Beberapa kali saya mendengar dan membaca kesan pesimis dari teman-teman investor atau peminat saham ketika THINK membuat konten yang menyebut bahwa Anda perlu berinvestasi dengan CAGR 25% (bahkan 30%) untuk bisa cepat memenuhi oil well Anda.
Sekarang, saya nyatakan bahwa CAGR 25% itu sangat mungkin Anda dapatkan di pasar saham Indonesia.
Tentunya dengan syarat:
Anda mampu menerapkan ide sederhana dengan serius, yaitu: membeli good business di harga diskon. Sederhananya seperti belilah iPhone dengan harga Realme.
Apalagi, kita tahu pasar saham Indonesia berkali-kali menawarkan kesempatan tersebut.
Fear and Greed
THINK sudah berkali-kali juga menyebut bahwa akan ada saatnya pasar saham dipenuhi greed karena sangat optimis dan sebaliknya pun bisa dipenuhi kepanikan atau fear karena sangat pesimis.
Fase greed biasanya membuat banyak orang sangat yakin akan saham-saham tertentu. Investor menjadi serakah dan juga FOMO membeli saham yang sedang populer, tanpa mempertimbangkan fundamental bisnis di balik saham tersebut. Valuasinya juga bahkan sebenarnya sudah mahal. Contoh nyatanya saat booming saham “teknologi” ketika pandemi COVID-19 lalu.
Sebaliknya, pada saat fase fear, orang-orang cenderung jadi takut dan kabur dari pasar saham. Hal ini membuat harga saham berjatuhan. Contohnya yaitu ketakutan akan krisis berkepanjangan setelah munculnya berita-berita lockdown karena pandemi COVID-19 tahun 2020 lalu.
Dengan mengatakan demikian, saya bukan kemudian mengetuk palu bahwa fear and greed tidak berguna di pasar saham. Jika Anda memiliki pemahaman investasi yang tepat, fear and greed itu malah bisa memberi peluang.
Krisis 2008 akibat subprime mortgage Amerika Serikat
Mari mulai dari tahun 2008. Saat itu terjadi krisis finansial global. Salah satu penyebab utamanya adalah subprime mortgage atau kredit perumahan berisiko tinggi di Amerika Serikat.
Di awal tahun 2000-an, saat suku bunga The Fed sedang rendah, bank-bank di Amerika memberikan pinjaman perumahan atau KPR. Masalahnya, banyak juga KPR yang diberikan kepada orang-orang tanpa kemampuan membayar.
KPR-KPR itu kemudian dikemas oleh bank-bank dan manajer investasi di Amerika untuk dijual kembali dalam bentuk produk investasi yang kompleks. Produk tersebut dinamakan Mortgage-Backed Securities (MBS) atau sekuritas yang berdasarkan utang perumahan.
MBS merupakan produk turunan atau derivatif yang berisi utang-utang KPR rumah-rumah dan real estates di Amerika Serikat. MBS diciptakan atas ekspektasi bahwa harga rumah akan terus naik dan orang-orang akan selalu membayar KPR mereka tepat waktu.
Produk tersebut terlihat aman dan menguntungkan, padahal sebenarnya memiliki risiko tinggi. Berisiko tinggi karena bank-bank di Amerika mulai melonggarkan persyaratan KPR untuk berlomba-lomba menyalurkan kredit.
Kondisi tersebut diperparah karena MBS-MBS yang sudah ada itu lanjut dikumpulkan atau di-pool menjadi produk turunan berupa obligasi yang disebut Collateralized Debt Obligation (CDO). Produk-produk MBS tadi menjadi underlying CDO ini.
Karena pasar kredit perumahan sedang booming, semakin banyak institusi yang membeli produk-produk turunan tersebut. Tidak sedikit institusi internasional turut memasukkan CDO di portofolio mereka. Lagi-lagi dengan anggapan bahwa obligasi yang berdasarkan aset-aset di Amerika tentu akan aman.
Bom waktu pasar kredit perumahan Amerika Serikat
Padahal, produk-produk yang semakin kompleks itu sudah menjadi bom waktu karena sebenarnya berisiko tinggi.
Sekitar tahun 2004-2006, suku bunga di Amerika mulai naik mencapai 5,25%. Hal tersebut memicu kenaikan bunga KPR, yang kemudian menyebabkan banyak orang-orang gagal bayar.
Namun, tidak banyak yang memerhatikan tanda-tanda kredit macet sejak tahun 2006. Kredit macet tersebut lalu disusul dengan anjloknya nilai produk investasi MBS, yang kemudian memberi dampak domino pada produk CDO.
Runtuhnya pasar perumahan di Amerika pada akhirnya juga berdampak pada institusi-institusi internasional yang terekspos produk-produk turunan tersebut.
Kerugian-kerugian yang dialami banyak bank mulai terlihat di paruh kedua tahun 2008. Puncak dari krisis tersebut salah satunya ditandai dengan bangkrutnya bank keempat terbesar di Amerika saat itu yaitu Lehman Brothers pada bulan September 2008.
Lehman Brothers bangkrut dengan utang lebih dari $600 triliun saat itu atau sekitar Rp14.000 triliun saat ini. Lebih dari 25.000 karyawan Lehman Brothers kehilangan pekerjaan.
Krisis 2008 merupakan krisis finansial terparah sejak The Great Depression di tahun 1930an. Peristiwa tersebut menyebar kepanikan ke berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Tapi, jika Anda coba pikirkan kembali. Apakah masalah tersebut berdampak signifikan ke Indonesia?
Dampak tentu ada. Meski begitu, perekonomian Indonesia masih bertumbuh 6,1% di 2008. Walau lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 6,3% di 2007, pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk stabil di ASEAN. Coba bandingkan dengan Singapore yang pertumbuhan ekonominya menurun drastis dari 10% di tahun 2007 menjadi hanya 1% di 2008.
Di tengah kepanikan tersebut, bisnis perbankan yang memegang peran penting perekonomian negara menjadi menarik untuk diperhatikan.
Gambar 1: Rate of Economic Growth 2000-2008.
Potensi untung dengan saham BRI saat krisis 2008
Anda bisa mengambil contoh Bank Rakyat Indonesia (BRI). BRI yang fokus pada segmen mikro, malah berhasil mencetak pertumbuhan penyaluran pinjaman sebesar 40% dibandingkan tahun 2007. Selain itu, gross NPL (Non-Performing Loan atau kredit bermasalah) BRI di tahun 2008 malah membaik ke level 2,8% dibanding 3,4% di tahun 2007.
BRI juga tetap berhasil menjaga Net Interest Margin stabil di atas 10% di tengah gempuran krisis ekonomi global.
Gambar 2: Rasio NPL BBRI update 2008/Sumber: www.ir.bri.com.
Kepanikan memang tetap terjadi di pasar saham sebagaimana terlihat di harga saham BBRI yang anjlok ke Rp240an per lembar di bulan November 2008. Padahal, BBRI ada di harga sekitar 570 di September 2008.
Jika ditarik dari pertengahan tahun 2008, bahkan harga BBRI sudah turun lebih dari 50%. Harga tersebut sudah di-adjust dengan stock split yang dilakukan BRI. Harga BRI di 2008 saat itu setara dengan 9 kali laba atau PE (price to earning ratio) 9. PE 9x artinya Anda membayar 9 kali dari earning atau laba bersih BRI.
Bayar 9, dapatnya 1. Artinya earnings yield sekitar 11%, belum termasuk pertumbuhan laba yang lebih dari 20% dari tahun 2007 ke 2008, dan tahun-tahun ke depannya lagi.
Dengan estimasi PE wajar BBRI yang berada di sekitar 18x, maka harga PE 9x sudah harga diskon 50%.
Jika Anda berinvestasi di BBRI saat itu, pada akhir 2023 kemarin Anda sudah menikmati pertumbuhan lebih dari 2000 persen, atau 20x lipat. Sebab, harga saham BBRI mencapai 5.725 di akhir 2023. Pertumbuhan tersebut sejalan dengan pertumbuhan laba BBRI.
Tahun 2008, laba full year BBRI adalah Rp5,9 triliun. Pada tahun 2023, laba BBRI sudah 10 kali lipat tahun 2008, yaitu di Rp60 triliun. Itu artinya laba BBRI sudah bertumbuh dengan CAGR 17%. Apabila berinvestasi di BBRI dalam 15 tahun, CAGR Anda mencapai sekitar 23%, itu pun belum termasuk dividen yang terus dibagikan setiap tahun.
Secara kumulatif, BBRI telah membagikan dividen hingga Rp3.000 per lembar saham sejak tahun 2009 sampai akhir 2023. Nilainya berarti lebih dari 10 kali lipat harga yang Anda bayar di akhir tahun 2008.
Jika Anda berinvestasi sebesar Rp10.000.000 saham BBRI pada tahun 2008, investasi itu sudah bernilai Rp230 juta di akhir tahun 2023. Itu belum ditambah total sekitar Rp124 juta dividen tunai yang terkumpul dari 2009 hingga 2023.
Kondisi saham saat Krisis Ekonomi 2015
Setelah tahun 2008, Anda bisa lanjut melihat contoh beberapa tahun kemudian yaitu 2015. Peristiwa penting di tahun 2015 adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi di China yang kemudian disusul dengan anjloknya harga minyak mentah dunia hingga 70% dibandingkan tahun 2014.
Secara keseluruhan, perekonomian Indonesia memang terdampak. Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,79%, menurun dibandingkan tahun 2014 yang besarnya 5,02%. Kondisi tersebut diperparah dengan pelemahan rupiah terhadap USD.
Pada saat itu, salah satu sektor yang menarik adalah teknologi informasi. Tren digitalisasi bisnis, terutama di sektor retail dan perbankan, membutuhkan peningkatan infrastruktur teknologi informasi.
Salah satu perusahaan yang terdorong tren ini adalah Metrodata (dengan kode saham MTDL). Metrodata merupakan distributor utama beberapa brand laptop ternama, seperti Dell, HP, Asus, dan Lenovo.
Tahun 2015, MTDL melebarkan jaringan usahanya dengan merambah ke pasar Indonesia Timur. Perusahaan membuka perwakilan, antara lain di Makassar, Manado, dan Nusa Tenggara. Strategi-strategi yang MTDL jalankan di 2015 terlihat berhasil dengan laba bersih yang bertumbuh 27%.
Laba bersih perusahaan bertumbuh dengan CAGR melebihi 50% sejak 2011. Di tahun 2011, laba bersih MTDL mencapai Rp36 miliar dan tahun 2015 berhasil meningkat jauh menjadi Rp226 miliar rupiah.
Gambar 3: Net Income MTDL/Sumber: Laporan Keuangan MTDL.
Performa MTDL saat itu
Jika di-adjust dengan stock-split, harga saham MTDL menyentuh 117 di kuartal tiga tahun 2015. Di titik tersebut, PE MTDL sekitar 8x, yang berarti harganya 8 kali laba bersih tahunannya (setara dengan earnings yield 1/8 atau 12.5%). Itu belum termasuk pertumbuhan laba yang masih konsisten double digit dari tahun ke tahun.
MTDL menutup tahun 2015 dengan laba bersih sekitar Rp226 miliar. MTDL konsisten menghasilkan pertumbuhan laba dari tahun ke tahun dan di tahun 2023 sudah mencapai Rp650 miliar. Hampir 3 kali lipat laba tahun 2015!
Jika Anda berinvestasi di saham MTDL tahun 2015, maka tahun 2024 ini harga sahamnya sudah mencapai 650. Itu sama artinya CAGR investasi Anda sejak 2015 adalah sekitar 21%. Return tersebut belum termasuk dividen yang secara kumulatif sudah dibagikan sebesar Rp162 per lembar sejak tahun 2016.
Secara matematis, dari dividen saja, Anda sudah balik modal.
Jika Anda berinvestasi dengan modal Rp10 juta di saham MTDL tahun 2015, maka tahun ini investasi Anda sudah bernilai kira-kira Rp55 juta, dengan ditambah Rp13 juta lagi dari dividennya.
Potensi saat Pandemi COVID 2020
Jika kedua contoh tersebut masih belum juga menyakinkan Anda, silakan bisa coba cek contoh good business dan good price lain di pertengahan pandemi 2020 yang belum lama ini terjadi. Harusnya masih dekat dengan ingatan Anda, pandemi tahun 2020. Pandemi menyebabkan krisis di kehidupan banyak orang, termasuk pada berbagai bisnis.
Tidak mengherankan pasar saham turun begitu dalam, terutama di bulan Maret 2020. Banyak orang memilih mengamankan uang cash untuk menghadapi krisis dan ketidakpastian pandemi.
Namun, kehidupan dan perputaran bisnis harus terus berjalan. Saat itu, peluang-peluang justru hadir karena cukup banyak saham yang dijual di bawah nilai intrinsiknya.
Salah satu yang menarik saat itu adalah seputar cukai rokok.
Bulan September 2020, pemerintah mengumumkan untuk menaikkan cukai rokok, bahkan mencapai rekor kenaikan melebihi 20%. Saham rokok kemudian dijauhi karena banyak orang menganggap perusahaan rokok akan semakin kesulitan mencetak laba.
Namun, bagi mereka yang teliti, peraturan tersebut ternyata memberi peluang bagi pengusaha pabrik hasil tembakau golongan 2.
Industri tembakau di Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan, berdasarkan jumlah produksi pabrik produsen rokok. Produsen dengan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) lebih dari 3 miliar batang masuk ke golongan 1. Sementara untuk yang kurang dari 3 miliar batang, masuk ke golongan 2.
Untuk produsen SKM Golongan 1, menjelang akhir 2020 cukai diputuskan naik ke Rp740 per batang (naik sekitar 25% dari Rp590). Di sisi satunya, SKM golongan 2 cukainya Rp470 per batang (naik sekitar 22% dari Rp385). Terlihat cukai SKM golongan 2 lebih rendah sekitar 40% dibanding cukai SKM golongan 1.
Dengan kenaikan tersebut, Anda bisa memperkirakan laba dari produsen golongan 1 kemungkinan akan menurun karena biaya cukai yang bertambah.
Lalu, bagaimana dengan golongan 2?
Performa WIIM saat krisis ini
Pada saat itu, salah satu perusahaan produsen rokok golongan 2 yang menarik adalah Wismilak (WIIM). Tahun 2020, produksi mereka masih di bawah 1,5 miliar batang. Sementara itu, pemerintah masih memberi ruang bagi golongan 2 untuk berproduksi hingga 3 miliar batang.
Jadi, Wismilak masih ada potensi pertumbuhan volume penjualan satu kali lipat untuk tetap memanfaatkan kebijakan cukai murahnya.
Bahkan, jika Anda sudah memantau secara kuantitatif aset di bukunya saja, pada awal pandemi 2020 WIIM menjadi contoh Saham Net-Net yang dipopulerkan Benjamin Graham. Adapun Saham Net-Net adalah tipe saham favorit Benjamin Graham yang semakin sulit ditemukan dalam kondisi pasar yang normal.
*Net-Net adalah kondisi market cap suatu saham lebih murah daripada Net Current Asset Value-nya (NCAV).
Dengan contoh WIIM di pertengahan 2020, kita bisa melihat bahwa saat itu kas dan inventori WIIM sekitar Rp800 miliar. Apabila dikurangi dengan total liabilitas Rp260 miliar pun masih positif Rp540 miliar.
Awal April 2020, WIIM dihargai pasar Rp95 per lembar atau setara dengan market cap Rp200 miliar saja. Nilai itu tidak sampai 40% NCAV-nya.
Analoginya, Anda bisa membeli WIIM saat itu dan bahkan mendapat “cashback” karena nilai net current asset yang lebih besar daripada harga yang Anda bayar. Secara aset saja sudah sangat murah.
Perusahaan dengan rencana pengembangan baik saat krisis adalah bisnis bagus
Jika Net-Net stock bukan termasuk selera investasi Anda, kesempatan investasi di WIIM masih cukup terbuka hingga tahun 2022. Terutama ketika WIIM terbukti menunjukkan kemampuan memanfaatkan peluang sebagai produsen SKM golongan 2.
Produk unggulan mereka saat itu adalah Diplomat EVO yang berperan besar dalam meningkatkan volume penjualan dan juga laba. Rata-rata harga jual (Average Selling Price/ASP) Diplomat EVO saat itu di sekitar Rp20 ribu per bungkus kemasan isi 16 batang.
Harga yang jauh lebih murah dibandingkan Sampoerna Mild, Rp28 ribu (selisih Rp8 ribu untuk rokok yang kata konsumen rasanya mirip, karena memang keduanya diresepkan oleh satu orang yang sama).
WIIM bisa memasarkan Diplomat EVO di harga yang lebih murah karena sebagai produsen golongan 2, cukai perusahaan juga lebih rendah, seperti yang kita pelajari sebelumnya.
Gambar 4. Data cukai dan unit economics SKM WIIM.
Sumber: Olahan Tim THINK terhadap annual report dan public expose.
Ketika WIIM meningkatkan volume penjualan dan menaikkan harga, maka laba bisa meningkat secara signifikan. WIIM memanfaatkan peluang dengan baik.
Terbukti di tahun 2020 volume penjualan mereka meningkat 35% lebih, dari sekitar 800 juta batang di 2019 menjadi sekitar 1.4 miliar batang di 2020. Volume tersebut juga terus meningkat di tahun-tahun berikutnya.
WIIM menutup tahun 2021 dengan peningkatan volume penjualan rokok SKM hampir 60% dari sekitar 1,4 miliar batang di 2020 ke 2,3 miliar batang di 2021.
Laba yang mereka hasilkan di 2021 sudah 7 kali lebih besar daripada tahun 2019.
Hal tersebut juga mengindikasikan perubahan perilaku konsumen yang memilih produk dengan harga relatif lebih murah dan cukup bisa memuaskan kebutuhan. Kondisi ini diistilahkan sebagai downtrading.
Downtrading tersebut menjadi angin segar dan potensi turnaround untuk pemain golongan 2. Perpindahan volume penjualan 1-2% saja dari rokok golongan 1, bisa membuat penjualan pemain rokok golongan 2 naik berlipat.
Pertumbuhan saham
Satu hal yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah WIIM masih bisa tumbuh dengan konsisten?
Melihat produksi di tahun 2021 yang masih sekitar 60% kapasitas mereka, maka tahun 2022, WIIM masih berpeluang untuk bertumbuh. Dengan beragam faktor tersebut, jika Anda investasi ke saham WIIM di akhir 2021 atau bahkan di pertengahan tahun 2022 pun, itu terhitung belum terlalu terlambat.
Akhir tahun 2023, saham WIIM sudah dihargai tinggi di sekitar Rp1700-an. Setara dengan sekitar 7 kali laba dan 2 kali nilai buku. Di sisi lain, tahun 2023 juga menjadi pembelajaran bagi para spekulan yang terjebak dalam wishful thinking kalau performa WIIM akan terus bertumbuh.
Ketika pasar sudah hype akan saham tertentu (termasuk WIIM), bisa jadi itu adalah waktu yang tepat untuk berpindah ke saham lain. Dengan kata lain, Anda keluar dari kepemilikan bisnisnya dalam posisi mendapat untung dari saham tersebut.
Tahun 2023, harga WIIM juga sempat meroket hingga Rp3700. Harga tersebut merupakan valuasi yang fantastis dan bisa dikatakan sudah kelewat mahal di price to earnings 15x dan price to book 4x. Anda tidak perlu muluk-muluk bisa jual WIIM di harga pucuknya Rp3700. Jika bisa tahu itu pucuknya, tentu CAGR Anda sudah mencapai ratusan persen.
Anggaplah Anda memilih menjual WIIM di harga Rp2000. Bagi Anda yang berinvestasi ke WIIM sejak tahun 2020, 2021, atau bahkan 2022, CAGR Anda setidaknya 80%!
Apalagi Anda yang sudah masuk di kondisi Net-Net tahun 2020 (harga Rp95) dan terus bersabar hold menikmati turnaround-nya – hingga harga Rp2 000-an saja – Anda sudah mencetak 20 bagger atau 20 kali lipat!
Anda yang masuk di harga Rp600-an di tahun 2022 misalnya, itu pun sudah mendapatkan 3 bagger atau 3 kali lipat hanya dalam 1,5 tahun.
Justru malah kurang bijak jika Anda malah FOMO dan berspekulasi membeli WIIM di harga price to book 4x. Sebab, Anda malah bisa rugi besar.
Bagaimana, penting sekali kan membeli bisnis bagus di harga yang murah?
CAGR 25% masuk akal?
Kalau sudah melihat contoh-contoh seperti itu, CAGR 25% jadi masuk akal bukan?
Melalui contoh-contoh tersebut, Anda bisa mempelajari bahwa kesempatan di pasar saham terbuka untuk mereka yang paham dan siap. Saat market sedang takut-takutnya, mencari perusahaan bagus dengan harga diskon lebih dari 50% jadi sangat memungkinkan.
Jika sudah paham framework investasi yang tepat, yaitu beli perusahaan bagus di harga diskon, CAGR 25% sangat bisa Anda dapatkan. Namun lagi-lagi, itu tentunya setelah Anda memahami bisnis di balik sahamnya sebelum mengambil kesimpulan valuasi.
Seperti yang Charlie Munger sampaikan:
“All intelligent investing is value investing, acquiring more than you are paying for. You must value the business in order to value the stock.” – Charlie Munger
Peluang menarik di IHSG
Bahkan, ketika artikel ini dibuat, peluang menarik di IHSG pun masih ada. Misalnya, di perusahaan konglomerasi yang sedang turun harganya. Banyak yang bilang karena market share-nya akan tergerus gempuran mobil elektrik dari Cina.
Padahal, data di bulan Juni menunjukkan bahwa perusahaan itu masih menguasai hingga 60% market share kendaraan roda empat, lebih dari 70% market share kendaraan roda dua, serta kontribusi konsisten dari segmen kontraktor pertambangan batu bara, tambang batu bara, dan alat berat.
Pada akhir tahun 2023 pun, mereka malah mencatat rekor laba bersih tertinggi dalam sejarah konglomerasi. Pertengahan tahun 2024, saham perusahaan tersebut masih dihargai murah oleh pasar, kisaran price to earnings 6x dan price to book di bawah 1x.
Ingat, price is what you pay, and value is what you got.
Apakah ini peluang yang bisa memberikan CAGR 25% bertahun-tahun ke depan?
Analisa lebih detail sudah di-cover di website THINK dan bisa diakses member. Analyst THINK juga sudah memberikan commentary untuk perusahaan ini. Tak hanya itu, CEO THINK, Sumadi Surianto, juga berbagi perspektifnya seputar Astra yang terasa seperti deja-vu.
Selalu ingat: Jangan buru-buru mengambil keputusan tanpa analisa dengan framework yang tepat. Jangan sampai tidak bisa membedakan Anda sedang berinvestasi atau berspekulasi.
Sejak tahun 1930an, Benjamin Graham sudah menuliskan bahwa investasi adalah aktivitas yang dilakukan dengan analisis menyeluruh yang mengamankan modal dan menghasilkan return yang baik.
THINK hadir untuk membimbing Anda menjadi investor dengan framework yang tepat serta memiliki mental yang kuat untuk berinvestasi jangka panjang.
*Tulisan dalam artikel ini disajikan hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan kesimpulan atau rekomendasi saran investasi apa pun*