Dukungan terhadap Environmental, Social, and Governance (ESG) yang semakin agresif membuat banyak pelaku usaha, pemerintah, dan investor mendukung transisi Energi Baru Terbarukan (EBT) dan meninggalkan energi “kotor”, seperti batu bara dan bahan bakar fosil lainnya.
Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang mencapai $50 per ton pada tahun 2020 dan harga minyak yang tercatat negatif membuat banyak berita melaporkan bahwa “kiamat” batu bara sudah dekat. Banyak investor dan pelaku usaha sudah tidak bisa melihat masa depan di industri batu bara. Masa depan yang suram ini membuat investasi pada batu bara menurun signifikan.
Underinvestment di industri batu bara ini mengakibatkan terjadinya supply shortage. Gejolak geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina juga berperan dalam melonjaknya harga batu bara melebihi $400 per ton pada 2022. Meski kondisi sudah membaik dan harga batu bara mulai kembali normal, harga sekarang masih tergolong sangat tinggi.
Menurut IEA, permintaan batu bara dunia akan mencapai puncak, melebihi 8,5 miliar ton pada tahun 2023, sebelum akhirnya menurun secara perlahan. Meskipun permintaan batu bara di India dan ASEAN akan bertumbuh, kenaikan ini dapat meng-offset penurunan permintaan batu bara di Eropa dan Amerika Serikat.
PTBA dulu: Low-Cost Producer
Dulu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) bisa dibilang sebagai low cost producer di industri batu bara. Sebelum pandemi COVID-19, cash cost PTBA “hanya” sekitar Rp550.000 - 600.000/ton. Dengan cash cost yang rendah, PTBA masih bisa konsisten menghasilkan laba bahkan di saat “kiamat” batu bara pada 2016 dan 2020, ketika HBA mencapai $50/ton dan ASP PTBA hanya sebesar Rp650.000/ton.
Gambar 1: Unit Economics PTBA/Sumber: Olahan tim THINK.
Cash cost yang rendah merupakan sebuah keunggulan kompetitif bagi PTBA. Saat HBA turun dan banyak tambang batu bara lain yang merugi, PTBA masih bisa menghasilkan laba dan ROE double digit!
PTBA dulu vs PTBA sekarang
Sayangnya, PTBA yang sekarang bukanlah PTBA yang dulu. Tahun 2023, PTBA membukukan laba bersih sebesar Rp6,1 triliun, turun 51% dari tahun sebelumnya. Apabila dibandingkan dengan tahun 2021, ASP tahun 2023 yang sebesar Rp1.027.000/ton sedikit lebih tinggi dari tahun 2021 yang nilainya Rp1.018.000/ton.
Dengan ASP yang mirip, tentunya bottom line juga mirip kan?
Namun ternyata tidak. Laba bersih tahun 2023 malah lebih rendah 23% dari tahun 2021.
Meskipun ASP mirip, laba bersih tahun 2023 turun banyak karena cash cost yang meningkat signifikan dari Rp649.000/ton pada 2021 hingga Rp827.000/ton pada 2023. Sebenarnya, cash cost tinggi ini sudah terjadi sejak 2022 yang mencapai Rp851.000/ton.
Gambar 2: Grafik cash cost PTBA/Sumber: Corporate Presentation PTBA 2022.
Tahun 2022, melonjaknya cash cost masih belum terlalu terasa karena pada saat itu, ASP masih tinggi. Barulah pada 2023, cash cost yang tinggi mulai terasa karena ASP mulai turun, sedangkan cost masih tinggi.
Apakah kenaikan cash cost ini merupakan masalah sementara ataukah itu masalah struktural yang membuat PTBA bukan lagi low cost producer?
Kenaikan cash cost ini sebenarnya berhubungan dengan kenaikan stripping ratio (SR) dari sekitar 4,5 ke 6,2 pada 2023. Kenaikan SR itu berarti bahwa dahulu, untuk memproduksi 1 ton batu bara, diperlukan 4,5 bcm volume overburden. Namun sekarang, untuk memproduksi volume yang sama-sama 1 ton, diperlukan 6,2 bcm volume overburden.
Dengan asumsi harga per bcm sebesar Rp40.000, kenaikan SR sebesar 1,7 ini menambah biaya sebesar Rp2,8 triliun. Proses overburden ini akan saya bahas lebih lanjut di bagian selanjutnya.
Growth driver #1: kenaikan volume produksi
Stripping ratio yang naik ini adalah akibat dari rencana PTBA untuk menaikkan volume produksi. Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2024-2026 yang telah disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PTBA menargetkan produksi 151,3 juta ton dalam 3 tahun mendatang.
Target ini terdiri dari 41,3 juta ton pada tahun 2024, 50 juta ton pada tahun 2025 , dan hampir 60-an juta ton pada tahun 2026. Kapasitas angkutan batu bara via kereta api juga diharapkan bisa mencapai 72 juta ton per tahun pada 2026 nanti.
Gambar 3: Grafik volume produksi PTBA/Sumber: Olahan tim THINK.
Tahun 2026 mendatang, target volume produksi akan sudah meningkat lebih dari 2 kali lipat dibanding tahun 2020 dengan volume produksi hanya sebesar 24,8 juta ton. Dalam 6 tahun ini, volume produksi bertumbuh dengan CAGR 16% – sebuah pertumbuhan yang sangat agresif.
Menaikkan volume produksi memang bisa menaikkan SR karena batu bara tidak terletak di permukaan tanah, melainkan di bawahnya. Sebelum perusahaan tambang dapat mengambil batu bara, mereka harus menghilangkan tanah dan batu yang terletak di antara permukaan tanah dengan batu bara itu. Proses ini dinamakan overburden removal, sebuah proses yang biasanya di-outsource ke kontraktor batu bara pihak ketiga, seperti UNTR.
Gambar 4: Proses penambangan batubara/Sumber: Sekretariat EITI.
Saat membuka tambang baru, perusahaan tambang tidak bisa menikmati hasil secara langsung karena mereka harus melakukan proses overburden removal terlebih dahulu. Ekspansi yang agresif dapat meningkatkan stripping ratio karena kini, perusahaan tambang perlu menambang overburden lebih banyak dan belum langsung menikmati hasilnya.
Pengorbanan yang dialami PTBA ini dapat diibaratkan dengan sebuah restoran yang membuka cabang baru. Restoran tersebut akan mengalami kenaikan biaya, seperti training staf baru, membeli peralatan, membayar izin operasional, biaya promosi, dan renovasi meskipun cabang baru tersebut belum buka dan menerima pendapatan.
Sunk cost inilah yang menjadi sebuah pengorbanan jangka pendek, yang mau tidak mau, harus dikeluarkan demi menghasilkan kinerja jangka panjang yang berkelanjutan.
Kenaikan SR ini adalah yang membuat total biaya PTBA meningkat signifikan. PTBA “mengorbankan” kinerja jangka pendek demi meningkatkan volume produksi jangka panjang, apalagi mengingat kenaikan volume produksi yang signifikan.
Salah satu alasan PTBA mengambil jalur ini adalah karena cadangan tambang batu baranya yang sangat besar. Per Juni 2024, PTBA memiliki coal reserves sebanyak 2,98 miliar ton. Bermodal volume produksi yang “hanya” 41,3 juta ton atau setara estimasi produksi 2024, coal reserves yang besar ini baru akan habis setelah 73 tahun. Pada saat itu, kemungkinan besar permintaan batu bara sudah tidak sebesar sekarang.
Dengan volume produksi 100 juta/ton pun (2,5x lipat sekarang), coal reserves PTBA baru akan habis setelah 30 tahun – sebuah periode yang masih tergolong lama. Langkah strategis PTBA untuk meningkatkan volume produksi adalah cara perusahaan untuk “menghabiskan” cadangan batu bara selagi permintaan dan ASP masih tinggi.
Memang kenaikan volume produksi ini berdampak terhadap SR. Namun, akan tiba saat PTBA dapat mulai menikmati hasil dan SR mulai kembali normal, sehingga biaya produksi dapat menurun. Pada saat itu, volume produksi sudah akan jauh lebih besar dari sekarang.
Ketika itu terjadi, kira-kira laba PTBA bisa mencapai berapa ya?
Namun, perlu diingat juga bahwa volume angkutan kereta api juga harus naik untuk mengimbangi kenaikan volume produksi. Sebagai sesama BUMN, PTBA bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero), atau yang sering disebut sebagai PT KAI, untuk proses logistik batu bara.
Saat ini, kapasitas logistik yang sedang berjalan adalah pengangkutan dari Tanjung Enim ke Kertapati dan ke Tarahan. Secara gabungan, keduanya mencapai 32 juta ton/tahun, sebuah angka yang tidak cukup untuk mengangkut seluruh produksi PTBA.
Karena membutuhkan angkutan yang lebih, PTBA sedang dalam pengembangan Tanjung Enim ke Keramasan dengan kapasitas 20 juta ton/tahun. Pada awalnya, proyek ini diestimasikan selesai pada Q4 2024. Namun, berdasarkan company presentation terbaru, proyek ini baru akan jalan pada Q2 2025.
Sarana dan prasarana untuk transportasi angkutan kereta api disiapkan oleh PT KAI, sedangkan fasilitas dermaga di Keramasan dibangun PT Kereta Api Logistik (Kalog).
Gambar 5: Kapasitas angkutan kereta api/Sumber: PTBA.
Pada saat fasilitas Keramasan sudah beroperasional, total kapasitas angkutan PTBA mencapai 52 juta ton (tetap masih tidak cukup untuk mengangkut semua produksi batu bara di masa depan). Sebenarnya, PTBA juga sedang dalam proses pembangunan fasilitas logistik Tanjung Enim ke Perajen dengan kapasitas 20 juta ton. Adanya Perajen, total kapasitas angkutan PTBA akan mencapai 72 juta ton.
Rencana Perajen ini telah masuk pada company presentation sejak 2021. Proyek ini diestimasikan dapat memulai operasional pada Q3 2026. Namun, sejak Q3 2023, perkembangan proyek Perajen sudah tidak lagi dilaporkan pada company presentation.
Gambar 6: Peta tambang dan pelabuhan PTBA/Sumber: Olahan tim THINK.
Tak hanya dengan Palembang, wilayah Kertapati, Keramasan, dan Perajen juga berdekatan dengan Sungai Musi, sebuah sungai yang terhubung dengan Laut Jawa. Sesampainya di situ, batu bara PTBA selanjutnya diangkut oleh tongkang.
Penambahan volume produksi memang dapat mendorong laba, namun penambahan produksi dan penambahan kapasitas angkutan bisa telat dan tidak tepat waktu. Meski volume produksi meningkat selama beberapa tahun ke depan, marjin bisa jadi turun akibat HBA yang tidak setinggi sekarang.
Beberapa biaya seperti biaya pengangkutan dan biaya overburden removal bisa jadi meningkat, sehingga bottom line PTBA tidak sebesar yang diestimasikan (meskipun dengan volume produksi yang sudah meningkat). Ekspansi yang agresif akan memungkinkan SR untuk naik lagi terlebih dahulu, sebelum turun menjadi normal kembali.
Growth driver #2: MIP
Dalam surat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara B-1605/MB.05/DJB.B/2021; tanggal 31 Desember 2021, pemerintah melarang ekspor batu bara sejak tanggal 1 - 31 Januari 2022. Kebijakan yang diterapkan H–1 ini dibuat di tengah krisis pasokan batu bara untuk PLTU, PLN, dan IPP, dengan harapan bisa mengamankan ketersediaan pasokan batu bara domestik.
Kebijakan ini menciptakan gejolak di pasar batu bara global. Harga batu bara global jadi meningkat, serta pemimpin negara lain jadi turun tangan dan meminta Indonesia membuka larangan ekspor.
Krisis pasokan yang dialami PLN dan IPP dapat terjadi karena aturan Domestic Market Obligation (DMO) yang mewajibkan perusahaan tambang batu bara menjual sebagian dari volume produksinya untuk keperluan dalam negeri pada harga $70/ton. Dengan harga batu bara dunia yang telah melebihi $150/ton pada saat itu, menjual batu bara ke pasar domestik menjadi tidak menarik.
Akibat dari krisis pasokan batu bara ini, pemerintah berencana membentuk Mitra Instansi Pengelola (MIP), sebuah lembaga yang akan menarik iuran batu bara kepada perusahaan pertambangan. MIP diharapkan dapat menjamin ketersediaan pasokan batu bara dalam negeri.
MIP akan menjadi pihak yang memungut dan mengelola iuran dari pengusaha batu bara untuk menutup selisih antara harga ekspor dan harga kewajiban DMO. Ekspor batu bara akan dipungut iuran yang akan dikelola dan diberikan ke penjualan DMO.
Sebagai perusahaan tambang dengan hampir 60% penjualannya ke pasar domestik (jauh lebih tinggi dari kewajiban DMO 25%), PTBA akan sangat diuntungkan apabila MIP diimplementasikan. MIP memampukan PTBA untuk secara efektif menjual batu baranya di harga batu bara dunia, sehingga mendorong bottom line PTBA.
Sayangnya, MIP sudah menjadi wacana sejak lama. MIP hampir direalisasikan pada Januari 2024 lalu, namun rencananya batal. Bahkan hingga kini, MIP masih belum direalisasikan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tentang MIP sudah dalam tahap finalisasi. Draf Perpres MIP sudah diparaf oleh semua kementerian terkait dan sedang menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo.
Meskipun Perpres MIP diharapkan dapat disetujui sebelum masa pemerintahan Joko Widodo berakhir pada 20 Oktober 2024, banyak pihak yang merasa bahwa kemungkinan Perpres MIP mundur untuk dialihkan ke pemerintahan Prabowo Subianto semakin besar.
Selama MIP masih belum ditandatangani, investor PTBA hanya bisa sabar menunggu… atau berharap?
Cash cost yang tinggi masih menjadi masalah
Apabila benar direalisasikan, kenaikan volume produksi ditambah dengan MIP dapat mendorong kinerja PTBA secara signifikan. Meskipun demikian, kedua growth driver ini tidak menutup fakta bahwa cash cost PTBA masih dan akan tetap tinggi ke depannya.
Dahulu dengan cash cost yang rendah, pada HBA $50 pun, PTBA masih bisa menghasilkan laba dan ROE double digit. Kini dengan cash cost yang telah mencapai Rp800.000-an, HBA harus stabil di $140-an untuk mempertahankan laba bersih/ton seperti saat masa terburuknya batu bara pada tahun 2016 dan 2020. Apabila harga batu bara turun, marjin laba bersih dapat terdampak.
ASP bisa dengan mudah naik atau turun, namun cash cost cenderung stabil. Apabila ASP yang saat ini sekitar Rp1 juta turun di bawah cash cost yang sekarang sekitar Rp800.000-an, PTBA akan merugi terlepas dari banyaknya volume produksi yang dimiliki pada saat itu.
Normalisasi SR pasti akan terjadi, walau tidak akan terjadi dalam waktu dekat karena fokus sekarang masih ekspansi.
Pertanyaannya, seberapa mungkin untuk ASP turun di bawah Rp800.000 sebelum SR kembali normal?
*Tulisan dalam artikel ini disajikan hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan kesimpulan atau rekomendasi saran investasi apa pun.