Seseorang bisa dikatakan sebagai investor yang cerdas apabila bisa melakukan analisa perusahaan secara menyeluruh dan lengkap. Dengan begitu, investor dapat memiliki conviction dan menemukan harta karun tersembunyi di bursa saham.
Dalam mencari saham menarik di pasar bursa, banyak pelaku pasar menggunakan berbagai rasio sebagai screening tools untuk menghemat waktu dan mengerucutkan pilihan sahamnya. Biasanya setiap pelaku pasar memiliki parameter rasionya sendiri, terutama untuk mencari saham murah.
Salah satu rasio yang sering digunakan adalah P/E Ratio. P/E Ratio dipakai untuk mengukur berapa lama seorang investor akan balik modal dengan cara membandingkan harga & laba (Price and Earning) pada saat itu. Tentunya, seorang pelaku pasar tidak akan melakukan screening dengan P/E Ratio negatif, karena itu artinya sama dengan mencari perusahaan yang merugi.
Namun, rasio adalah hasil akhir dari kinerja masa lalu yang telah dicapai perusahaan. Apa yang telah terjadi di masa lalu belum tentu akan berulang kembali di masa depan.
Oleh karena itu, rasio bisa jadi tidak menggambarkan kondisi perusahaan sebenarnya sehingga tentu tidak dapat dijadikan sebagai basis dalam pengambilan keputusan membeli saham.
Saham INDR merugi terus
Artikel ini akan membahas insight seputar PT Indorama Synthetics Tbk (INDR). Pada kasus INDR, perusahaan terus mengalami kerugian di tahun 2023 sampai semester pertama 2024 sehingga P/E Ratio-nya menjadi negatif.
Untuk mengetahui sebab INDR bisa mengalami kerugian, kita perlu mempelajari bisnis perusahaannya terlebih dahulu. Sebagai gambaran singkat, PT Indorama Synthetics Tbk adalah produsen bahan baku tekstil terintegrasi yang dimiliki oleh Sri Prakash Lohia & keluarga (orang terkaya nomor 6 di Indonesia).
Tahun 2022, revenue perusahaan ini disumbangkan oleh penjualan produk dengan komposisi poliester (41%), spun yarn atau benang pintal (55%), dan fabrics atau kain (4%). Pada level operating profit, komposisinya terdiri dari spun yarn (79%), poliester (24%), dan fabrics (-3%).
Dari data tersebut, terlihat bahwa produk spun yarn memiliki margin yang paling baik dibandingkan produk lainnya.
Untuk memproduksi produk, cost terbesar datang dari biaya bahan baku yang setara dengan 66% revenue (data tahun 2022). Adapun bahan baku yang dibeli perusahaan, antara lain: PTA & MEG, katun, dan bahan baku lainnya.
PTA & MEG sendiri merupakan bahan baku turunan minyak bumi yang digunakan untuk memproduksi poliester. Poliester produksi INDR kemudian dicampurkan dengan katun untuk dapat membuat spun yarn.
Oleh karena PTA & MEG merupakan produk turunan minyak bumi, maka otomatis harga belinya dipengaruhi oleh harga minyak bumi atau crude oil. Di sisi lain, harga beli katun dipengaruhi oleh harga bahan bakunya, yaitu cotton.
Karena bagi perusahaan ini bahan baku adalah komoditas, biasanya INDR melakukan penumpukan persediaan kurang lebih selama 3 bulan sebelum akhirnya produk berhasil terjual.
Dari data tahun 2022, volume produksi PT Indorama Synthetics Tbk secara keseluruhan mencapai 500.000 ton. Produknya dijual kepada produsen tekstil dan brand-brand fast fashion ternama dunia, seperti H&M, UNIQLO, dan ZARA.
Sebagai akibat dari produk perusahaan yang menjadi komoditas, maka harga jualnya juga terpengaruh oleh harga komoditas itu sendiri. Dari segmen spun yarn misalnya, harga jualnya mengikuti harga cotton karena bahan spun yarn menggunakan campuran katun dan poliester. Poliester yang merupakan substitusi cotton pun harga jualnya mengikuti harga cotton. Jadi, bisa dibilang, harga jual produk perusahaan dipengaruhi secara keseluruhan oleh harga cotton.
Hal tersebut membuat bisnis INDR menjadi siklikal karena kinerjanya sangat dipengaruhi oleh harga komoditas yang naik turun. Hal yang perlu kita ingat adalah di perusahaan ini, biaya bahan baku lebih dipengaruhi oleh harga crude oil, sedangkan harga jualnya dipengaruhi oleh harga cotton.
Gambar 1: Harga crude oil dan cotton.
Tahun 2023, INDR mengalami kerugian mencapai $40 juta atau setara Rp600 miliar. Hal ini terjadi karena perusahaan melakukan penumpukan bahan baku di kala harga crude oil yang sedang tinggi di tahun 2022. Di satu sisi, harga acuan jual perusahaan–yaitu cotton, justru menurun di tahun 2023.
Kondisi demikian membuat perusahaan terpaksa menjual produk mereka di harga rendah selagi terpaksa tetap menggunakan bahan baku yang biayanya tinggi. Tak heran, perusahaan kemudian mengalami kerugian yang besar.
Kerugian ini terus berlanjut sampai pertengahan tahun 2024 karena harga crude oil stabil di level $70-80 per barel, sedangkan harga cotton telah menurun menjadi $0,6-0,7 per lbs.
Karena kondisinya yang sedang merugi, maka P/E Ratio INDR menjadi negatif. Penurunan kinerja keuangan perusahaan itu juga diikuti dengan penurunan harga sahamnya dari Rp5.500 pada awal tahun 2023, jatuh ke level Rp2.800 saat artikel ini dibuat.
Analisis historis kinerja INDR
Menurut kami, kondisi kerugian yang dialami oleh INDR hanyalah kerugian temporer yang disebabkan oleh manajemen persediaan yang kurang baik dan diikuti penurunan harga komoditas katun yang berada di luar kendali manajemen.
Untuk dapat mengetahui kapan kinerja INDR akan pulih, kita harus menggunakan kaca spion, dalam arti melihat ke belakang. Kita perlu mengetahui histori keuangan perusahaan dan pada kondisi apa INDR mencetak laba besar di masa lalu.
Gambar 2: Unit Economics INDR.
Berdasarkan grafik di atas, dalam 10 tahun terakhir, INDR mencetak laba terbesarnya pada tahun 2021. Tahun itu INDR menghasilkan laba sebesar $84 juta atau Rp1,2 triliun, setara dengan P/E Ratio 1,5x pada harga saat tulisan ini dibuat.
Peningkatan kinerja ini diikuti dengan peningkatan harga sahamnya pada pertengahan tahun 2022, yang menyentuh harga Rp12.000 atau setara P/E Ratio 6,5x laba puncaknya.
Apa yang terjadi di dua tahun tersebut, yang membuat INDR mampu mencetak laba yang sangat besar?
Pada tahun 2020, harga crude oil jatuh ke level $40 per barel akibat terjadinya pandemi COVID 19. Kondisi ini dimanfaatkan oleh INDR dengan melakukan penumpukan bahan baku ketika harganya sangat murah.
Singkat cerita, harga cotton yang meningkat pada tahun 2021 membuat INDR berhasil menjual produknya di harga tinggi, dengan menggunakan harga bahan baku yang murah. Kondisi ini berkebalikan dengan apa yang terjadi tahun 2023.
Gambar 3: Kapasitas spun yard dan poliester INDR.
Selain dari sisi harga jual produk dan harga bahan baku, perlu dicatat juga bahwa tahun 2023 lalu INDR telah meningkatkan kapasitas pabrik spun yarn sebesar 10.000 ton. Utilisasinya pun telah mencapai 90%.
Menurut kami, peningkatan kapasitas ini akan berdampak pada peningkatan volume penjualan sehingga berpotensi meningkatkan kinerja perusahaan di masa depan.
Perlu diingat kembali kalau segmen spun yarn memiliki profitabilitas paling baik di antara produk lainnya. Peningkatan volume penjualan akan menaikkan profitability margin perusahaan secara keseluruhan, khususnya ketika harga komoditas sudah favorable untuk INDR.
Kondisi yang dapat membuat kinerja INDR kembali pulih ke depannya
Terdapat beberapa skenario yang dapat membuat INDR kembali profitable. Pertama, harga crude oil terus stabil, namun harga cotton meningkat. Kedua, harga crude oil yang menurun dimanfaatkan oleh perusahaan dengan cara menumpuk bahan baku, yang harus diikuti kenaikan harga cotton. Ketiga, peningkatan harga cotton yang jauh melampaui peningkatan harga crude oil.
Kerugian yang dialami INDR saat ini dapat dikatakan wajar sebab kinerja INDR sangat bergantung pada harga komoditas yang pergerakan harganya sulit diprediksi. Jika harga komoditas kembali membaik, tentunya INDR akan menghasilkan keuntungan kembali, meskipun belum tentu akan sebesar tahun 2021 lalu.
Untuk mengetahui berapa keuntungan yang dapat dihasilkan INDR ketika kondisi kembali normal, kami sarankan kepada member THINK untuk menonton Think Case INDR terlebih dahulu agar mendapatkan gambaran perusahaan secara menyeluruh. Dari situ, Anda akan bisa melakukan kalkukasi dengan lebih akurat.
Jika hanya melihat rasio, sulit bagi investor untuk menemukan harta karun terpendam yang memiliki potensi perbaikan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, investor harus menganalisa banyak perusahaan secara menyeluruh dan mengumpulkan "arsip investasi" agar dapat melihat kesempatan yang tersembunyi itu.
Dari contoh yang terjadi pada INDR ini, sekarang saatnya memutuskan. Anda lebih memilih membeli saham perusahaan ketika bad time dan harga sahamnya sedang terpuruk, atau membeli ketika sudah ada tanda-tanda perbaikan kinerja, sementara harga sahamnya sudah mulai naik?
*Tulisan dalam artikel ini disajikan hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan kesimpulan atau rekomendasi saran investasi apa pun*