknya. Demi memenuhi kebutuhan makanan pokok rakyat, Soeharto akhirnya tertarik dengan gandum dan beliau berharap dapat mengubah pola makan masyarakat Indonesia. Presiden Soeharto ingin agar roti dapat menggantikan nasi, setidaknya sebagai menu sarapan.

Produksi mi instan lokal dimulai pada tahun 1968, yakni saat sebuah perusahaan bernama Lima Satu Sankyu memulai produksi “Supermi”.

Dua tahun setelahnya, seorang pengusaha dari Medan bernama Djajadi Djaja membangun PT Sanmaru Food Manufacturing dengan merk “Indomie”. Sanmaru berhasil mengirimkan produknya ke berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, dan beberapa negara di Eropa, Australia, dan Amerika.

Sembilan tahun setelahnya, Salim mendirikan PT Sarimi Asli Jaya dengan produk “Sarimi”. Masuknya Salim ke industri mi instan sehubungan dengan kelangkaan beras di akhir 1970an. Salim masuk secara agresif; beliau memesan 20 lini produksi dengan total kapasitas tahunan sebanyak 2 miliar paket.

Rencana ini tidak sesuai harapan. Produksi beras di Indonesia membaik hingga pasokan dalam negeri cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pemerintah tidak lagi ingin membeli mi instan. Sebagian dari lini produksi Salim telah beroperasi, dan beliau tidak bisa membatalkan pesanan untuk sisanya.

Salim mendatangi Djajadi dengan harapan mereka dapat membuat sebuah kesepakatan, sebab Djajadi adalah pelanggan Salim untuk tepung (Bogasari), sedangkan Salim memiliki lini produksi berlebih.

Ketika itu, Djajadi tidak menginginkan lini produksi Salim. Alhasil, Salim memulai perang harga dengan menjual produknya di bawah Indomie. Dalam setahun, Salim mendapat pangsa pasar 40%. 

Salim mendatangi Djajadi untuk kedua kalinya. Kali ini, Djajadi menyadari apabila dia tidak bergabung dengan Salim, akan timbul perang yang lama. Karena itulah, Djajadi menyerah. 

Pada 1984, mereka membuat sebuah joint venture dengan nama PT Indofood Interna. Djajadi memegang 57,5% dan Salim 42,5%. Dalam dua tahun, perusahaannya cukup kuat untuk mengakuisisi Supermi.

Perlahan tapi pasti, kontrol PT Indofood Interna dari Djajadi bergeser ke Grup Salim melalui kenaikan modal. 

 

"Karena mereka bertikai sendiri dan akhirnya kami mendapatkan mayoritas... Ada lima atau enam orang dalam kemitraan mereka dan mereka tidak akur... Bola jatuh berserakan dan kami memungut keping-kepingannya," tutur Anthony Salim soal perubahan kelola PT Indofood Interna.

 

Sejak saat itu, Salim berhasil menguasai Indomie dan memasukkannya ke PT Indofood Sukses Makmur (INDF) pada 1994. Djajadi diam dan memutuskan untuk tidak melawan Salim, sosok yang saat itu dekat dengan penguasa.

Usaha merebut kembali Indomie

Barulah setelah Soeharto lengser, Djajadi buka suara dan menuntut Salim. Djajadi mengaku terpaksa menjual perusahaan dan 11 merknya, seperti Indomie dan Chiki, kepada PT Indofood Interna Corp. dengan harga hanya Rp30.000. Salim diduga menambah saham beredar dari 400 menjadi 8.000 dan modal disetor dari Rp50 juta menjadi Rp1 miliar.

Djajadi menggugat Indofood pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan menuntut ganti rugi Rp620 miliar. Namun, PN Jakarta Selatan menolak gugatan ini. Djajadi pun membawanya ke Mahkamah Agung.

Saat proses pengadilan sedang berjalan, CEO Indofood waktu itu, Eva Riyanti Hutapea, berkata bahwa pada 1994 sebelum IPO, Indofood mengumumkan di media bahwa siapa pun yang memiliki masalah dengan Indofood, sebaiknya datang dan menyelesaikan masalahnya. Kata Eva, saat itu tidak ada yang datang sehingga menurutnya tidak ada masalah.

Permintaan Djajadi untuk judicial review ditolak pada Januari 2006. Karena itu, Djajadi menyerah. Salim tetap memproduksi Indomie dan terus mendominasi pasar mi instan di Indonesia. Djajadi masih memproduksi mi instan melalui PT Jakarana Tama dengan merk Mie Gaga.

Berdasarkan harga Klik Indomaret, Mie Gaga Instant 75 gr dijual dengan harga Rp3.100 dan Mie Gaga Goreng 85 gr dijual dengan harga Rp3.300. Di sisi lain, Indomie Goreng 80 gr dapat dibeli di Indomaret dengan harga Rp3.100. Dengan harga yang sama, Indomie Goreng memiliki massa sedikit lebih besar.


Indomie dan Mie Gaga memiliki nasib yang berbeda 180 derajat. Grup Indofood adalah market leader dengan pangsa pasar lebih dari 70%. Di sisi lain, Mie Gaga hanya mencicipi sekitar 2% dari pangsa pasar mi instan di Indonesia.

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read