Tahun 1990, Peter Lynch memutuskan untuk pensiun dari 13 tahun karir cemerlangnya di Fidelity Magellan Fund. Karir yang membawanya menjadi money manager nomor 1 di Amerika itu dia tinggalkan dengan alasan ingin meluangkan waktu lebih banyak dengan keluarga.
Ketika pensiun, usia Peter Lynch masih terbilang muda karena belum mencapai 50 tahun. Pilihan itu diambil, salah satunya dilatarbelakangi oleh ayahnya yang meninggal saat dia baru berusia 10 tahun.
Sepeninggal ayahnya, dia harus bekerja dari muda. Peter Lynch sempat menjadi caddy yang mempertemukannya dengan petinggi Fidelity Investments, George Sullivan, dan membuka jalan takdirnya menjadi penakluk Wall Street.
Keputusannya untuk pensiun dini demi keluarga terbilang menarik karena waktu yang Peter Lynch gunakan untuk lebih banyak berkegiatan bersama keluarga membawanya bisa menemukan salah satu investasi saham yang paling berkesan, yaitu the Body Shop.
Riset di Burlington Mall
Salah satu prinsip Peter Lynch yang paling sering dikutip orang adalah “buy what you know” yang artinya jelas, “belilah apa yang Anda ketahui”. Dalam buku Beating the Street, Peter Lynch juga menuliskan prinsip investasi #14nya yaitu:
“If you like the store, chances are you’ll love the stock.”
– Peter Lynch –
Dalam berinvestasi, Peter Lynch menekankan pada pentingnya mengetahui investasi yang akan diambil dan pilih bisnis yang (brand atau produknya) Anda sukai. Caranya adalah dengan mengenali perusahaan dari saham yang Anda beli.
Mungkin Anda teringat dengan kisah Li Lu ketika melakukan riset untuk membeli saham Timberland. Li Lu bertindak sebagai investigative journalist yang menggali informasi bahkan sampai ke dalam keluarga pemilik Timberland.
Serupa Li Lu, Peter Lynch juga selalu melakukan riset mendalam sebelum mengambil keputusan investasi. Salah satu keputusan investasi yang akan saya bagikan di sini, saya rasa menjadi pengalaman yang juga ternyata dekat dengan keseharian kita.
Berawal dari ingin berbelanja kado natal, Peter Lynch mengunjungi Burlington Mall bersama keluarganya. Bagi keluarganya, jalan-jalan di mall adalah quality time.
Namun bagi Peter Lynch yang setiap harinya berurusan dengan pengelolaan investasi, quality time ini juga sekaligus menjadi mediumnya melakukan riset langsung ke lokasi. Melihat toko apa yang banyak peminatnya, brand apa yang diincar pengunjung, bagaimana model bisnisnya, termasuk bagaimana pelayanannya kepada pelanggan.
Peter Lynch sendiri mengakui memang Burlington Mall adalah salah satu sumber favoritnya untuk mendapatkan ide-ide investasi.
Kira-kira Peter Lynch juga berkata:
“As an investment strategy, hanging out at the mall is far superior to taking a stockbroker’s advice on faith or combing the financial press for the latest tips.”
– Peter Lynch – dari buku Beating the Street halaman 150.
Selama menyisiri Burlington Mall, mata dan otak Peter Lynch memerhatikan seisi mall. Dia melihat bagaimana bagian dalam mall itu mengingatkannya pada sebuah kawasan kota tua yang lengkap dengan kolam, bangku taman, pepohonan, dan promenade.
Baginya penyisirannya itu bukan sekadar kegiatan cuci mata. Peter Lynch menganggap itu sebagai sebuah analisis fundamental dalam menemukan daftar investasi yang sekiranya potensial, menyusun daftar untuk memudahkan stock shoppers mengetahui pilihan yang menarik; yang akan jauh lebih prospektif dibandingkan dengan yang Anda bisa beberkan dalam satu bulan konferensi investasi.
Tapi, tentu lain ceritanya jika yang mengadakan konferensinya adalah THINK 😀. Kebetulan sekali THINK akan mengadakan konferensi besar di bulan November ini. Para member wajib menghadirinya untuk membuktikan sendiri ya.
Semua bisa melakukan riset
Pengalaman Peter Lynch dalam melakukan riset bisnis di mall adalah kegiatan yang sebenarnya sudah kita lakukan sehari-hari. Saya, misalnya, setidaknya satu bulan sekali akan pergi ke mall untuk belanja bulanan. Mall dipilih menjadi tujuan karena memang di situlah semua kebutuhan tersedia, bukan?
Ketika berada di sana, saya memang sudah memegang daftar belanjaan. Namun begitu, bukan berarti saya langsung belanja mengambil ini itu. Tetap ada waktu yang saya luangkan untuk menyisiri sejumlah toko serupa, membandingkan harga dari satu toko dengan toko lainnya untuk menemukan harga termurah, namun kualitasnya tetap bagus.
Tak hanya membandingkan toko, saya juga membandingkan antar-produk, brand bagus mana yang lebih murah, bahkan sampai melakukan kalkulasi otomatis dalam kepala untuk mengetahui harga satuan unitnya demi memastikan mana yang paling murah (misalnya Rp17.000 untuk 780 ml sabun cuci piring, berarti berapa rupiah per mililiternya? Jika saya membeli kemasan lebih besar, apa benar lebih untung?).
Untungnya suami sabar mengikuti saya bolak-balik antar-toko atau antar-etalase di supermarket untuk memilih barang yang perbandingan price dengan value-nya sepadan.
Hal yang bagi banyak orang dianggap rutinitas ini ternyata bisa menjadi sebuah bentuk awal dari riset bisnis sederhana. Apalagi kalau kita sampai bisa menemukan toko atau produk yang menjadi favorit. Tentu akan lebih mendalam lagi waktu yang kita luangkan untuk mengenalinya, bahkan mengikuti perkembangannya.
Kembali lagi ke cerita Peter Lynch. Ketika bicara urusan riset investasi di mall, menurutnya kita bisa memanfaatkan informasi dari sisi pandang orang dalam melalui para staf di tenant yang ada. Mereka mengetahui kondisi toko, produk apa saja yang laris, kapan saja waktu toko ramai, berapa lama perputaran stok, bahkan bisa saling bertukar informasi dengan staf toko lain untuk mengetahui toko mana yang paling ramai.
Ketika tidak memiliki akses ke para staf, apalagi ke manajer yang jauh lebih memahami informasi lengkapnya, Peter Lynch mengatakan bahwa sumber terbaik berikutnya adalah para shoppers atau dari sisi yang berbelanja.
Dalam hal ini, Peter Lynch mengakui bahwa ketiga putrinya begitu mahir berbelanja dan mereka sangat pandai melakukan riset sederhana.
Beberapa hari menuju natal tahun 1992, Peter Lynch dan keluarga kembali ke Burlington Mall. Agenda rahasia Peter Lynch adalah menemukan toko mana saja yang menjadi favorit dan dikunjungi ketiga putrinya (karena menurut pengalaman di masa lalu, hal itu ternyata menjadi buy signal yang sempurna yang akhirnya dia dapatkan).
Toko pertama yang mereka datangi saat itu adalah The Body Shop.
The Body Shop
Peter Lynch melihat the Body Shop menjual berbagai produk perawatan tubuh dan kulit yang terbuat dari bahan-bahan herbal. Menurutnya produk-produk itu begitu asing dan tidak menjadi sesuatu yang biasanya dia beli.
Namun banyak orang jelas menyukai produk-produk tersebut karena Peter Lynch melihat toko the Body Shop sangat penuh orang yang melihat-lihat dan berbelanja. Kenyataannya, the Body Shop memang menjadi salah satu dari tiga toko teramai di Burlington Mall.
Selagi menunggu membayar ke kasir, Peter Lynch tiba-tiba teringat bahwa Monica Kalmanson, salah satu analis muda di Fidelity pernah merekomendasikan the Body Shop pada salah satu weekly meeting perusahaan di tahun 1990.
Menariknya lagi, pendiri the Body Shop di Burlington Mall ternyata adalah Cathy Stephenson, Kepala Pustawakan Fidelity yang mengepalai 30 staf, yang meninggalkan pekerjaan bergengsinya itu untuk membuat satu toko the Body Shop yang memang memakai sistem waralaba (franchise), dengan modalnya sendiri.
Mengilas balik pada sejarah, the Body Shop merupakan sebuah perusahaan asal Inggris yang lahir dari passion dan ambisi seorang ibu rumah tangga bernama Anita Roddick, dalam mengolah berbagai hasil alam (utamanya buah dan tanaman) menjadi berbagai ramuan yang bermanfaat baik untuk kulit. Usaha kecil ini lahir dari garasinya sendiri yang kemudian menjadi populer di kalangan tetangga.
Tingginya minat terhadap produk ramuan yang “unik” tersebut, mendorong Anita Roddick mengembangkan “backyard enterprise”nya ini menjadi sebuah bisnis yang serius. Tahun 1984, perusahaan ini melakukan IPO dengan harga 5 pence (setara 10 sen) per share.
Pertumbuhan the Body Shop terbilang cepat. Tranformasinya berjalan dari usaha sederhana rumahan menjadi jaringan franchise internasional yang berpegang pada nilai-nilai green environment, ramah lingkungan, women empowerment, dan vegan-friendly. Perusahaan ini setia pada ide asal mulanya, yakni mengaplikasikan manfaat buah-buahan dan salad pada tubuh.
Harga saham The Body Shop sempat mengalami dua guncangan besar, yaitu saat the Great Correction (turun separuh nilai) dan the Saddam Sell-off. Meski demikian, keadaan ini berbalik dalam 6 tahun berikutnya, yakni ketika akhirnya saham 5 pence naik 70 kali lipat menjadi 362 pence;
yang artinya sebuah 70 kali lipat return bagi para pembeli saham saat IPO tahun 1984.
Salah satu kekuatan the Body Shop adalah price niche. Seperti yang kita ketahui, harga produk-produk the Body Shop terbilang lebih tinggi dari produk serupa yang dijual di toko-toko diskon. Namun demikian, harganya termasuk lebih rendah dari produk serupa yang dijual di specialty dan department store.
Keunggulan ini membuat the Body Shop dalam skala global bisa mencatat kenaikan same-store sales di tahun 1991 (yang merupakan masa resesi)*. Cathy Stephenson sendiri tengah mempersiapkan pembukaan toko kedua di Harvard Square pada masa itu.
Bagaimana Peter Lynch menilai the Body Shop
Peter Lynch melihat potensi investasi besar pada the Body Shop karena bagian terbaiknya adalah perusahaan ini masih berada di tahap awal ekspansi, namun tetap terlihat adanya kecenderungan dapat berkembang dalam skala global.
Cabang terbanyaknya saat itu tersebar di Kanada dengan jumlah 92 outlet dan menghasilkan per kapita terbesar dari total 164 outlet (satu di Jepang, satu di Jerman, dan 70 di Amerika Serikat).
Dengan jumlah penduduk Kanada yang hanya 1/10 dari Amerika Serikat, maka Peter Lynch melihat adanya potensi the Body Shop bisa berekspansi di Amerika Serikat dengan jumlah total outlet setidaknya mampu mencapai 920.
Menurut Peter Lynch sendiri, dalam menilai bisnis retail, sebenarnya kita harus berhati-hati (bahkan menghindari) perusahaan yang berekspansi terlalu cepat, apalagi dengan modal pinjaman. Sementara itu, the Body Shop beroperasi dengan sistem franchise sehingga ekspansinya dimodali dari uang franchise tersebut.
Suatu hari, Peter Lynch bercerita pada kawan bermain pokernya bahwa dia sempat mengunjungi the Body Shop. Kawan tersebut ternyata mengatakan bahwa istri dan anaknya juga suka dengan tempat tersebut.
Lynch kembali berpikir ketika seorang yang berusia 45 tahun dengan 13 tahun bisa antusias dan menyukai toko yang sama, berarti ini waktunya menginvestigasi bisnis tersebut secara lebih jauh.
Coba ingat kembali video Youtube kami tentang Peter Lynch yang sempat menyinggung soal ini.
Dari riset yang dilakukan oleh Peter Lynch, dia menemukan bahwa same-store sales dari the Body Shop tercatat baik, rencana ekspansinya realistik, balance sheet-nya kuat, dan pertumbuhan perusahaan berada pada tingkat 20 - 30 persen per tahun.
Permasalahannya kemudian adalah P/E Ratio berdasarkan estimasi pendapatan tahun 1992 menurut S&P 500 adalah 42. Itu artinya, perusahaan ini dijual 42 kali lipat lebih tinggi dari pendapatannya.
Dua analis yang mengikuti the Body Shop memprediksikan bahwa perusahaan ini akan lanjut bertumbuh dengan rate 30% di beberapa tahun ke depan. Bagi Lynch, berarti ini ada kemungkinan pertumbuhan sales sebesar 30 persen pada 40 kali pendapatan. Sekilas penemuan ini tidak menarik, namun dari sudut pandang stock market saat itu, Lynch melihatnya tidak seburuk itu.
Pertanyaan penting berikutnya adalah apakah the Body Shop bisa konsisten dengan growth rate 25 - 30 persen hingga sahamnya bisa menyeimbangi harga terkininya yang sangat tinggi? Peter Lynch sendiri mengaku terkagum-kagum dengan performa perusahaan tersebut yang membuktikan kemampuannya memasuki market baru dan meraup popularitas hingga ke berbagai negara di dunia.
Peter Lynch turut mengatakan bahwa pemilihan investasinya di the Body Shop memang lebih pada kecenderungannya menyukai bisnis retail dan karena perusahaan tersebut memiliki aspek global yang unik.
Menurutnya, selalu ada ruang untuk menunggu dan melakukan analisis bisnis sebelum akhirnya berinvestasi di bisnis retail. Dalam model bisnis ini, growth menjadi pendorong pendapatan dan harga sahamnya umumnya ditentukan oleh ekspansi.
Ketika menulis buku Beating the Street tahun 1993, Peter Lynch memprediksi the Body Shop akan memiliki ribuan outlet dan harga sahamnya mungkin naik sampai 7.000 persen.
Tahun 2023, perusahaan ini memiliki total 2.500 outlet tersebar di lebih dari 70 negara. 900 di antaranya merupakan company-owned store dan 1.600 lainnya merupakan toko franchise!
Berawal dari terbiasa mengamati pusat belanja favorit di sekitaran, mungkin Anda juga akan mendapatkan target investasi menarik. Setelah menemukannya, Anda tinggal melakukan analisis bisnisnya secara mendalam.
THINK menyediakan ekosistem yang lengkap bagi Anda yang ingin mempertajam kemampuan analisis bisnis dan menguasai value investing layaknya Peter Lynch.