Insights & Articles

ICBP Post Pinehill Acquisition - Update untuk Indofood CBP

id Investment August 21, 2024
At a Glance

ICBP mengakuisisi Pinehill pada tahun 2020 untuk menggarap pasar internasional yang sedang bertumbuh pesat. Pinehill memiliki pabrik Indomie dan jalur distribusi yang tersebar di negara-negara Afrika dan Timur Tengah.

Setelah proses akuisisi, laba Inti ICBP yang meningkat 59% selama periode 2020-2023 nyatanya masih ditopang oleh bisnis non Pinehill.

Kinerja Pinehill bertumbuh pesat pasca akuisisi, namun masih overshadowed oleh kenaikan beban bunga USD akibat pelemahan rupiah dan krisis mata uang Nigeria.

Rutinitas seorang investor adalah mencari peluang di pasar saham. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara menganalisa banyak perusahaan dan membangun "arsip investasi" atau di THINK kerap disebut circle of competence.

Permasalahannya adalah bisnis/perusahaan sifatnya terus berkembang, sehingga terkadang arsip yang telah dibangun harus di-update agar tetap relevan. Menurut kami, seorang investor minimal harus memperbarui arsip setiap 6 - 12 bulan.

Untuk memperbarui arsip tersebut, apa yang harus dilakukan?

Pertama, seorang investor bisa mulai mengikuti dan meng-update kinerja perusahaan dengan menggunakan laporan keuangan kuartal terbaru. Setelah itu, investor harus bisa memahami alasan di balik angka pada laporan keuangan. Dengan begitu, barulah investor bisa menentukan seberapa menarik saham perusahaan tersebut di harga saat ini.

Sebagai contoh, ketika sedang meng-update kinerja suatu perusahaan, seorang investor menyadari bahwa laba perusahaan sudah meningkat 2x lipat dibandingkan saat terakhir analisa. Dari kondisi itu, investor tersebut harus bisa memahami faktor apa yang menyebabkan hal itu terjadi.

Dalam tulisan kali ini, kami menggunakan Indofood CBP sebagai studi kasus. Indofood CBP sendiri sempat kami analisa di THINK Case - ICBP pada bulan September tahun 2021. Sudah 3 tahun sejak THINK Case - ICBP terbit hingga saat penulisan artikel ini (Agustus 2024). Tentunya selama waktu tersebut berjalan, telah terjadi beberapa perubahan pada bisnis ICBP.

Oleh karena itu, jelas sudah waktunya THINK untuk meng-update analisis Indofood CBP dan meng-highlight beberapa perubahan yang sudah terjadi. Member THINK kami sarankan untuk membaca artikel ini setelah menonton THINK Case - ICBP dulu ya!

Sekilas tentang ICBP

Bagi pembaca non-member, saya akan berikan gambaran ringkas tentang Indofood CBP. Indofood CBP merupakan bagian dari Indofood Group (milik Anthoni Salim), salah satu perusahaan consumer goods terbesar di Indonesia yang juga membawahi produksi tepung Bogasari dan minyak goreng Bimoli.

Indofood CBP sendiri berfokus pada produksi makanan dan minuman konsumer dengan beberapa lini seperti:

1) mie instan dengan merek Indomie, Supermi, dan Sarimi
2) susu merek Indomilk
3) makanan ringan, seperti merek Chitato dan Qtela
4) bumbu resep merek Indofood, dan masih ada beberapa lini bisnis lainnya. 

Selama tahun 2023 lalu, ICBP berhasil mencetak pendapatan sebesar Rp68 triliun dengan laba inti sebesar Rp9,3 triliun. Segmen mie instan merupakan kontributor utama laba inti dengan bobot sekitar 88%. Selama 2023 itu, ICBP menjual sekitar 21,7 miliar bungkus mie instan atau menguasai sekitar 18% pangsa pasar dunia.

Saat THINK Case - ICBP ditulis tahun 2021, laba inti perusahaan di tahun 2020 baru mencapai Rp5,8 triliun. Selang 3 tahun, laba inti ICBP sudah meningkat 59% menjadi Rp9,3 triliun. Alasan peningkatan laba ini dapat dilihat dari dua sumber utama yaitu penjualan dalam negeri dan penjualan di Afrika dan Timur Tengah melalui anak perusahaannya, Pinehill Corpora.

Agar kita bisa memahami siapa itu Pinehill dan mengapa kontribusi labanya bisa signifikan, saya harus ajak pembaca kembali ke kondisi Indofood CBP tahun 2019-2020 sebelum terjadi akuisisi Pinehill.

Sepanjang tahun 2010 hingga 2019, pendapatan Indofood CBP bertumbuh setiap tahun dengan rata-rata 10%, sedangkan laba inti bertumbuh dengan rata-rata 13,1% di periode yang sama. Namun, konsumsi mie instan Indonesia saat itu sudah tinggi dengan rata-rata konsumsi orang Indonesia 46 bungkus per tahun atau sekitar 1 bungkus setiap minggu.

Indofood CBP perlu menjangkau pasar baru untuk mendorong pertumbuhan. Masalahnya hingga tahun 2019, Indofood CBP fokus untuk berjualan di Indonesia, sementara porsi yang dijual ke mancanegara masih sangat kecil (11% dari penjualan).

Akuisisi Pinehill Corpora

Di sini masuklah Pinehill. Pinehill memiliki pabrik mie instan merek Indomie beserta jalur distribusi yang tersebar di negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Indofood melihat peluang di negara-negara Pinehill karena beberapa alasan. Pertama konsumsi mie instan di Afrika dan Timur Tengah masih rendah dengan rata-rata konsumsi mie instan 6,3 bungkus/tahun/orang di tahun 2019.

Namun begitu, tingkat konsumsi rendah tidak dapat diremehkan karena pertumbuhan konsumsi mie instan di negara Pinehill pada periode 2013-2019 rata-rata 5% per tahun. Padahal konsumsi rata-rata Indonesia di periode yang sama berkurang 3,3% per tahun. 

Kedua, populasi Afrika dan Timur Tengah juga jauh lebih besar dari Indonesia. Pembaca dapat membayangkan jika bisnis Indofood CBP saat itu masih mengandalkan Indonesia dan bagaimana jadinya jika mereka menggarap pasar Pinehill dengan populasi 885 juta penduduk atau 2,3x lebih besar dibandingkan penduduk Indonesia. 

Ketiga, menurut estimasi manajemen, jika Pinehill digabung kedalam Indofood CBP maka laba perusahaan ke depannya dapat meningkat hingga 20% per tahun. Manajemen beranggapan bahwa konsumsi mie instan di negara Pinehill masih bisa ditingkatkan dengan bantuan Indofood CBP yang terbukti berhasil meningkatkan konsumsi mie instan di Indonesia begitu pesat dari 4 bungkus per hari di tahun 1998. Maka dari itu, mengakuisisi saham di Pinehill Company menjadi cara cepat menggarap peluang ini. 

Seorang investor harus memiliki sikap realistis. Harapan manajemen ketika Pinehill digabung ke dalam Indofood CBP dapat berpengaruh besar kepada laba perusahaan. Maka dari itu kita harus melihat fakta untuk kemudian mampu menilai apakah akuisisi berhasil atau gagal.

Dua pertanyaan yang menurut kami perlu dijawab adalah

1) apakah valuasi saat akuisisi dilakukan dengan harga wajar?
2) bagaimana kinerja aktual perusahaan pasca akuisisi?

Bagaimana seorang investor mendapatkan jawaban terkait mahal atau murahnya valuasi saat akuisisi, maka dibutuhkan estimasi Break Even Period (BEP) perusahaan yang dibeli. Cara estimasi BEP bisa dilakukan dengan membandingkan dua informasi, yaitu harga akuisisi perusahaan dan potensi laba yang dapat dicetak perusahaan yang diakuisisi. Konsep BEP sendiri secara lengkap sudah kami jelaskan di materi THINK Tank - Timeless Valuation. 

Seperti yang telah kami bahas pada THINK Case - ICBP, valuasi yang dibayar Indofood CBP untuk Pinehill dengan estimasi BEP 23 tahun tidak bisa dikatakan murah. Tetapi untungnya, Indofood CBP berhasil mendapatkan pendanaan dengan murah senilai $2,75 miliar dengan bunga tetap sebesar 3,9% atau setara $108 juta per tahun.

Jika betul ke depannya Pinehill berhasil mencetak laba Rp1,8 triliun (asumsi kurs saat itu Rp14.000 = $1) sesuai estimasi manajemen, sedangkan beban bunga hanya Rp1,5 triliun per tahun, maka dapat dikatakan pembelian Pinehill ini hampir gratis! Selain itu, jika laba Pinehill meningkat, maka Indofood CBP dapat menikmati laba yang lebih besar karena beban bunga yang perlu dibayar setiap tahunnya sama. 

Sebagai catatan tambahan, Kellogg, manufaktur consumer goods asal Amerika yang memproduksi keripik kentang merek Pringles mengakuisisi sebagian saham Dufil di tahun 2018. Dufil sendiri merupakan salah satu anak perusahaan Pinehill yang memproduksi Indomie, khususnya di Nigeria.

Saat akuisisi, Kellogg mengeluarkan dana senilai $381 juta untuk memperoleh 24.5% saham Dufil (atau valuasi 100% senilai $1.55 miliar). Pada tahun yang sama, Dufil berhasil mencetak laba $37 juta. Itu mengartikan bahwa Kellogg mengakuisisi Dufil dengan estimasi BEP 42 tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan valuasi Pinehill yang diakuisisi Indofood CBP.

Kontribusi Pinehill untuk ICBP

Kita masuk ke pembahasan kedua, yaitu berapa kontribusi laba yang sebenarnya dihasilkan Pinehill untuk Indofood CBP. Untuk itu kami coba bedah laporan keuangan Indofood CBP dan laporan keuangan Pinehill. 

Tabel 1: Data keuangan Pinehill sebelum dan sesudah akuisisi ICBP.
Sumber: Olahan tim THINK dari Laporan Keuangan.

Terdapat 2 poin utama yang perlu dibahas terkait kinerja keuangan Pinehill pasca akuisisi. 1) Dari tahun 2019 hingga 2023, pendapatan Pinehill sudah tumbuh 122%, sedangkan laba pemegang saham Pinehill tumbuh lebih tinggi yakni 213% dari Rp600 miliar menjadi Rp1,9 triliun. 2) Laba yang dihasilkan Pinehill untuk Indofood CBP melebihi beban bunga pinjaman untuk akuisisi yang berarti betul tesis di awal, bahwa akuisisi Pinehill hampir gratis.

Tabel 2: Data keuangan ICBP tahun 2019-2023.
Sumber: Olahan tim THINK dari Laporan Keuangan.

Pendapatan Indofood di Afrika dan Timur Tengah sudah meningkat pesat jika dilihat dari data komposisi pendapatan. Namun sayangnya, biaya pinjaman yang meningkat akibat melemahnya mata uang rupiah membuat laba dari kepemilikan Pinehill belum berhasil mendongkrak laba Inti Indofood CBP.

Artinya kinerja Indofood CBP yang meningkat beberapa tahun terakhir masih ditopang oleh kegiatan di Indonesia dan di luar Pinehill. Anda bisa bayangkan apabila mata uang rupiah membaik dan di saat yang sama kinerja Pinehill ikut meningkat, berapa laba yang bisa dicetak Indofood CBP.

Tabel 3: Perbandingan laba ICBP dari tahun 2019 sampai 2023.
Sumber: Olahan tim THINK dari Laporan Keuangan.


Namun, apabila dilihat, mengapa laba inti yang ditulis manajemen tidak sejalan dengan laba pemegang saham yang tertera pada laporan keuangan Indofood CBP 2023? Ada 2 alasannya, yaitu pengaruh kurs mata uang dan beban impairment di 2023. 

Dari sisi kurs, Indofood CBP memiliki pinjaman dalam mata uang dolar AS. Jika rupiah melemah, maka "kesannya" perusahaan harus membayar lebih untuk melunasi utang. Sebaliknya jika Rupiah menguat, maka "kesannya" perusahaan akan membayar lebih sedikit. 

Tapi sebagai seorang investor, hal yang perlu Anda pahami adalah laba atau rugi kurs ini masih sifatnya estimasi. Mengapa dikatakan estimasi? Karena nyatanya Indofood CBP baru harus melunasi pokok di tahun 2031-2032 dan tahun 2051-2052.

Artinya kurs yang pada akhirnya berpengaruh hanya di tanggal pelunasan sedangkan sisanya dapat dikatakan untung atau rugi akuntansi "di atas kertas" karena tidak ada uang yang masuk atau keluar. Sementara untung atau rugi kurs dari bunga yang dibayarkan sudah tercampur dalam pos akuntansi beban keuangan.

Kedua adalah biaya impairment. Impairment sendiri merupakan penurunan nilai aset yang umumnya terjadi karena manajemen merasa nilai yang bisa dipulihkan lebih kecil dibandingkan nilai yang tercatat pada aset. Salah satu impairment yang dilakukan Indofood CBP di 2023 menyambung ke investasi di Dufil, salah satu anak perusahaan Pinehill yang menjual Indomie di Nigeria.

Tentu hal ini menyebalkan bagi investor karena menyebabkan kerugian akuntansi.

Namun jika dipelajari, hal ini disebabkan oleh kondisi ekonomi Nigeria yang sedang mengalami krisis mata uang dan tingkat inflasi yang tinggi. Mata uang Nigeria (Naira) mengalami pelemahan drastis terhadap dolar AS, serupa dengan krisis rupiah tahun 1998. Melihat kondisi ini, manajemen mencatat penurunan nilai untuk investasinya di Nigeria. 

Gambar 1: Pernyataan impairment losses ICBP 2023.

Namun kami memiliki pandangan yang berbeda. Menurut kami, bisnis di Nigeria tetap bisa pulih. Berkaca pada kejadian Indonesia tahun 1998, Indofood juga sempat dilanda kondisi yang serupa. Tetapi ketika Indonesia kembali stabil dan nilai tukar mata uang membaik, posisi Indofood yang kuat membuatnya bisa kembali pulih.

Perjalanan menuju kondisi ekonomi Nigeria yang stabil akan membutuhkan waktu dan banyak peran dari berbagai pihak. Sebagai informasi tambahan, Dufil sendiri selama 6 bulan pertama di tahun 2024 masih bisa mencetak laba Rp92 miliar sebelum eliminasi. Hal ini menunjukkan bahwa di tengah ketidakstabilan mata uang Nigeria, bisnis mie instan di sana tetap masih bisa mencetak keuntungan, meskipun tidak besar.

Mengetahui kelemahan dari laba secara akuntansi, maka akan lebih baik investor yang menganalisa Indofood CBP fokus menilai laba inti agar mendapat gambaran kinerja yang lebih tajam. Sebagai informasi tambahan, Indofood CBP berhasil mencetak laba inti sebesar Rp5,6 triliun selama 6 bulan pertama tahun 2024 atau naik 20% dibandingkan periode 6 bulan tahun 2023.

*Tulisan dalam artikel ini disajikan hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan kesimpulan atau rekomendasi saran investasi apa pun*

Comments (0)
Write a comment

No comment yet

Recommended

Read